Beras
Naik, Quo Vadis Revolusi Hijau?
Kurniawan Muhammad ; Wartawan
Jawa Pos, Magister Ilmu Politik FISIP Unair
|
JAWA
POS, 06 Maret 2015
KENAIKAN harga beras yang terjadi dewasa ini tidak wajar.
Harga tertinggi per kilogram mencapai Rp 12.000. Padahal, biasanya, jika
musim penghujan, kalaupun harga naik, kenaikan berkisar di nominal Rp 250–Rp
500. Tapi, kali ini naik Rp 1.000–Rp 1.500 (Jawa Pos, 24/2).
Di tengah-tengah isu kenaikan harga beras, malah terjadi
polemik antara Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dengan Menteri Perdagangan
(Mendag) Rachmat Gobel. Mereka punya sudut pandang yang berbeda dalam
menyikapi kenaikan harga dan kelangkaan beras di pasaran.
Menurut Wapres, kenaikan harga beras dipicu persoalan
administrasi distribusi beras untuk rakyat miskin (raskin). Bulog tidak
membagikan beras untuk rakyat miskin pada periode November–Desember 2014.
Selain itu, dipicu terlambatnya musim panen yang diperkirakan baru terjadi
Maret–Juni 2015.
Sedangkan menurut Mendag, kenaikan harga beras disebabkan
praktik penyelewengan operasi pasar. Juga adanya permainan dalam perdagangan
oleh mafia beras (Jawa Pos, 24/2).
Berbagai upaya pun mulai dilakukan untuk mengatasi
kenaikan harga beras yang tinggi itu. Mulai melakukan operasi pasar di
beberapa daerah (Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, dan Medan), mendistribusikan
raskin secepatnya, hingga memberantas mafia beras di seluruh kota besar.
Caranya, mengaudit semua gudang-gudang penyimpanan beras dan melibatkan Mabes
Polri untuk menyelidiki dugaan penimbunan beras (Jawa Pos, 27/2).
Merujuk beberapa potongan berita tersebut, setidaknya ada
dua catatan yang patut dikemukakan. Pertama, di kalangan pemerintah, ternyata
masih ada perbedaan sudut pandang dalam melihat fenomena kenaikan harga
beras. Setidaknya itu tampak dari pernyataan Wapres dan Mendag.
Kedua, tindakan yang sudah dan akan dilakukan pemerintah
dalam mengatasi lonjakan harga beras (mulai melakukan operasi pasar,
mendistribusikan raskin, hingga melibatkan kepolisian untuk menyelidiki
dugaan penimbunan beras), menurut penulis, bukanlah tindakan yang mengatasi
persoalan dari akarnya. Melainkan tindakan yang bersifat hanya mengatasi
persoalan di permukaan.
Berbagai persoalan yang terkait dengan beras dewasa ini,
menurut penulis, sesungguhnya merupakan buah dari pola pengaturan atau
kebijakan di bidang pertanian yang tidak dilakukan secara terkontrol dan
berkesinambungan dari masa ke masa.
Izinkan penulis merunutnya sejak Orde Baru. Pada 1977 dan
1979, Indonesia pernah dijuluki sebagai negara pengimpor beras terbesar di
dunia. Tapi, pada 1984, tidak lagi mengimpor karena mampu berswasembada
beras. Keberhasilan Indonesia itu merupakan buah diadopsinya revolusi hijau.
Istilah revolusi hijau kali pertama diperkenalkan oleh
William Gaud, mantan direktur USAID (lembaga donor milik pemerintah Amerika
Serikat), pada 1968. Revolusi hijau itu terilhami dari Meksiko. Sekitar 1943
kondisi pangan di negara Amerika Latin tersebut mengalami masa-masa buruk.
Meksiko saat itu adalah negara pengimpor gandum. Persediaan gandumnya tidak
mencukupi kebutuhan pangan penduduk.
Karena itu, pada 1945 dilakukan perubahan secara radikal
dalam sistem pertanian di Meksiko. Berbagai riset semakin diseriusi,
penyuluhan lebih gencar dilakukan, dan pembangunan infrastruktur pertanian kian
digalakkan dengan memanfaatkan dana dari beberapa lembaga donor
internasional. Hasilnya, pada 1956 Meksiko tak lagi mengimpor gandum. Delapan
tahun kemudian Meksiko bahkan sudah berhasil mengekspor gandum ke negara
lain.
Keberhasilan itulah yang kemudian menjadi embrio lahirnya
istilah revolusi hijau. Beberapa lembaga kredibel internasional di bidang
pertanian lantas membawa teknologi yang telah diterapkan di Meksiko tersebut
untuk diadopsi ke negara-negara lain, terutama di Asia (termasuk Indonesia).
Jika di Meksiko difokuskan pada gandum, di negara lain difokuskan pada padi.
Selanjutnya, berdirilah pusat riset padi: International
Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos, Filipina. Dari tempat itu, lahir
padi varietas baru yang bernama International Rice (IR), seperti IR 64 dan IR
36 yang disebar ke dunia, termasuk Indonesia.
IRRI, yang mempunyai kantor perwakilan di 14 negara, mulai
bekerja sama dengan Indonesia pada 1972 melalui Balai Litbang Pertanian
Departemen Pertanian (Deptan). Sejak itulah, boleh dibilang revolusi hijau
mulai dilakukan di Indonesia.
Ada empat langkah yang dilakukan di Indonesia dalam
mengadopsi revolusi hijau. Pertama, intensifikasi pertanian. Itu dijabarkan
melalui slogan panca usaha tani (pemilihan bibit unggul, pengolahan tanah
yang baik, pemupukan, pengairan/ irigasi, dan pemberantasan hama). Kedua,
ekstensifikasi pertanian. Yakni, memperluas lahan. Atau mengubah lahan tandus
menjadi lahan yang dapat ditanami. Ketiga, diversifikasi pertanian. Yakni,
penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem
tumpang sari. Keempat, rehabilitasi pertanian. Itu merupakan usaha pemulihan
produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang membahayakan kondisi
lingkungan. Alhasil, revolusi hijau yang saat itu dilaksanakan sejak 1970-an
mulai berdampak pada 1980-an hingga akhirnya Indonesia berhasil berswasembada
beras.
Tapi, itu ternyata tak bertahan lama. Sekitar tahun 1990,
para petani mulai dihadapkan pada berbagai persoalan. Mulai serangan hama, meningkatnya
ketergantungan terhadap pemakaian pupuk, pestisida yang tidak manjur lagi,
hingga kesuburan tanah yang merosot. Berbagai persoalan tersebut bisa terjadi
karena kebijakan yang dilakukan sebagai penjabaran dari revolusi hijau tidak
dikontrol dan diawasi secara baik. Misalnya, pemerintah era Orde Baru
mengomando (lebih tepatnya memaksa) penanaman padi dari bibit impor,
penggunaan pupuk kimia, sampai penggunaan pestisida yang cenderung berlebihan
sehingga merusak kesuburan tanah.
Ketika era reformasi bergulir hingga saat ini, sejauh
diketahui penulis, belum ada konsep sistem pertanian yang sekomprehensif yang
pernah dilakukan Orde Baru. Di sisi lain, berbagai problem yang dihadapi
petani –sebagai akibat dari penerapan sistem pertanian yang tak terkontrol di
era Orde Baru– belum mendapatkan obat yang benar-benar signifikan (manjur).
Karena itu, wajar jika swasembada beras masih menjadi utopia hingga saat ini.
Jika saja revolusi hijau yang dilakukan sejak 1972 itu terkontrol, terarah,
dan berkesinambungan. Quo vadis revolusi hijau? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar