Kekuatan
Bipolar Baru Abad Ke-21
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 11 Mei 2015
Kehadiran Presiden RRT
Xi Jinping dalam parade militer memperingati 70 tahun berakhirnya Perang
Dunia II di Moskwa, Rusia, menjadi kulminasi bagi barometer perimbangan
kekuatan dunia pada abad ke-21 yang berbeda dengan sebelumnya. Berakhirnya
Perang Dingin dengan rontoknya Tembok Berlin pada 1990 telah melemahkan
keseluruhan sendi kekuatan Uni Soviet lama.
Struktur perimbangan
berbagai kekuatan ekonomi, perdagangan, politik, dan militer dunia berubah
drastis. Rusia sekarang kembali menjadi kekuatan baru di bawah Presiden
Vladimir Putin. Bukan lagi negara lemah yang kehilangan disorientasi setelah
disintegrasi kejayaan Uni Soviet lama. Sekarang Rusia kembali tegak. Tidak
harus dalam warisan negara Soviet seperti sebelumnya, tetapi kembali dalam
status tradisional kekuatan negara besar di daratan Euroasia.
Parade militer di
Moskwa akhir pekan lalu adalah simbolisasi "Putin Akbar" berhadapan
dengan kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan baru mengubah komposisi dunia
dalam wujud yang tidak memiliki preseden sebelumnya. Hubungan kemitraan
strategis Tiongkok-Rusia tidak lagi berbentuk asimetris, tetapi mencapai
tahapan kecocokan kimiawi. Kepercayaan strategis di tingkat para elite
politik kedua negara sejalan dengan keinginan dan kebutuhan rakyat mereka.
Kedekatan hubungan
Beijing-Moskwa melalui kehadiran Tentara Pembebasan Rakyat dalam parade di
Moskwa menunjukkan hubungan militer-ke-militer kedua negara ini cukup matang,
mencapai tahapan strategis memengaruhi kesetimbangan perimbangan kekuatan
dunia.
Hubungan
militer-ke-militer kedua negara ini mencapai tahapan lebih canggih,
meninggalkan pola lama subordinasi ketika Tiongkok adalah kekuatan lemah dan
mitra yunior pada masa Perang Dingin. Tahapan yang dicapai Beijing-Moskwa
memasuki era lebih rumit, multidimensi, dan terinstitusionalisasi dalam
berbagai perkembangan bilateral kedua negara.
Kedekatan hubungan
ekonomi ataupun perdagangan RRT-Rusia, melalui pembentukan konsep strategis
yang disebut Jalan Sutra Abad Ke-21 (sisi darat di utara yang terkoneksi
melalui sisi laut konsep Jalan Sutra Maritim Abad Ke-21 di selatan),
menghadirkan dilema tersendiri apakah globalisasi di abad ke-21 ini akan
mengarah pada pembentukan bipolar baru. Bipolar abad ke-21 bergerak tidak
mengikuti pola Perang Dingin ketika ideologi menjadi inti pertentangan,
tetapi persaingan ketat dalam ekonomi, perdagangan, keuangan, dan militer
dalam membentuk tata dunia baru yang berbeda.
Yang menarik,
konfigurasi tatanan internasional hingga 10 tahun ke depan akan dipacu dengan
kebangkitan RRT melalui berbagai dimensi kekuatannya sebagai adidaya baru,
baik kekuatan lunak maupun kekuatan keras. Di dalam konfigurasi seperti ini,
dunia bipolar yang ingin dibentuk mengarah pada komposisi hubungan strategis
Tiongkok-Rusia di satu sisi, dan hubungan strategis Jepang-Amerika Serikat di
sisi lain.
Ciri penting dari
konfigurasi ini, munculnya resiprositas yang rumit ataupun harapan adanya
pendekatan saling pragmatis masing-masing kekuatan negara besar. Suatu
kesetimbangan dinamis terus-menerus bergerak mencari modalitas hubungan
kemitraan strategis, membangun kesamaan kepentingan nasional dalam konteks
globalisasi lebih luas dan rumit.
Bagi Indonesia, perlu
penataan menyeluruh rencana strategis kebijakan luar negeri kurun masa waktu
10 tahun mendatang. Sudah waktunya Indonesia memiliki Dewan Keamanan
Nasional, lembaga kajian strategis bagi presiden menentukan arah politik
regional dan multilateral menjaga kepentingan nasional, khususnya terkait
strategi maritim yang ingin dikembangkan.
Kita perlu mengubah
retorika "Terwujudnya Wibawa Diplomasi guna Memperkuat Jati Diri Bangsa
sebagai Negara Maritim untuk Kepentingan Rakyat" yang tertera dalam buku
"Rencana Strategis 2015-2019" Kementerian Luar Negeri RI. Retorika
usang ini tidak mencerminkan situasi dan kondisi global yang condong bergerak
ke pola bipolar abad ke-21. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar