Dialektika
Mega-Jokowi
Muhammad Takdir ; Policy Scenario Analyst di Swiss
|
KORAN SINDO, 01 Mei 2015
Tajuk KORAN SINDO
berjudul ”Megawati dan Jokowi ” (13/4/2015) menyajikan banyak hal. Anomali
intrik kekuasaan yang ditata serampangan.
Presiden yang rikuh
dan Megawati yang dominan. Semua dikemas dalam sorotan media penuh
interpretasi. Publik pun dibuat curious, menganga dan
bertanya-tanya. Ada apa sesungguhnya di antara kedua tokoh politik satu
partai ini? KORAN SINDO memberikan kritik halus yang penting diperhatikan.
Jokowi dan Megawati disarankan kembali duduk bersama.
Keduanya mesti
mendiskusikan platform politik Nawacita yang dulu mereka tawarkan sepanjang
kampanye. Kesenjangan das sein dan das solen selama lima bulan terakhir ini telah menggerogoti wibawa
Presiden.
Menurunkan rating
kredibilitas Presiden Jokowi yang disanjung setinggi langit selama musim
kampanye. Lebih fatal lagi, serangkaian blunder kebijakan yang dibuat
menjadikannya teralienasi dari konstituennya, termasuk PDIP, pilar politik
yang memperjuangkannya.
Megasentris
Salah satu dari banyak
hal yang menarik diulas untuk menjelaskan tafsiran tajuk KORAN SINDO adalah
sikap dan pengaruh Megawati. Dari sekilas gesture yang selalu
diperlihatkan Presiden Jokowi ketika berada di sekitar Mega, Ketua PDIP itu
terekspos sangat dominan dan mobis.
Megawati tidak
menggubris Jokowi ketika duduk di sampingnya pada saat Kongres PDIP baru
lalu. Bahkan sebagai presiden pun Jokowi tidak diberi kesempatan berpidato.
Sesuatu yang selama ini sebenarnya telah menjadi tradisi ketika presiden RI
hadir dalam berbagai perhelatan sebuah parpol.
Persoalannya, sikap
Mega terhadap Jokowi, khususnya atas keputusan-keputusan politik maupun
kebijakan pemerintah yang diambil Jokowi, lebih banyak dipertontonkan seperti
drama. Ada intrik, agitasi, kompetisi internal, by pass, pengkhianatan, stubbornness, pembusukan, power game, dan lain-lain.
Dari serangkaian
peristiwa politik yang mempertautkan kepentingan maupun kedudukan keduanya,
Megawati jarang atau tidak pernah tampil ke depan menjelaskan concern, keberatan, atau pandangan-pandangannya. Kalaupun dilakukan,
hal itu selalu melalui orang ketiga, pengurus partai, orang kepercayaan, atau
putrinya sendiri.
Sebaliknya, Jokowi
hanya menyinggungnya ketika ditanya media dengan keterangan minimal. Bahasa
yang digunakan Jokowi pun tipikal khas dia: guyon dan bercanda. Hal itu membuat
absensi politik Megawati—sikapnya yang diam dan pasif—sedikit agak terbantu
tertutupi oleh gaya politik populis Jokowi yang disukai publik.
Sebenarnya, untuk
menyudahi ”unnecessary error” dan ”exhausted drama” antara kedua tokoh politik, termasuk pula
dengan figur-figur politik lain, sikap interaktif Megawati terhadap Presiden
Jokowi harusnya lebih terbuka dan komunikatif. Pengertian terbuka tidak harus
diartikan selalu dilakukan di hadapan publik atau media.
Tetapi arahnya lebih
terbuka kepada Presiden dan tidak mendiamkannya ketika terjadi miskomunikasi
ataupun keputusan yang tidak dapat mereka terima. Bagaimanapun, Presiden
Jokowi tidak dapat ”dipaksa” untuk bersikap akomodatif atau outreach terhadap seluruh kepentingan partai politik. Karena semua itu
sudah memiliki saluran tersendiri di parlemen dan KIH sebagai ruling coalition.
Lagi pula, sebagai
presiden, Jokowi tidak lagi menjadi representasi kekuasaan PDIP, melainkan
telah menjadi milik dan aset seluruh rakyat Indonesia. Kecenderungan
Megasentris yang membayangi pemerintahan Jokowi mesti dikikis. Jika pun tidak
dapat dikurangi, Mega mesti meletakkan kontrolnya terhadap kekuasaan Jokowi
tetap sebagai parpol biasa.
Sama dengan parpol
lain, baik di KIH ataupun KMP. Bukan sebagai perwujudan refleksi relasi ketua
partai dan petugas partai. Bila ini terjadi, Mega hanya membuat double jeopardy bagi dirinya, maupun terhadap popularitas dan
kredibilitas Presiden.
Trust
Deficit
Heboh munculnya
istilah ”the messenger”, ”menusuk dari
belakang”, ”sembelih” dan petugas partai terus menambah kekisruhan dialektika
kekuasaan Megawati dan Jokowi. Hal yang paling dikhawatirkan adalah jika
kekisruhan itu justru bukan akibat buruknya komunikasi politik keduanya.
Publik pun sebenarnya mesti fair
terhadap Mega atau Jokowi.
Kita juga harus
memberikan benefit of the doubt. Bisa jadi hubungan
dingin tercipta di luar kontrol mereka. Tetapi dikarenakan power play yang sengaja dimainkan
atau setting yang diciptakan oleh spin doctor di sekitar Megawati ataupun Jokowi. Ucapan
Presiden soal ”the messenger” menyiratkan hal
tersebut.
Dipastikan bahwa
kekisruhan berlarut-larut seperti ini hanya mengebiri efektivitas Presiden
dalam menjalankan agenda-agenda yang dipercayakan rakyat kepadanya. Jokowi
memerlukan ruang manuver yang tenang untuk mewujudkan janji-janjinya.
Megawati harus memberikan ketenangan atmosfer yang dibutuhkan, termasuk
menghindari uneasiness yang timbul akibat
kompleksitas hubungan tersebut.
Dominasi penguatan
kontrol PDIP terhadap aktivitas Presiden tidak boleh lagi dilakukan secara careless dan provokatif. Sebagai seorang figur politik baru di tingkat
nasional, turbulensi kekuasaan hanya akan membuat kenaifan atau karutmarut
pemerintahan Jokowi menjadi lebih terekspos.
Sebaliknya, dukungan
dan confidence kita terhadap Jokowi jangan terus digerus
oleh blunder kebijakan yang dibuat oleh para pembantunya ataupun Presiden
sendiri. Hal itu hanya akan melanggengkan ”trust deficit” yang akan sangat
memengaruhi sikap bersama publik vis-a-vis
Jokowi, baik bagi yang berafiliasi maupun oposisi.
Penting bagi Jokowi
untuk bersikap prudent, hati-hati, dan cautious dalam menjalankan kekuasaannya. Semakin noisy urusan di sekitar Jokowi, semakin tinggi probabilitas
terjadinya gaffe politik yang
berimplikasi pada kepercayaan publik. Cara mengelola hubungan yang rumit
dengan Mega ataupun para pentolan koalisi KIH, termasuk KMP, adalah test case terhadap masa depan dan kesinambungan kekuasaan Jokowi.
Manajemennya bukan
lagi bertumpu pada trial and error. Kekuasaan yang
diraih sejak awal sudah sarat pertarungan. Maka kelanggengannya sangat
tergantung pada konsistensi righteous path yang ditempuh Jokowi
dan koalisi politiknya. Kepercayaan publik sebagai fondasi paling utama dari
koalisi itu menjadi satu-satunya legitimasi yang dapat menyelamatkan
keterpurukan tersebut.
Kapitalisasinya tidak
dapat digantikan oleh manuver politik apa pun, termasuk pencitraan yang sudah
telanjur dipahami publik sebagai klise. Baik Jokowi maupun Megawati, tidak
ada yang lebih penting daripada menyelamatkan reputasi mereka berdua.
Reputasi itu juga akan sangat menentukan masa depan PDIP sebagai partai wong
cilik dalam ajang pemilu mendatang.
Nilai plus-minus
kepemimpinan mereka tidak akan mudah dilupakan konstituen. Hanya dengan cara
itu publik akan belajar dalam memilih rasionalitas politik terbaik yang dapat
mewakili, memperjuangkan, dan menjaga kepentingan mereka sebagai pemegang
kedaulatan negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar