Apa
Betul Kuat di Lokal, Berjaya di Luar?
Tandean Rustandy ; CEO PT Arwana Citramulia Tbk
|
KORAN SINDO, 05 Mei 2015
Beberapa waktu lalu
penulis menjadi pembicara dalam talkshow Sindonews.com bertema ”Kuat di
Lokal, Berjaya di Luar” . Topiknya sederhana, namun sangat dalam. Apa betul
perekonomian kita sudah kuat di lokal dan mampu berjaya di luar? Penulis
sangat menghargai topik tersebut dan yakin Sindonews sudah melakukan riset
mengenai situasi yang dihadapi bangsa Indonesia. Sekalipun memiliki daratan
subur dan lautan luas dengan dua musim, kita tidak mampu berswasembada
makanan pokok, seperti beras dan daging, sehingga masih harus mengimpor.
Laut kita sangat luas,
tetapi kehidupan nelayan masih memprihatinkan, disertai maraknya pencurian
ikan oleh kapal asing. Salah satu faktor pertumbuhan produk domestik
bruto(PDB) kita berasal dari sektor belanja konsumen, namun pertumbuhannya
kurang sehat karena sebagian besar masih diimpor. Dibidangolahraga, dulunya
kitaselalu juara SEA Games, tetapi sekarang masukempat besar saja sudah
bersyukur.
Yang lebih
menyakitkan, sekalipun sudah merdeka 70 tahun, sebagian transaksi perdagangan
dalam negeri masih menggunakan dolar Amerika Serikat (AS). Bayangkan, untuk
transaksi di negeri sendiri, kita bahkan tidak mempunyai kedaulatan
menggunakan mata uang rupiah. Di bidang pendidikan, apa yang patut
dibanggakan? Ranking universitas terbaik kita masih di bawah universitas
Singapura dan Malaysia.
Kualitas lulusan
universitas para menteri semakin terdegradasi dibandingkan kabinet jaman
Soekarno, Soeharto hingga pemerintahan SBY. Padahal, problem perekonomian dan
politik global yang dihadapi sekarang jauh lebih kompleks. Berbeda dari
Singapura, di mana direktur, direktur jenderal, dan menteri lulusan
universitas terbaik dunia dan harus menguasai bidang masing-masing, di
Indonesia, posisi strategis pemerintahan diisi orang partai dan tim sukses
presiden. Hal ini sebenarnya tidak masalah, sejauh orangnya berkualitas dan
mumpuni.
Tetapi realitanya
berbeda, sehingga kondisi bangsa semakin terpuruk. Ironis memang, sekalipun
memiliki kekayaan alam luar biasa dengan potensi pasar begitu besar, lokal
kita tetap lemah karena masih bergantung impor–lalu bagaimana bisa ”berjaya
di luar”? Penyebabnya karena pemimpin kita lebih memikirkan kepentingan
kelompok dan pribadi daripada kepentingan bangsa.
Pemanfaatan kekayaan
alam dan budget APBN menjadi prioritas penambahan kekayaan. Realitanya,
sementara kualitas hidup mayoritas penduduk sangat mengenaskan, banyak wakil
rakyat hidupnya berkelimpahan. Tidak heran jika Indonesia tetap terpuruk.
Kita sudah memasuki era Reformasi, tetapi kualitas pemimpin kita tidak siap
berubah. Pemenang Nobel Sastra 1925, George Bernard Shaw berkata, ”Mustahil
ada kemajuan tanpa perubahan. Orang yang tidak dapat mengubah pikirannya,
tidak akan bisa mengubah apa-apa.”
Kebanyakan orang
Indonesia menolak perubahan karena takut kehilangan yang sedang dinikmati.
Orang kita mahir berbicara dan berdebat, tanpa disadari mental cinta
bangsanya sudah memudar. Semangat membangun kepentingan institusi yang lebih
besar hanya sebatas wacana. Sementara perubahan jaman akan menghabisi semua yang
tidak siap melakukan perubahan. Jika ingin Indonesia bermartabat dan
berdaulat, setiap komponen bangsa harus berubah, bahkan perubahannya lebih
cepat dari perubahan luar.
Kelemahan mendasar
negara kita adalah ketidakpastian hukum dan sistem pendidikan yang statis.
Banyak pengusaha, baik lokal maupun asing, sering memanfaatkan kelemahan
sistem hukum. Pendidikan kita tidak merata. Hanya orang kaya dan mereka di
kota besar yang dapat menikmati pendidikan berkualitas, padahal mayoritas
penduduk tinggal di daerah. Kita sering mendengar, betapa sulitnya anak-anak
di daerah terpencil berangkat ke sekolah. Mereka harus berjalan kaki berkilo-kilo
meter dan tak jarang berbahaya, untuk mengecap pendidikan sekolah dasar.
Tidak mungkin mengubah cara berpikir tanpa
pendidikan yang berkualitas. Bagaimana Indonesia bisa berubah kalau sebagian
besar rakyatnya kurang berpendidikan; dan bagi yang berpendidikan,
kualitasnya sangat marginal dibandingkan Singapura, Malaysia, maupun
Thailand. Sistem pendidikan yang statis, penyelenggaraan pemerintahan yang
tidak sepenuh hati menjalankan good governance secara terbuka dan konsisten,
serta penegakan hukum yang kurang diawasi dan tidak tegas menjadi alasan
utama mengapa target pengentasan kemiskinan sangat mengecewakan.
Pada tahun 2000,
jumlah penduduk miskin Indonesia 38,7 juta orang, dengan total PDB USD165
miliar. Tahun 2013, jumlah penduduk miskin turun kurang dari 30% ke angka
28,55 juta orang, sedangkan total PDB naik 426% menjadi USD868 miliar. Ketika
PDB naik 426%, jumlah penduduk miskin hanya turun 30%.
Dengan kata lain,
pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang dan tidak
menyejahterakan penduduk miskin. Artinya, yang kaya semakin kaya, yang
berkuasa semakin berkuasa, dan yang miskin menjadi semakin miskin. Visi
pemimpin harus menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi.
Presiden ke-35 Amerika Serikat, John F Kennedy, pernah berkata: ”Jangan
bertanya apa yang bisa negara lakukan untukmu, tetapi bertanyalah apa yang
bisa kamu lakukan untuk negaramu.”
Kami tidak memiliki
modal besar pada waktu memulai usaha, namun usaha kami sekarang mampu menjadi
perusahaan yang berkontribusi untuk rakyat dan negara, sekaligus diminati
fund manager asing. Ironisnya, bangsa kita memiliki kekayaan alam yang berlimpah,
namun tetap miskin. Semuanya karena mentalitas pemimpin bangsa yang sudah
nyaman bertahta di comfort zone .
Padahal, pemimpin itu
mesti melayani, bukan dilayani, harus sering turun ke lapangan untuk check
and recheck , dan bukan hanya menerima laporan. Laporan bisa keliru dan
direkayasa, namun dengan langsung turun ke bawah, bisa mengerti dengan jelas.
Presiden Jokowi sudah memeloporiblusukan dan langsung bertemu dengan rakyat.
Namun sayangnya, solusi persoalan masih sebatas wacana. Keberhasilan sebuah
institusi, baik negara, perusahaan, organisasi keagamaan maupun keluarga
sangat bergantung pada kualitas kepemimpinan.
Pemimpin harus mutlak
jadi teladan. Ada tiga sifat pemimpin bijaksana. Sifat pertama dinyatakan
oleh Lao Tzu, filsuf besar China, ”Seorang pemimpin yang terbaik adalah
ketika orang hampir tidak tahu dia ada, ketika karyanya dilakukan, tujuannya
terpenuhi, mereka akan berkata: kita melakukannya sendiri.” Dengan kata lain,
pemimpin tidak perlu pencitraan. Hampir tidak ada pemimpin Indonesia masuk
kategori ini. Sifat kedua diajarkan Plato, guru dan filsuf Yunani, ”Bagi
siapa yang ingin melayani negaranya, bukan hanya harus memiliki kemampuan
berpikir, tetapi juga memiliki kemauan bertindak.”
Sifat kedua ini
dimilikibeberapa pemimpin bangsa kita. Sedangkan sifat ketiga berasal dari
Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat, ”Saya ingin melihat seseorang
bangga dengan tempat di mana ia tinggal. Saya ingin melihat seseorang hidup
sehingga tempatnya berada akan bangga terhadapnya.” Jadi kalau mau menjadi
pemimpin bijaksana, apakah itu kelompok kecil atau dalam suatu negara besar,
ketiga sifat dan karakter tersebut harus mutlak dimiliki.
Perubahan drastis
Singapura dari negara terbelakang menjadi negara nan makmur tanpa ada
kekayaan alam lantaran teladan dan pengorbanan tanpa pamrih Perdana Menteri
sekaligus Bapak Bangsa Lee Kuan Yew. Satu kalimat indah yang diucapkannya,
”Saya tidak menyesal. Saya sudah menghabiskan hampir seluruh hidup saya
membangun negara ini. Pada akhirnya, apa yang saya dapatkan? Singapura yang
sukses. Apa yang saya korbankan? Hidup saya.” Inilah konklusi untuk topik
”Kuat di lokal, dan berjaya di luar.”
Wahai para pemimpin
bangsa, apakah tidak malu melihat Indonesia semakin terpuruk dan tidak
mustahil anak cucu kita akan hidup miskin di waktu mendatang apabila kita
tidak mau berubah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar