Ada Apa dengan Situs Islam?
Suhardi ; Alumnus Pascasarjana UKM Malaysia
|
JAWA
POS, 01 April 2015
KEPUTUSAN
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memblokir 22 situs
Islam "radikal" atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) mengundang reaksi publik. Tidak terkecuali di dunia maya.
Protes perlawanan digaungkan para netizen. Terbukti, tanda pagar (tagar)
#KembalikanMediaIslam menjadi trending
topic beberapa hari terakhir.
Kebijakan
pemerintah memblokir situs Islam kembali mengingatkan kita pada zaman
otoriter. Yakni, ketika pers berbeda pandangan dengan pemerintah, izin pers
dicabut atau lebih dikenal dengan istilah pemberedelan. Menilai sebuah
pemberitaan yang dimuat di media cetak atau online bukanlah pekerjaan mudah.
Apalagi, pasal 4 ayat 2 UU No 40/1999 menjelaskan, "Terhadap pers
nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan
penyiaran."
Publik patut
mencurigai dan menanyakan kepada pemerintah apa urgensi ke-22 situs Islam
tersebut diblokir. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dijelaskan oleh
pemerintah. Pertama, apa yang dimaksud dengan situs radikal. Apakah ketika
situs Islam memberitakan tentang penzaliman dan penindasan terhadap umat
Islam bisa disebut radikal? Misalnya memberitakan pembantaian umat Islam
Rohingya di Myanmar, perlakuan tidak adil terhadap muslim Uighur di Tiongkok,
atau penindasan bangsa Israel terhadap Palestina, apakah termasuk kategori
radikal? Penjelasan itu harus jelas dan tuntas agar tidak menimbulkan prejudice publik.
Kedua,
politik global. Publik curiga dan khawatir bahwa Indonesia masuk agenda
percaturan politik global dan masuk perangkap kekuatan-kekuatan asing dalam
memerangi kekuatan Islam. Dalam transpolitik, menggunakan kekuatan lawan
lebih ampuh untuk memerangi dan menghancurkan kekuatan musuh itu sendiri. Isu
Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS) telah menjadi agenda politik internasional untuk memuluskan misi
politik mereka. Dulu, negara-negara Timur Tengah diisukan memiliki nuklir
serta menjadikannya sebagai argumentasi untuk melakukan ekspansi dan agresi.
Kini, setelah Iraq dan Saddam Husein tumbang, kepemilikan nuklir tidak
terbukti dan kekuatan politik transnasional mencari haluan baru, yakni ISIS.
Konon, keberadaan ISIS seperti yang diungkapkan mantan Menlu Amerika Serikat
(AS) Hillary Clinton. Yakni, ISIS merupakan organisasi buatan AS untuk memecah
belah dan membuat Timur Tengah senantiasa bergolak. Hal itu diperjelas oleh
Edward Snowden, pembocor rahasia intelijen AS yang kini bermukim di Rusia.
Dia mengungkapkan, ISIS bukan murni organisasi militan Islam.
Ketiga,
mencederai demokrasi dan kebebasan pers. Padahal, salah satu penyebab
lahirnya era reformasi adalah semangat melawan kungkungan terhadap kebebasan
pers. Dalam pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Pers dijelaskan, untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, serta
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Karena itu, menilai pers bersalah atau
tidak bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi, sebagian publik menilai dan
menjadikan UU Pers sebagai lex
specialis. Artinya, kasus yang menyangkut pelanggaran pers tidak boleh menggunakan
undang-undang selain UU Pers, apalagi memakai alasan subjektif pemerintah.
Sebab, kalau alasan untuk memblokir atau memberedel pers hanyalah alasan
subjektif tanpa menggunakan UU, kita khawatir akan kembali ke zaman otoriter.
Dan akan berdampak terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.
Keempat,
melukai hati umat Islam. Pemblokiran situs Islam tanpa alasan yang jelas
hanya akan membangun persepsi bahwa pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK) adalah pemerintah yang anti-Islam. Sebab, beberapa agenda
pemerintah sebelum ini sarat wacana kebijakan yang melukai hati umat Islam.
Misalnya wacana penghapusan kolom agama dan legalisasi nikah beda agama.
Apalagi, telah muncul di media sosial yang membandingkan kebijakan mantan
Menkominfo Tifatul Sembiring dan Menkominfo sekarang. Dulu Tifatul memblokir
situs porno, sekarang Rudiantara memblokir situs Islam.
Merujuk
beberapa pertanyaan publik yang berkaitan dengan pemblokiran situs Islam,
pemerintah harus menjelaskan dengan adil dan transparan alasannya. Sebab,
niat untuk menghambat bibit-bibit radikalisme bila dilakukan dengan cara-cara
"radikal" dikhawatirkan menumbuhsuburkan radikalisme itu sendiri.
Apalagi di tengah mulai rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan
Jokowi-JK.
Publik sepakat
bahwa radikalisme menjadi musuh bersama bangsa dan tidak terkait dengan agama
mana pun di dunia. Menjadikan agama tertentu sebagai akar radikalisme adalah
keputusan yang prematur, subjektif, dan tidak adil. Menghambat radikalisme
haruslah dengan cara-cara elegan dan produktif, bukan cara-cara
kontraproduktif. Dan satu lagi yang terpenting, jangan karena memerangi
radikalisme, orang akan punya penilaian baru tentang keberagamaan seseorang.
Besok-besok orang yang rajin beribadah dan menampilkan simbol-simbol Islam
malah dicap "radikal". Alhasil, agenda politik eksternal agar Islam
dan negara ini mundur menjadi kenyataan. Juga, akhirnya umat Islam menjadi
umat yang fobia dengan ajarannya serta takut untuk menyatakan dan menunjukkan
keislamannya.
Karena itu,
rakyat kini menuntut pemerintah untuk menjelaskan alasan pemblokiran 22 situs
Islam. Apalagi di tengah banyaknya persoalan bangsa yang kian hari kian
menghiasi kehidupan masyarakat. Mulai kisruh politik, merosotnya nilai
rupiah, naiknya harga BBM, hingga melambungnya harga barang. Artinya, rakyat
ingin pemerintah tidak menjadikan isu-isu tertentu sebagai politisasi
pengalihan isu sentral. Bila tidak, publik akan selalu bertanya dan bertanya,
ada apa dengan penutupan situs Islam? Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar