Infrastruktur
di
Tengah Jebakan Pendapatan Menengah
Sonny Harry B Harmadi ; Staf Khusus Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional; Kepala Lembaga Demografi FEB UI; Ketua Umum Koalisi Kependudukan
|
MEDIA INDONESIA, 11 Mei 2015
DALAM acara Indonesia Update 2015: Prospect
and Progress yang diselenggarakan di Washington DC, Missouri, dan New York,
Amerika Serikat, 26 April-3 Mei 2015, mengemuka berbagai bahasan tentang
Indonesia pascaterbentuknya pemerintahan baru. Isu-isu yang dibahas di
antaranya upaya Indonesia menghindari jebakan pendapatan menengah (JPM) atau middle income trap (MIT) melalui
percepatan pembangunan infrastruktur, bonus demografi , hingga peran media
dalam demokrasi. Indonesia Update 2015 diselenggarakan Kementerian Kominfo,
bekerja sama dengan The United
State–Indonesia Society (Usindo) dan KBRI, menjadi bagian dari second
track diplomacy pemerintah Indonesia untuk mengeksplorasi kemungkinan kerja
sama people to people antarnegara.
Tentu masih banyak isu lain yang didiskusikan.
Namun, tulisan ini khusus mengelaborasi lebih lanjut isu JPM di tengah upaya
pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur.
Memahami JPM
JPM didasarkan pada pemikiran bahwa
perekonomian sebuah negara sudah mencapai tingkat pendapatan per kapita yang
tergolong kelas menengah, tetapi sulit naik kelas ke status pendapatan tinggi
(Todaro dan Smith, 2012). Istilah itu diperkenalkan Gill dan Kharas dalam
buku berjudul An East Asian Renaissance: Ideas for Economic Growth (2007). Pemikiran
tersebut muncul setelah mengamati adanya penurunan kinerja pertumbuhan
ekonomi secara tiba-tiba negara-negara Asia Timur yang sebelumnya dipandang
sebagai perekonomian penuh keajaiban (Robertson dan Longfeng, 2013).
Ternyata gejala serupa juga dialami negara
lain di luar Asia. Sejumlah negara Amerika Latin hingga saat ini tak pernah
naik kelas dan masih tertahan di status negara berpendapatan menengah. Mereka
kesulitan naik kelas dan produk-produk mereka tidak mampu bersaing di pasar
internasional. Salah satunya disebabkan mereka masih mengandalkan produk-produk
dari industri padat karya, tetapi upah sudah naik ke taraf yang relatif
tinggi. Harga produk menjadi tidak kompetitif di pasar internasional karena
di saat bersamaan negara-negara berpendapatan rendah sudah masuk ke tahapan
industrialisasi yang juga mengandalkan industri padat karya tetapi dengan
upah rendah.
Meskipun JPM telah banyak dibahas, hingga saat
ini belum ada consensus tentang defi nisi bakunya. Jesus Felipe dan
rekan-rekannya dari Bank Pembangunan Asia (2012) melakukan studi kepustakaan
tentang masalah ini. Salah satu kesulitan dalam menentukan defi nisi ialah
ketiadaan dasar teoretis sebagai acuan. Bank Dunia beberapa kali mengubah
batas pendapatan untuk mengelompokkan status pendapatan suatu negara. Di 2010,
suatu negara tergolong berpendapatan rendah jika pendapatan per kapita yang
diukur dengan gross national income
kurang dari US$1.005, menengah-bawah jika berpendapatan per kapita antara
US$1.006-US$3.975, menengah-atas antara US$3.976 dan US$12.275, dan
pendapatan tinggi melebihi US$12.276 (Felipe dkk, 2012).
Untuk 2015, batas penggolongan tersebut diubah
menjadi pendapatan rendah jika pendapatan per kapita di bawah US$1.045,
menengah-bawah US$1.046-US$4.125, pendapatan menengah-atas antara US$4.126
dan US$12.745, dan pendapatan tinggi jika di atas US$12.745. Akibat ketiadaan
definisi yang jelas, tidak ada batas pasti kapan perekonomian suatu negara masuk
kelompok pendapatan menengah dan kapan seharusnya sudah naik kelas ke tingkat
pendapatan tinggi.
Indonesia terjebak?
Bagaimana dengan Indonesia? Ohno (2009)
melakukan studi dengan menggunakan pendapatan per kapita Amerika Serikat (AS)
sebagai tolok ukur. Penelitiannya menunjukkan sejak 1950 pendapatan per kapita
Indonesia stagnan di bawah 20% dari pendapatan per kapita di AS hingga 2005.
Bandingkan dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang, di saat pada 1950
pendapatan per kapita mereka kurang dari 20% pendapatan per kapita AS, tetapi
terus naik dan bahkan di 2005 telah mencapai sekitar 60% pendapatan per
kapita AS.
Felipe dan rekan-rekannya (2009) mencoba
menetapkan batasan untuk menentukan golongan pendapatan suatu negara dan
batas waktu yang diperlukan sebagai indikator bahwa suatu negara terperangkap
atau tidak dalam jebakan pendapatan menengah. Penelitiannya dilakukan
terhadap pendapatan per kapita 124 negara selama 60 tahun (1950-2010).
Pendapatan menengah dibagi ke dalam dua subgolongan, yaitu menengah-bawah dan
menengah-atas. Penelitiannya menunjukkan negara berpendapatan menengah-bawah dikatakan
masuk jebakan kelas menengah jika pendapatan per kapitanya tidak naik kelas
ke kelompok pendapatan tinggi selama 28 tahun. Bagi kelompok menengah-atas,
batas waktunya ialah 14 tahun.
Jika mengacu ke studi Felipe, Indonesia telah
masuk sebagai kelompok negara berpendapatan menengah-bawah sejak 1985.
Maknanya, jika dalam batas waktu 28 tahun tidak naik kelas, Indonesia masuk
JPM. Berarti tenggat bagi Indonesia untuk lolos dari JPM ialah 2013.
Kenyataannya, Indonesia hingga hari ini masih berada dalam kelompok
pendapatan menengah-bawah. Penelitian Robertson dan Longfeng (2013) bahkan
secara tegas menyatakan perekonomian Indonesia telah ada dalam JPM sejak
1990-an.
Peran infrastruktur
Kontribusi infrastruktur terhadap pertumbuhan
ekonomi pada hakikatnya ialah memperlancar aliran barang, jasa, orang,
informasi (pengetahuan), dan ide. Agar keluar dari JPM, Indonesia butuh
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Studi Shekhar Aiyar (2013) menunjukkan
Indonesia justru berisiko mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah terutama karena
kurangnya infrastruktur di bidang transportasi dan komunikasi. Pemerintah
menyadari kekurangan infrastruktur telah menghambat pembangunan di Indonesia.
Infrastruktur dibutuhkan Indonesia untuk keluar dari jebakan pendapatan
menengah karena mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan mengurangi
biaya logistik. Infrastruktur tidak hanya berperan penting untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga mengatasi kesenjangan
antardaerah.
Ketimpangan antardaerah yang tecermin dalam
perbedaan pendapatan per kapita juga menandakan perbedaan kebutuhan akan infrastruktur.
Daerah dengan pendapatan per kapita rendah memerlukan porsi infrastruktur yang
besar untuk irigasi, listrik, dan air bersih, sedangkan daerah yang lebih maju
cenderung membutuhkan infrastruktur transportasi, listrik, dan
telekomunikasi. Karena itu, fokus pembangunan infrastruktur antarwilayah di
Indonesia berbeda-beda penekanannya, sesuai dengan sasaran pembangunan
kewilayahan.
Pemerintahan Jokowi-JK menempatkan percepatan
pembangunan infrastruktur sebagai tema rencana kerja pemerintah (RKP) 2016. Ketersediaan
infrastruktur menjadi salah satu prasyarat utama untuk pembangunan yang
berkualitas. Bappenas mendefinisikan pembangunan berkualitas sebagai: 1)
membangun untuk manusia dan masyarakat, yang inklusif dan berbasis luas, dan
tidak boleh memperlebar ketimpangan antargolongan dan antarwilayah; dan 2)
aktivitas pembangunan tidak boleh merusak, menurunkan daya dukung lingkungan
dan keseimbangan ekosistem untuk menghasilkan pertumbuhan, dan kesejahteraan
yang berkelanjutan. Implikasinya ialah bahwa pembangunan infrastruktur bukan
sekedar untuk menjawab kebutuhan korporasi dan pasar semata, melainkan untuk
meningkatkan kualitas hidup penduduk, membuka keterisolasian, dan mengatasi
kesenjangan yang ada.
Target dan tantangan
Fokus pembangunan infrastruktur dalam lima
tahun mendatang ialah mendukung agenda prioritas kedaulatan pangan,
kedaulatan energi, kemaritiman, pariwisata, dan industri. Anggaran infrastruktur
2016 menurut rencana naik setidaknya 20% jika dibandingkan dengan 2015, dari
Rp139,9 triliun menjadi sekitar Rp167,2 triliun. Untuk keluar dari jebakan
pendapatan menengah di 2020, Bappenas memperkirakan kebutuhan pembiayaan infrastruktur
Rp5.500 triliun hingga Rp6.000 triliun selama lima tahun (2015-2019).
Artinya, dibutuhkan pembiayaan infrastruktur sekitar Rp1.100 triliun-Rp1.200
triliun per tahun. Pembiayaan tersebut di antaranya untuk pembangunan
pelabuhan penyeberangan di 60 lokasi, jalur kereta api sepanjang 3.258 km,
pengembangan 24 pelabuhan strategis, pembangunan 15 bandara baru, jalan baru
sepanjang 2.650 km, 49 waduk baru dan 33 PLTA, pembangkit listrik 35 ribu
megawatt, pengadaan 50 kapal perintis, dan sebagainya.
Namun, tantangannya ialah bagaimana memenuhi
kebutuhan pembiayaan infrastruktur yang sangat besar tersebut. Pemerintah
hanya mampu memenuhi kurang dari 20% pembiayaan yang dibutuhkan. Selama ini investasi
infrastruktur di Indonesia hanya sekitar 5% dari produk domestic bruto (PDB).
Bahkan sebelum 2013, angkanya di bawah 4% dari PDB. Di 2013, investasi
infrastruktur secara nasional hanya mencapai Rp466 triliun. Itu jauh dari
memadai untuk dapat keluar dari jebakan pendapatan menengah. Dibutuhkan peran
swasta dan BUMN yang lebih besar dalam pembiayaan infrastruktur. Namun, faktanya
peran pemerintah dan pemerintah daerah masih sangat dominan (70%), sedangkan
peran swasta dan BUMN masih jauh dari yang diharapkan dengan kontribusi
masing-masing sekitar 13% dan 17%. Tanpa skema pembiayaan yang tepat,
investasi infrastruktur oleh swasta dan BUMN sulit meningkat karena dianggap
tidak menguntungkan (berisiko tinggi dengan tingkat pengembalian yang terlalu
lama).
Meningkatkan peran swasta dan BUMN dalam
pembiayaan infrastruktur menjadi kunci keberhasilan pembangunan infrastruktur.
Di antara berbagai pilihan pembiayaan inovatif, pengembangan bank
infrastruktur menjadi alternatif penting. Namun, kita menyadari bank
infrastruktur harus memiliki dasar kelembagaan dan regulasi pendukung yang jelas.
Kita bisa belajar dari pengembangan China Development Bank yang sejak 1994 memiliki
peran penting dalam pembiayaan infrastruktur di Tiongkok. Fokus kita ke depan
bukan sekadar membuat target perencanaan infrastruktur semata, melainkan juga
bagaimana merealisasikannya dengan strategi dan skema pembiayaan yang tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar