Tahun
Agility
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 01 Januari 2015
Hari-hari ini mungkin Anda dapat menemui buku baru saya yang
berjudul Agility: Bukan Singa Yang
Mengembik. Ini tentu ada hubungannya dengan banyaknya permintaan yang
datang pada akhir tahun untuk membahas Outlook tahun depan (misalnya 2015)
yang selalu membuat kepala saya pening.
Padahal bagi sahabat-sahabat saya yang bergelut dalam bidang
ekonomi, semua masa depan itu seakan-akan bisa dipetakan. Intinya, pengusaha
dan eksekutif ingin mencari tahu apa saja yang akan terjadi pada perekonomian
nasional setahun ke depan. Lalu, apa respons yang harus diambil agar dapat.
Dipersiapkan jauh-jauh hari. Well, itu baik-baik saja. Hanya, maaf, ini tentu
amat merepotkan.
Business landscape yang kita hadapi kini benar-benar berbeda. Bahkan amat sulit
diramalkan. Kalau sepuluh tahun yang lalu kita bisa pakai scenario planning, maka kini dunia sudah
menganut pendekatan lain: competitive
dynamics. Ya , medan yang kompetitif yang cara mengayuhnya sudah sama
sekali berbeda.
Kita tahu dalam beberapa tahun belakangan dunia berubah sangat
cepat dipicu oleh perkembangan teknologi informasi. Data, informasi, produk,
karya seni, bahkan uang dan inovasi sudah berubah dari serbafisik menjadi
serbadigital yang cair dan cepat berpindah. Berkat teknologi informasi pula
perubahan yang terjadi di suatu negara bisa langsung berpengaruh terhadap
negara-negara lainnya.
Itu juga membuat ketergantungan suatu negara dengan negara
lainnya menjadi semakin kuat. Kondisi ini membuat kita semakin sulit untuk
meramalkan apa yang bakal terjadi. Saya punya contohnya. Beberapa waktu lalu
muncul analisa, jika pemerintah mengalihkan subsidi BBM, nilai rupiah bakal
menguat.
Kenyataannya itu tidak terjadi karena pada saat yang bersamaan
terjadi perubahan kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS) yang diikuti oleh
melemahnya mata uang Rusia. Kondisi ini memaksa pemerintah Rusia menaikkan
suku bunganya dari semula 10,5% menjadi 17%.Siapa yang bakal menyangka bahwa
penguatan rupiah tidak terjadi karena faktor Rusia?
Jadi, teknologi informasi juga era digital memang membuat
segalanya menjadi lebih transparan secara serentak. Tapi itu sekaligus juga
meningkatkan ketidakpastian. Outlook mungkin layak dijadikan referensi,
tetapi bukan lagi sebagai dasboard untuk melihat semua keadaan di sekitar
kita.
Maka lebih penting bagi kita untuk paham manajemen seperti apa
yang sebenarnya dituntut dalam lingkungan yang demikian dinamis. Ini tentu
ada analisisnya, menyusul memudarnya relevansi sejumlah merek besar dalam
percaturan global seperti Nokia dan Kodak, atau menurut perkiraan para ahli,
kini juga tengah dilalui oleh Starbucks dan banyak perusahaan lokal kita.
Ini terjadi secara luas yang pada akhirnya dapat menjawab apakah
bisnis kita masih relevan dan apakah kita masih dapat bertahan dengan
kompetensi yang “terperangkap” seperti ini sehingga seakan-akan kita akan
sukses selama-lamanya? Banyak orang yang tak paham, bahwa pemerintahan kita
saja tengah berubah,
menjadi lebih responsif, lebih tangkas (agile) dan membentuk sebuah dinamika baru yang membuat segala
outlook dan kompetensi lama dalam usaha kita menjadi kurang relevan. Dalam
bingkai ekonomi baru itu akan terjadi banyak keajaiban, meretasnya banyak
ikatan lama, serta sejumlah surprise yang menuntut kita keluar dari zona
nyaman, dan berubah, mengadopsi agility.
Rigidity ke Agility
Saya mengamati, negara kita rupanya tengah mengalami masa
transisi dari the age of rigidity and
corrupts menjadi agile and clean
nation. Apa maksudnya? Anda tentu paham betul dengan ungkapan “kalau bisa
diperlambat, mengapa dipercepat.” Itulah, antara lain, wajah birokrasi kita
di masa lalu, pada era rigidity.
Semuanya begitu lambat. Begitu rigid. Kita begitu sulit berubah. Mengapa itu terjadi? Jelas
karena banyak kepentingan yang tersembunyi di dalamnya. Anda tentu mengenal
kata mafia. Di negara ini, di manamana ada mafianya. Ada mafia minyak, mafia
beras, mafia gula, mafia bawang putih, mafia tanah, mafia garam, dan Anda
bisa menambahkan puluhan mafia lainnya.
Semua itu membentuk sikap mental yang serba rigid. Ada regulatory rigidity, space rigidity, personal
rigidity, technology rigidity, resource rigidity dan seterusnya. Pokoknya
semua serba rigid, ya aturannya, areanya, manusianya, sumber dayanya dan
seterusnya. Kalau itu mafia maka mafia ini sesungguhnya bekerja sebagai
pemburu rente (rent seeker).
Jangan tunjuk orang lain, karena akan sangat mungkin perusahaan
tempat Anda bekerja pun telah dipetakan KPK, PPATK, atau badan resmi lainnya
sebagai pelaku yang turut membuat semua menjadi rigid, alias mafia. Mafioso
telah menjadi strategi yang dipakai pelaku usaha untuk mengamankan usaha yang
rigid dan tak pasti karena tak ada yang mampu meretasnya. Mafia atau para
pemburu rente membuat segalanya menjadi macet.
Mengurus izin menjadi begitu lama. Mau mengirimkan bantuan
prosesnya berbelit- belit. Urusan tanah untuk membangun jalan tol, perluasan
pelabuhan dan bandara, atau untuk membangun kawasan relokasi pengungsi
bencana Sinabung tak beres-beres. Mau menaikkan harga BBM sulitnya bukan
main.
Ditolak di sanasini,
termasuk oleh DPR. Karena infrastruktur tidak mengalami kemajuan, dunia usaha
mengalami banyak sumbatan dan ketidakpastian. Mereka mengatur strategi
menyiapkan buffer stock yang lebih
besar, menggunakan aneka moda transportasi, termasuk menyiapkan proteksi
hukum yang berlapis-lapis, risk
management yang mahal,
serta ada kalanya tetap membayar upeti, bribery atau sejenisnya
melalui tangan pihak ketiga yang terkesan resmi (apakah konsultan, sponsorship, dana CSR, melalui
pengacara dan sebagainya) Kondisi inilah yang, saya cermati, ingin diputus
oleh pemerintahan Jokowi-JK melalui gerak cepat keduanya.
Anda tentu bisa menyaksikannya. Urusan relokasi tanah untuk
pengungsi Sinabung, yang lama terkatung-katung, mereka bereskan dalam hitungan
hari. Perizinan yang lama dan berbelit dipangkas melalui penerapan layanan
satu pintu. Para pencuri ikan yang dulu dibiarkan saja beroperasi di lautan
kita, kini ditangkapi dan perahunya dibakar. Harga BBM yang dulu sulit betul
kalau mau dinaikkan, langsung mereka naikkan selagi DPR-nya sibuk bertengkar
sendiri meski kini diturunkan lagi akibat turunnya harga minyak dunia.
Semua ini mudah-mudahan baru tahap awal, sehingga walau hasilnya
belum besar tetapi direction -nya mulai direspons sejumlah perusahaan. Lalu
soal kurs mata uang dan sebagainya saya kira akan tetap sama: uncertainty. Kalau ini terjadi maka
ketangkasan usaha (business agility)
menjadi penentu masa depan dalam dunia yang penuh dinamika ini.
Maka kapabilitas perusahaan pun perlu diperbaiki, bukan untuk
“membaca” apa yang akan terjadi, tetapi untuk bergerak cepat mendahului
datangnya “gelombang” agar kita tak tergulung di dalamnya, malah kita bisa
dibantu melaju lebih cepat. Diberi semacam energi penggerak. Itulah cara
kerja agile government. Cepat,
sigap, dan trengginas dalam memanfaatkan momentum. Strategi semacam ini juga
sangat ampuh “mematikan” semua ancaman. Ketika lawan belum lagi siap
menghadapi, segalanya sudah selesai.
Dynamic Capability
Dua ilustrasi tadi, baik di lingkungan internasional dan dalam
negeri, adalah perubahan-perubahan yang mesti direspons oleh
perusahaan-perusahaan kita. Bagaimana caranya? Saya kira perusahaan perlu
mengembangkan dynamic capability-nya.
Apa itu? Sederhana-nya, dynamic
capability adalah kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan, membangun
dan merekonfigurasi kompetensi internal dan eksternal untuk merespons
cepatnya perubahan di lingkungan bisnis.
Jadi, perusahaan jangan larut hanya dalam keunggulan operational capability, tetapi mereka
juga harus terus memperbaiki kapasitasnya. Baik kapasitas inovasi maupun
kompetensinya. Kita semua menyaksikan betapa perusahaan yang hanya fokus pada
operational capability kini mengalami kesulitan menghadapi dunia yang begitu
cepat berubah.
Menghadapi perubahan
perilaku, pola komunikasi dan pola konsumsi para konsumen, yang dipicu oleh
hadirnya teknologi informasi dan digital. Dulu, Kodak dan Fuji pernah
berjaya. Sekarang, entah di mana posisi mereka? Nokia pernah begitu merajai
pasar ponsel. Kini, posisinya semakin surut. Mungkin tak lama lagi kita juga
bakal menyaksikan pertarungan yang ketat antara industri perbankan dengan
operator selular.
Bukankah semakin lama ponselponsel kita semakin digdaya, semakin
agile itu sebabnya kini kita menyebutnya dengan istilah smartphone.
Perubahan-perubahan semacam itu tentu bakal menuntut perusahaan untuk
memperluas dan mengembangkan kompetensinya. Langkah semacam ini, saya lihat,
sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan.
Perusahaan migas BP, misalnya, memanfaatkan bisnis migasnya
untuk modal memperluas kompetensi menjadi perusahaan energi. Jadi, bukan
hanya minyak dan gas. Langkah serupa saya kira juga mesti dilakukan
Pertamina. Mereka harus mengembangkan sumber-sumber energi baru.
Bukan hanya terpaku pada minyak dan gas. Pertamina harus keluar
dari zona nyamannya ketika gaji para pegawainya sudah tinggi namun lifting
yang didapat dan keuntungannya tergerus terus. Starbucks, jika hanya
mengandalkan bisnis kopinya, juga bakal segera mengalami kesulitan.
Maka mungkin mereka kini harus memperluas kompetensinya dalam
industri makanan dan minuman. Hal serupa tengah terjadi dalam bisnis telco,
media massa, airlines, food &
beverages, tobacco, entertainment, pendidikan, travel, keuangan,
riteldanfarmasi. Bahkan, partai politik dan perguruan tinggi serta sekolah
internasional saja mengalami pergulatan besar.
Begitulah, kini perusahaan-perusahaan dituntut untuk menjadi
lebih agile, lebih sigap dan
tangkas, dalam merespons setiap perubahan. Baik perubahan yang terjadi di
lingkungan nasional maupun internasional. Itu pula sebabnya saya menyebut
tahun 2015 sebagai Tahun Agility.
Research mengenai hal ini bisa saudara temui dalam buku baru saya yang
saya harap bukan membuat para singa mengembik karena mereka dipimpin oleh
seekor kambing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar