Jumat, 17 April 2015

Dunia Lebih Lebar dari Layar Hape

Dunia Lebih Lebar dari Layar Hape

Azrul Ananda  ;  Dirut Jawa Pos Koran
JAWA POS, 15 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Anak kita tampil di panggung. Sayangnya, yang duduk tidak bisa menonton. Gara-gara ada begitu banyak orang tua maju ke depan berebut merekam pakai handphone dan bahkan iPad…

***

Istri saya kadang harus rutin mengingatkan saya –dan kemudian memaksa saya– untuk hadir melihat anak-anak kami tampil di panggung untuk acara sekolah.

Sayangnya, dan ini saya yakin cerita banyak orang, kami pada akhirnya tidak bisa melihat jelas aksi anak kami di atas pentas.

Ada terlalu banyak ibu dan bapak berebut di depan panggung, berusaha merekam seluruh gerak-gerik anak yang tampil. Banyak yang pakai handphone (hape), tidak sedikit yang blak-blakan mengeblok pandangan orang di belakang karena merekam pakai tablet selebar majalah.

Kalau motret, mungkin masih oke lah, karena bisa cuma sebentar maju, lalu mundur lagi. Lha ini merekam video.

Di satu sisi, dongkol juga ya. Di sisi lain, cekikikan juga. Lalu, saya juga ingat kalau ’’merekam’’ ini sudah jadi kultur kita sekarang.

Datang ke konser? Tidak lagi berdiri atau duduk tenang, atau berjoget, menikmati lagu yang ditampilkan sang bintang di panggung. Semua pada sibuk mengacungkan tangan, merekam aksi di panggung.

Tangannya betah-betah.

Kadang awal sampai akhir terus teracung.

Saat pertandingan basket pun, saya lihat banyak orang yang terus merekam pertandingan memakai hape dan tablet.

Saya pun terus berpikir. Something is wrong… Ada yang nggak bener…

***

Pada Happy Wednesday edisi sebelumnya, saya pernah menyebut nama George Carlin sebagai stand-up comedian favorit saya.

Saya teringat pada salah satu bagian dari penampilan sang komedian. Saya akan mengutipnya di bawah ini, dengan mengubah beberapa bagian supaya lebih relevan dengan kondisi saat ini. Misalnya, Carlin dulu menyebut ’’camcorder’’ alias handycam, dan itu saya ganti dengan handphone. Saya tentu juga mengganti kata-kata jorok yang dia pakai…

Berikut ucap Carlin:

’’(Alat perekam video) ini teknologi yang berlebihan. Ke mana-mana kita pergi, selalu ada orang brengsek membawa handphone, dan dia akan merekam segalanya!

Sudah tidak adakah orang di negeri ini yang memilih untuk duduk diam dan memperhatikan, meresapi apa yang mereka lihat, lalu mengenangnya di dalam kepala? Apakah itu sesuatu yang aneh?

Apakah pengalaman harus selalu diabadikan, dibawa pulang, lalu disimpan dalam alat? Dan apakah orang akan menonton kembali rekaman-rekaman itu? Apakah orang-orang sudah begitu tidak ada kerjaan, sehingga mereka lebih banyak duduk di rumah menonton kembali hal-hal yang sudah mereka lihat atau lakukan?’’

***

Itu dua kata kunci dari sindiran Carlin tersebut.

Bayangkan saja. Kita pergi menonton anak kita beraksi di atas panggung. Seburuk apa pun akting, gaya, dan suara mereka di atas panggung, mereka tetap anak kita.

Rekaman video paling profesional tidak akan mampu membuatnya lebih baik, menjadikan anak-anak kita seperti superstar atau bintang Hollywood.

Lagi pula, biasanya yang bikin acara sudah menyiapkan kru video untuk merekam kegiatan di panggung. Dan kamera mereka pasti jauh lebih bagus daripada handphone atau tablet perekam kita.

Dan tentu saja, operatornya lebih profesional.

Bukankah jauh lebih baik kita semua duduk (atau berdiri) tenang, memperhatikan dan menonton dengan sopan, meresapi segala yang terjadi, dan mengingatnya sebagai memori di dalam kepala?

Kalau kita paksakan diri merekam pakai hape, ada kemungkinan kita akan miss dua kali dari penampilan tersebut.

Pertama, kita tidak memperhatikan dan meresapi ketika anak-anak kita tampil. Kedua, ternyata rekaman yang kita buat shaky (bergetar), terganggu orang lewat atau perekam lain, atau bahkan terputus atau tidak terekam!

Lagi pula, dunia ini layak dikenang lebih dalam dari sekadar penampilan di layar mini, atau bahkan penampilan yang diproyeksikan ke layar lebar atau dinding rumah.

Dan walau saya bukan calon ayah teladan, makin lama saya juga makin sadar kalau momen-momen itu kelak akan kita rindukan. Ada teman saya yang pernah mengingatkan: ’’Nikmati mumpung anak-anak kamu masih lucu-lucu. Nanti tiba-tiba mereka sudah besar-besar dan semua ini terlewatkan…’’

***

Hobi sepedaan ke tempat aneh-aneh dan jauh-jauh, ada banyak tempat yang saya lihat, yang tidak mungkin dinikmati kalau kita berjalan (terlalu jauh) atau naik mobil (terlalu terisolasi dari udara luar).

Soal merekam ini, saya hampir membuat kesalahan yang sama dengan perekam-perekam acara anak di pentas.

Beberapa waktu lalu, saya membeli sunglass (kacamata) khusus yang dilengkapi kamera tepat di tengahnya. Jadi, sambil bersepeda bisa merekam segala yang kita lihat. Mengikuti arah mata kita, bukan statis diam seperti merekam pakai kamera GoPro.

Keren? Iya. Tapi, pada akhirnya, tetap tidak terlalu berguna.

Ketika memutar lagi rekamannya di laptop, memang gambarnya jelas karena kameranya memang high-definition.

Namun, ada banyak di rekaman itu yang tetap tidak menggambarkan betapa luar biasa pengalaman yang telah saya rasakan saat menjalaninya.

Rekaman itu tidak bisa menyampaikan betapa segarnya udara di pegunungan yang saya daki. Rekaman itu tidak bisa menyampaikan hangatnya cahaya matahari menerpa kulit. Dan rekaman itu tidak bisa menyampaikan bau-bauan –baik maupun buruk– yang ada dalam perjalanan.

Dan kadang, karena sedang berusaha mati-matian menanjak, rekaman itu hanya bisa menyampaikan video aspal bergoyang ke kanan dan ke kiri (karena saya selalu menunduk) serta desah napas keras saya sendiri…

Sekarang, kacamata keren itu sangat jarang saya pakai. Saya memilih pakai kacamata biasa, menikmati dan meresapi segala yang saya lihat selama perjalanan…  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar