Hantu
Rasio Dosen-Mahasiswa
Johanes Eka Priyatma ; Rektor Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
|
KOMPAS, 15 April 2015
Minggu-minggu ini pimpinan perguruan tinggi, terutama perguruan
tinggi swasta, gelisah seperti dikejar hantu karena mendapat surat peringatan
dari pemerintah.
Peringatan tersebut terkait dengan kecukupan rasio minimal
dosen-mahasiswa untuk setiap program studi. Pemerintah telah menetapkan bahwa
untuk program studi eksakta, rasio tersebut minimal 1:30 dan untuk program studi
non-eksakta minimal 1:45. Pemerintah memberikan ancaman kepada pimpinan
perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) bahwa program
studi yang punya rasio jauh lebih kecil dari angka itu akan ditutup. Apakah
"hantu" yang menakutkan ini sungguh layak kita takuti?
Dasar penetapan rasio
Pemerintah memakai dalih bahwa rasio dosen-mahasiswa dapat
menjadi cara efektif untuk mengendalikan mutu program studi. Namun, kalau
kita cermati lebih jauh, argumentasi pemerintah ini sebenarnya lemah dan
bahkan mengandung banyak konsekuensi yang justru akan menurunkan kualitas
program studi.
Pertama, rasio dosen-mahasiswa hanyalah salah satu dari banyak
sekali faktor penentu kualitas program studi. Pemerintah sudah lama
mengharuskan pemakaian mekanisme akreditasi sebagai cara komprehensif menilai
kualitas program studi. Dari waktu ke waktu, instrumen penilaiannya semakin
lengkap dan mendetail serta telah mencakup input, proses, dan output sebuah
program studi. Apakah kecukupan rasio dosen-mahasiswa dapat menegasikan
begitu saja status atau peringkat akreditasi suatu program studi? Sampai
sekarang pemerintah tidak memberi penjelasan keterkaitan antara kualitas
program studi berdasar akreditasi dan kecukupan rasio dosen-mahasiswa ini.
Kedua, pemerintah tidak pernah menjelaskan dari mana rasio 1:30
dan 1:45 ini diperoleh dan dalam konteks apa? Kalau rasio ini digunakan dalam
konteks pembelajaran, banyak PTS akan gulung tikar ketika jumlah peserta
kuliah di setiap kelas dibatasi hanya 30 dan 45. Bagaimana PTS dapat
membiayai layanan pendidikannya ketika justru program studi eksakta yang
banyak membutuhkan prasarana pembelajaran seperti alat-alat laboratorium dan
bahan habis pakai harus ditanggung oleh lebih sedikit mahasiswa dibandingkan
dengan untuk program studi non-eksakta? Lagi pula, program studi juga
melibatkan para dosen tidak tetap atau calon dosen dalam pembelajaran, tetapi
para dosen ini tidak dapat ikut dihitung sebagai pembagi dalam rasio
tersebut.
Kecukupan rasio 1:30 dan 1:45 sungguh tidak masuk akal jika
hanya memperhitungkan dosen tetap saja, bahkan hanya dosen yang mempunyai
Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), padahal banyak PT yang mempunyai dosen
yang belum ber-NIDN. Seandainya rasio ini terkait dengan pembimbingan tugas
akhir maka 1:30 apalagi 1:45 justru tidak ideal dan juga tidak nyata karena
untuk program S-1 (empat tahun) hanya sekitar 25 persen mahasiswa di suatu program studi yang perlu bimbingan
tugas akhir.
Ketiga, ketentuan rasio minimal ini akan menurunkan antusiasme
masyarakat untuk terlibat mencerdaskan bangsa karena angka partisipasi kasar
(APK) pendidikan tinggi kita masih di bawah 20 persen. Ketentuan tentang
rasio dosen-mahasiswa akan menjadikan PTS terlalu mahal bagi masyarakat.
Untuk program studi eksakta, rasio 1:30 membawa konsekuensi jumlah mahasiswa
total empat angkatan hanya 180 untuk jumlah dosen enam orang. Jika setiap mahasiswa rata-rata
membayar Rp 3 juta selama satu semester, program studi itu hanya mampu
mengumpulkan dana Rp 480 juta. Dana ini tak akan cukup untuk menggaji enam
dosen ditambah minimal dua karyawan serta membiayai kegiatan praktikum dan
kemahasiswaan. Dengan kata lain, rasio ini akan menjadikan program studi di
PTS terlalu mahal bagi masyarakat.
Keempat, di tengah semakin majunya sistem pembelajaran jarak
jauh (PJJ) karena kecanggihan dan ketersediaan teknologi internet, rasio
dosen-mahasiswa ini akan berlawanan dengan pengembangan PJJ. Internet sebagai
platform PJJ justru mendobrak
keterbatasan fisik sehingga mampu meningkatkan jumlah peserta pembelajaran.
Pemerintah telah mengakui hal ini bahkan mendorong PT di Indonesia untuk
mengembangkan PJJ. Lagi pula, dalam konteks negara besar kepulauan, Indonesia
semestinya menangkap peluang PJJ berbasis internet karena PJJ dapat secara
efektif memperluas jangkauan dan meningkatkan partisipasi belajar masyarakat.
Konteks pengembangan PT
Kalau PJJ juga harus memenuhi ketentuan rasio dosen-mahasiswa
ini betapa PJJ menjadi absurd untuk dilakukan. Pemakaian kriteria rasio
dosen-mahasiswa sebagai ukuran kualitas pembelajaran tidak lagi sesuai
semangat zaman ini karena di zaman
digital belajar harus kita pahami dengan cara baru. Perkara belajar bukan
lagi pertama-tama perkara bertemu dengan otoritas keilmuan, tetapi lebih
sebagai perkara akses ke sumber pengetahuan.
Memang rasio dosen-mahasiswa ini akan memaksa program studi
untuk meluluskan mahasiswanya secara tepat waktu. Semakin banyak mahasiswa
yang tak lulus tepat waktu akan memperkecil rasio ini. Konsekuensinya, untuk
program studi eksakta yang mempunyai enam dosen, setiap tahun hanya bisa
menerima 30 mahasiswa baru dan setiap tahun harus meluluskan 30 mahasiswa
lama. Hal ini bukan perkara mudah. Solusi lain adalah menambah dosen, tetapi
akan membawa konsekuensi membesarnya pendanaan untuk gaji dosen.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menerapkan ketentuan rasio
dosen-mahasiswa ini dalam konteks pengembangan PT secara tepat. Apakah
ketentuan ini dibuat dalam konteks pembelajaran tatap muka ataukah dalam
konteks pendampingan penulisan tugas akhir atau pendampimgan kegiatan
mahasiswa atau untuk semuanya? Selain itu, pemerintah perlu menjelaskan dari
mana dan atas pertimbangan apa memakai batas 30 dan 45. Jika kedua hal ini
tidak jelas, ketentuan rasio ini justru akan seperti hantu yang menakuti
banyak orang, padahal tidak nyata kehadiran dan relevansinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar