Dunia
Lebih Lebar dari Layar Hape
Azrul Ananda ; Dirut Jawa Pos Koran
|
JAWA POS, 15 April 2015
Anak kita tampil di panggung. Sayangnya, yang duduk tidak bisa
menonton. Gara-gara ada begitu banyak orang tua maju ke depan berebut merekam
pakai handphone dan bahkan iPad…
***
Istri saya kadang harus rutin mengingatkan saya –dan kemudian
memaksa saya– untuk hadir melihat anak-anak kami tampil di panggung untuk
acara sekolah.
Sayangnya, dan ini saya yakin cerita banyak orang, kami pada
akhirnya tidak bisa melihat jelas aksi anak kami di atas pentas.
Ada terlalu banyak ibu dan bapak berebut di depan panggung,
berusaha merekam seluruh gerak-gerik anak yang tampil. Banyak yang pakai
handphone (hape), tidak sedikit yang blak-blakan mengeblok pandangan orang di
belakang karena merekam pakai tablet selebar majalah.
Kalau motret, mungkin masih oke lah, karena bisa cuma sebentar
maju, lalu mundur lagi. Lha ini merekam video.
Di satu sisi, dongkol juga ya. Di sisi lain, cekikikan juga.
Lalu, saya juga ingat kalau ’’merekam’’ ini sudah jadi kultur kita sekarang.
Datang ke konser? Tidak lagi berdiri atau duduk tenang, atau
berjoget, menikmati lagu yang ditampilkan sang bintang di panggung. Semua
pada sibuk mengacungkan tangan, merekam aksi di panggung.
Tangannya betah-betah.
Kadang awal sampai akhir terus teracung.
Saat pertandingan basket pun, saya lihat banyak orang yang terus
merekam pertandingan memakai hape dan tablet.
Saya pun terus berpikir. Something is wrong… Ada yang nggak
bener…
***
Pada Happy Wednesday edisi sebelumnya, saya pernah menyebut nama
George Carlin sebagai stand-up comedian favorit saya.
Saya teringat pada salah satu bagian dari penampilan sang
komedian. Saya akan mengutipnya di bawah ini, dengan mengubah beberapa bagian
supaya lebih relevan dengan kondisi saat ini. Misalnya, Carlin dulu menyebut
’’camcorder’’ alias handycam, dan itu saya ganti dengan handphone. Saya tentu
juga mengganti kata-kata jorok yang dia pakai…
Berikut ucap Carlin:
’’(Alat perekam video) ini teknologi yang berlebihan. Ke
mana-mana kita pergi, selalu ada orang brengsek membawa handphone, dan dia
akan merekam segalanya!
Sudah tidak adakah orang di negeri ini yang memilih untuk duduk
diam dan memperhatikan, meresapi apa yang mereka lihat, lalu mengenangnya di
dalam kepala? Apakah itu sesuatu yang aneh?
Apakah pengalaman harus selalu diabadikan, dibawa pulang, lalu
disimpan dalam alat? Dan apakah orang akan menonton kembali rekaman-rekaman
itu? Apakah orang-orang sudah begitu tidak ada kerjaan, sehingga mereka lebih
banyak duduk di rumah menonton kembali hal-hal yang sudah mereka lihat atau
lakukan?’’
***
Itu dua kata kunci dari sindiran Carlin tersebut.
Bayangkan saja. Kita pergi menonton anak kita beraksi di atas
panggung. Seburuk apa pun akting, gaya, dan suara mereka di atas panggung,
mereka tetap anak kita.
Rekaman video paling profesional tidak akan mampu membuatnya
lebih baik, menjadikan anak-anak kita seperti superstar atau bintang
Hollywood.
Lagi pula, biasanya yang bikin acara sudah menyiapkan kru video
untuk merekam kegiatan di panggung. Dan kamera mereka pasti jauh lebih bagus
daripada handphone atau tablet perekam kita.
Dan tentu saja, operatornya lebih profesional.
Bukankah jauh lebih baik kita semua duduk (atau berdiri) tenang,
memperhatikan dan menonton dengan sopan, meresapi segala yang terjadi, dan
mengingatnya sebagai memori di dalam kepala?
Kalau kita paksakan diri merekam pakai hape, ada kemungkinan
kita akan miss dua kali dari penampilan tersebut.
Pertama, kita tidak memperhatikan dan meresapi ketika anak-anak
kita tampil. Kedua, ternyata rekaman yang kita buat shaky (bergetar),
terganggu orang lewat atau perekam lain, atau bahkan terputus atau tidak
terekam!
Lagi pula, dunia ini layak dikenang lebih dalam dari sekadar penampilan
di layar mini, atau bahkan penampilan yang diproyeksikan ke layar lebar atau
dinding rumah.
Dan walau saya bukan calon ayah teladan, makin lama saya juga
makin sadar kalau momen-momen itu kelak akan kita rindukan. Ada teman saya
yang pernah mengingatkan: ’’Nikmati mumpung anak-anak kamu masih lucu-lucu.
Nanti tiba-tiba mereka sudah besar-besar dan semua ini terlewatkan…’’
***
Hobi sepedaan ke tempat aneh-aneh dan jauh-jauh, ada banyak
tempat yang saya lihat, yang tidak mungkin dinikmati kalau kita berjalan
(terlalu jauh) atau naik mobil (terlalu terisolasi dari udara luar).
Soal merekam ini, saya hampir membuat kesalahan yang sama dengan
perekam-perekam acara anak di pentas.
Beberapa waktu lalu, saya membeli sunglass (kacamata) khusus
yang dilengkapi kamera tepat di tengahnya. Jadi, sambil bersepeda bisa
merekam segala yang kita lihat. Mengikuti arah mata kita, bukan statis diam
seperti merekam pakai kamera GoPro.
Keren? Iya. Tapi, pada akhirnya, tetap tidak terlalu berguna.
Ketika memutar lagi rekamannya di laptop, memang gambarnya jelas
karena kameranya memang high-definition.
Namun, ada banyak di rekaman itu yang tetap tidak menggambarkan
betapa luar biasa pengalaman yang telah saya rasakan saat menjalaninya.
Rekaman itu tidak bisa menyampaikan betapa segarnya udara di
pegunungan yang saya daki. Rekaman itu tidak bisa menyampaikan hangatnya
cahaya matahari menerpa kulit. Dan rekaman itu tidak bisa menyampaikan
bau-bauan –baik maupun buruk– yang ada dalam perjalanan.
Dan kadang, karena sedang berusaha mati-matian menanjak, rekaman
itu hanya bisa menyampaikan video aspal bergoyang ke kanan dan ke kiri
(karena saya selalu menunduk) serta desah napas keras saya sendiri…
Sekarang, kacamata keren itu sangat jarang saya pakai. Saya
memilih pakai kacamata biasa, menikmati dan meresapi segala yang saya lihat
selama perjalanan… ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar