“Quo
Vadis” Balai Budaja?
Agus Dermawan T ; Kritikus; Penulis Buku-buku Sosial, Budaya, dan Seni
|
KOMPAS,
02 Januari 2015
Belum lama ini,
pelukis senior Sri Warso Wahono (kelahiran Solo 1948), berpameran tunggal di
Balai Budaja, atau Balbud, Jakarta. Sekitar 40 lukisan ia gelar di gedung tua
itu. Di tembok yang belang-belang lantaran kotor, karya-karyanya hadir
tersipu. Di bawah plafon yang reyot, mengelupas, serta bocor-bocor,
lukisan-lukisannya merunduk menyapa penonton yang berdiri di ruang redup
tanpa AC dan berlantai tidak rata.
”Saya sengaja pameran
di gedung ini agar Pemerintah DKI Jakarta dan Indonesia tahu bahwa Balbud
masih ada. Walaupun gedung ini sudah sakit jantung akut, sekaligus asam urat,
mata, darah tinggi, lever, stroke, dan sekalian sakit hati, tiada yang
peduli. Semoga pameran ini memberi inspirasi: Balbud disembuhkan atau
sekalian disuntik mati,” kata Warso, yang pernah menjadi pengurus Museum
Wayang dan Dewan Kesenian Jakarta.
Kondisi
Balbud—terletak di Jalan Gereja Theresia 47, Menteng, Jakarta Pusat—memang
menyedihkan.
Secara arsitektural,
gedung ini tidak memiliki keistimewaan apa-apa sehingga dalam kitab
Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (H Heukun SJ, 1997) Balbud tidak termasuk
dalam kategori cagar budaya. Namun, gedung ini memiliki riwayat yang padat
dalam sejarah panjang kebudayaan dan kesenian bangsa Indonesia.
Balbud (dengan logo
asli ”Balai Budaja” masih terpasang dalam ejaan lama), didirikan pemerintah
pada 1954, untuk kemudian dikelola oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
(BMKN).
Lembaga ini
menjumbulkan Balbud sebagai tempat berkumpul seniman, pemikir kesenian,
penulis, dan filsuf dari antero Indonesia. Tahun 1950-1970-an tampaklah Mochtar
Lubis, Asrul Sani, Misbach JB, Umar Kayam, Taufiq Ismail, Soe Hok Djien,
Kusnadi, HB Jassin, Zaini, Soedjatmoko, Goenawan Mohamad, dan puluhan
lainnya.
Dapur ide
Di Balbud, ide-ide
besar kebudayaan sering dicetuskan dengan penuh keberanian, baik lewat sarasehan,
diskusi, maupun seminar resmi. Di Balbud, berbagai anugerah kesenian
prestisius diberikan oleh BMKN. Bahkan, Manifesto Kebudayaan yang
menghebohkan pada 1963 dan ditentang Presiden Soekarno, di situ juga dikonsep
serta digelorakan.
Pada tahun 1968,
Gubernur Jakarta Ali Sadikin menyaksikan kegemilangan Balbud. Atas dorongan
para seniman Balbud, yang notabene alumni kelompok seniman Senen, ia
menggagas pendirian Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jalan Cikini Raya. Meski
TIM berdiri dan aktif, Balbud tetap menjadi tempat tujuan.
Teater dan sastra
serius dipentaskan. Pameran seni rupa pun bertubi-tubi digelar
Kemasyhuran Balbud
sebagai rumah seniman, filsuf, dan intelektual pemberani diendus aparat
keamanan Orde Baru. Ketika peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari)
1974 meletus, tentara mencari ”dalang kerusuhan” Aini Chalid di Balai Budaja
meski ia sedang tidak berada di sana. Pada tahun 1978, aparat Laksusda
(Pelaksana Khusus Daerah) juga terus mengintai WS Rendra di Balbud. Namun,
penyair penerima Hadiah BMKN 1956 ini ditangkap 1 Mei di
rumahnya di
Pejambon, Jakarta.
Balbud akhirnya
menjadi tempat singgahan, bahkan penginapan para perupa dari luar kota.
Apalagi, setelah diketahui bahwa Nashar, sang pelukis legendaris, juga
tinggal di sayap kanan gedung.
Kehadiran seniman
semakin ramai ketika sayap kiri gedung dipakai sebagai kantor redaksi majalah
sastra Horison, yang dikelola Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri,
Bambang Bujono, dan sebagainya. Di Balbud, motivasi untuk berkesenian mudah terunggahkan.
”Mereka tidak hanya
tidur, namun juga merembuk ide-ide. Berjam-jam dalam sehari, sampai larut
malam,” kata sastrawan Motinggo Boesje, yang nyaris saban hari ke situ.
Ikut direformasi
Tahun 1998 terjadi
reformasi. Entah apa kesalahannya, Balbud juga ikut direformasi. Pengelolaan
Balbud yang ditangani sastrawan Hamsad Rangkuti diguncang sejumlah seniman.
Hamsad dan segenap ”menteri”-nya mundur. Namun, Balbud yang tadinya padat
kegiatan justru malah sepi acara. Alhasil, dalam sehari-harinya gedung yang
sangat strategis tempatnya ini hanya memajang koleksi yang sama selama
berbelas tahun. Di antaranya, lukisan Abas Alibasyah.
Sejak itu, selama 16
tahun, Balbud tak ada yang mengurusi. Sejumlah kolektor
besar ingin membeli
gedung ini untuk dirata-tanah, dan dibanguni gedung baru multifungsi, dengan
menyediakan ruang seni bernama ”Balai Budaja” sebagai heritage.
Namun, kepada siapa
gedung ini bisa dinego, tak ada orang paham. Sementara para pengurus BMKN
bagai hilang ditelan zaman. Akan ke mana (quo
vadis) Balai Budaja menuju, siapa yang tahu.
Adakah nasib malang
Balai Budaja akan mengikuti nasib buruk Karta Pustaka di Yogyakarta?
Perpustakaan besar milik konsulat kedutaan Belanda ini adalah terminal
nutrisi para budayawan Yogyakarta sejak 1968 yang tutup lantaran kekurangan
dana awal Desember 2014.
Kini, Jakarta memiliki
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang punya kepedulian terhadap situs-situs
perjuangan kebudayaan dan kesenian. Semoga Balai Budaja segera diurus
sehingga sosoknya tidak semakin memalukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar