Kembali
Menegaskan Islam Profetik
Muchamad Yuliyanto ; Dosen
FISIP Universitas Diponegoro,
Peminat dinamika politik dan keumatan
|
SUARA
MERDEKA, 06 Maret 2015
“Melihat fakta kemajemukan
masyarakat kita, Islam tidak memiliki hubungan formal dengan negara”
ARTIKEL ini saya tujukan untuk melengkapi artikel Rektor
Unwahas Semarang Noor Achmad (SM,17/2/15), selaku peserta sekaligus tokoh
Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI pada 9-11 Februari 2015 yang
menghasilkan ’’Risalah Yogyakarta’’. Kegiatan itu digelar di tengah pusaran
keprihatian bersama atas kondisi umat, generasi muda, serta para pengelola
negara dan kebijakan publik yang terjebak turbulensi kemerosotan moral dan
etika.
Hampir tiap individu sebagai anggota masyarakat atau
jamaah keagamaan kini dapat mengakses informasi apa pun, yang membawa efek
tidak saja pada perubahan paradigma ataupun meluasnya pengetahuan. Akses itu
bisa berefek pada perubahan perilaku di masyarakat. Terpaan berbagai
informasi dibarengi kemerosotan internalisasi dan aktualisasi nilai jati diri
bangsa (Pancasila), menggerus pemahaman substantif ajaran agama.
Akibatnya, aktivitas keagamaan jadi sekadar komoditas
perbincangan sosial yang dikemas dalam budaya populer dan kegilaan pada
selebritas berbungkus agamawan. Oleh karenanya kini masih merebak patologi
sosial seperti apatisme, penggunaan narkoba, seks bebas, tawuran, sampai
perilaku bullying di kalangan remaja. Gejala yang mengkhawatirkan masa depan
bangsa.
Kehidupan sosial politik pascareformasi tidak menyertakan
ideologi sehingga orang berpolitik tanpa nilai diferensiasi. Padahal itu
seharusnya diperjuangkan lewat partai ataupun institusi pengambil keputusan. Perburuan kekuasaan di
legislatif dan eksekutif lewat pemilu
yang seharusnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, justru dilanda politik
pragmatis transaksional.
Ironisnya, semua itu mengatasnamakan kepentingan rakyat
dan demokrasi, padahal mereka dipastikan mayoritas muslim. Meski demikian
kita tidak perlu pesimistis apalagi patah harapan. Risalah KUII VI merupakan
serum sosial untuk mengobati penyakit akut anak bangsa tersebut. Kongres di
Yogyakarta itu terasa makin menegaskan Islam profetik.
Gerakan itu menempatkan nilai-nilai ajaran Islam sebagai
etika moral untuk lebih memandu perubahan dan perbaikan perilaku individu
ataupun kehidupan berbangsa dan bernegara di ranah sosial, ekonomi, budaya,
dan politik. Konkretnya, menempatkan ajaran Islam secara universal sebagai
nilai transformatif dalam bingkai amar makruf nahi mungkar sehingga bisa
diterima oleh keragaman entitas sosial politik.
Hal itu sejalan dengan pandangan Budhy Munawar Rahman
(1999;104) bahwa menempatkan Islam dalam pusaran kemajemukan Indonesia
sebagai Islam transformatif yang berupaya membebaskan masyarakat muslim
(termasuk yang miskin dan terbelakang) dari belenggu dominasi struktur
sebagai agenda utama.
Dominasi struktur adalah keberadaan institusi pemerintah
dan pembuat keputusan dari pusat hingga daerah, atau strata sosial atas nama
agama, ekonomi, sosial budaya, dan politik yang timpang. Hal itu bisa kita
saksikan dalam dua windu perjalanan reformasi. Kehendak mayortitas umat Islam
pascakemerdekaan telah menempatkan relasi agama dan negara dalam bingkai
integratif.
Bukan Satu-satunya
Artinya, relasi Islam dan negara ditunjukkan melalui
hubungan kehidupan agama dan pemeluknya, dan kehadiran negara yang ditentukan
oleh pola hidup kemasyarakatan yang diikutinya. Melihat fakta kemajemukan
masyarakat kita, Islam tidak memiliki hubungan formal dengan negara sehingga
tidak menghubungkan ajaran agama dengan urusan kenegaraan secara legal
formal. Apalagi Islam bukan satu-satunya agama yang diakui negara.
Risalah Yogyakarta jelas memperkuat Islam sebagai nilai
profetik yang berfungsi mengawal dan memandu perilaku individu ataupun
kemasyarakatan dan kenegaraan dalam NKRI. Kondisi itu tidak membutuhkan
dukungan formalitas yang mengarah pada negara agama.
Bukti risalah sebagai penegasan Islam Profetik ada pada
Pasal 2 yang secara tekstual tertulis ’’seruan kepada penyelenggara negara
dan kekuatan politik nasional untuk mengembangkan praktik politik yang
berakhlakul karimah alias menjunjung tinggi etika moral’’. Substansi ajaran
ditujukan kepada seluruh elemen bangsa.
Adapun nilai profetik yang mendesak pada gerakan
struktural adalah Pasal 4 yang berbunyi,’’ menyeru pemerintah dan seluruh
lapisan masyarakat untuk mewaspadai dan menghindarkan diri dari budaya yang
tak sesuai dengan nilai syariat Islam dan budaya luhur bangsa’’. Esensi itu
pun termaktub dalam Pancasila.
Terakhir, isi Pasal 1 ’’seruan persatuan umat Islam
Indonesia untuk bersatu membangun dan melakukan penguatan politik, ekonomi
dan sosial budaya umat Islam Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban’’.
Pasal itu terasa lebih mengedepankan upaya membangun ukhuwah Islamiyah yang
diperuntukkan bagi ukhuwah wathaniyah sekaligus ukhuwah basyariyah. Hal itu
selaras dengan pandangan Gus Dur
(2006) yang berupaya direalisasikan saat menjadi presiden ke-4, selaku representasi tokoh muslim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar