Pendidikan
Jiwa Menurut Rasulullah
Ilham Kadir ;
Peneliti
MIUMI;
Mahasiswa Doktor Pendidikan Islam
Universitas Ibnu Khaldun Bogor
|
KORAN
SINDO, 03 Januari 2015
Selain
ekonomi dan politik, pendidikan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam
hidup manusia, karena itu pula selalu hangat untuk dijadikan topik bahasan
dalam berbagai arena. Tema-tema diskusi tentang pendidikan pun terus
berkembang dan selalu menawarkan ragam formula mutakhir.
Memang,
kejayaan sebuah bangsa sangat terkait dengan pendidikan. Jika pendidikannya
maju, maju jayalah bangsanya, jika pendidikannya hancur-hancuran, demikian
pula keadaan suatu bangsa. Buktinya, begitu banyak negara yang kaya-raya
sumber daya alamnya, tetapi tetap tengkurap dalam kemiskinan disebabkan
pendidikannya yang tidak tepat atau salah menyusun formulasi yang tertuang
dalam kebijakan pendidikan nasionalnya.
Contoh
konkretnya adalah Indonesia, apa yang kurang pada negara ini? Alamnya memendam
kekayaan migas yang melimpah, penduduknya yang bersuku dan berbangsa nan kaya
khazanah budaya, dan keindahan marga satwanya tak ada duanya. Namun
sebaliknya dengan taraf hidup penduduknya, mayoritas dalam kemiskinan dan
berdiam di tempat kumuh.
Benarlah
kata pepatah, ayam mati di lumbung padi, itik tenggelam di kolam air.
Saksikan pula negara tetangga yang terdekat, Singapura. Negara itu tidak
terlihat dalam peta dunia, tapi namanya mengalahkan negara sebesar Indonesia.
Alamnya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Indonesia.
Hanya
seonggok pulau yang berisi tanah bebatuan dan sedikit pasir, bahkan sumber
air minum pun tidak ada dan terpaksa harus memasok dari negeri jiran,
Malaysia dan Indonesia. Namun negara itu justru jauh lebih maju daripada
Indonesia. Kabarnya, kemajuan dari sisi pendidikan saja sudah meninggalkan
Indonesia lima generasi ke depan.
Dari
segi ragawi, tujuan pendidikan adalah untuk menjaga kelangsungan hidup umat
manusia dengan mengajarkan pada setiap generasi cara bertahan hidup dengan
memenuhi kebutuhan asasinya. Pendidikan akan mengajarkan bagaimana bercocok
tanam, membangun teknologi, mengatur negara, menjaga agama dan sejenisnya.
Tapi,
sisi lain pendidikan, terutama yang berhubungan dengan jiwa manusia, juga
penting yang tidak bisa diabaikan sehingga sifat-sifat tercela pada diri
manusia dapat direduksi atau diminimalkan. Begitu banyaknya masalah yang
terjadi di negara ini tidak bisa dilepaskan dari hasil pendidikan yang selama
ini dianggap penuh dengan masalah dan kepentingan golongan tertentu.
Tindakan
tercela yang dilakukan masyarakat umum seperti pembunuhan, perampokan,
pemerkosaan, pencurian, penjambretan masih terus terjadi. Adapun golongan
terdidik seperti pelajar dan mahasiswa kerap melakukan tawuran, demo
anarkistis hingga perbuatan asusila berupa pornografi dan pronoaksi.
Demikian
pula orang-orang terhormat dari anggota dewan, jaksa, hakim, politisi, kepala
daerah hingga menteri tak luput dari kasus korupsi yang menggerogoti uang
negara dan mengakibatkan bangsa berada dalam kemiskinan dan kenistaan.
Tiga Tahap
Salah
satu fungsi diutusnya Nabi Muhammad kepada seluruh umat manusia adalah agar
menjadi suri teladan (uswatun hasanah)
dalam berbagai aspek, tak terkecuali dalam pendidikan.
Fungsi
Nabi sebagai pendidik dipertegas dalam Alquran, “Sebagaimana kami telah mengutus kepadamu Rasul (Muhammad) dari
kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan jiwa kamu dan
mengajarkan kitab dan hikmah, serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui
(QS Al-Baqarah: 151).”
Rasulullah,
selain mengajarkan ayat-ayat dalam bentuk tekstual sebagaimana yang tertuang
dalam kitab suci, juga mengajarkan ayat kontekstual berupa hamparan bumi,
langit, dan segenap isinya, semua itu adalah bagian dari kurikulum pendidikan
sang Nabi kepada segenap umat manusia. Ada pula bentuk hikmat yang juga
tertuang dalam sila keempat Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”.
Hikmat
dalam pandangan Alquran adalah kebaikan yang banyak, “Dia memberikan hikmah
kepada siapa yang dia kehendaki. Barangsiapa yang diberi hikmah, sesungguhnya
dia telah diberi kebaikan yang banyak, (QS Al- Baqarah: 269).” Namun roh
pendidikan Nabi yang berbasis wahyu adalah pendidikan jiwa atau dengan nama
lain penyucian jiwa (tazkiatun-nafs ), inilah inti dan tujuan utama sebuah
pendidikan.
Dapat
dimengerti, karena manusia memiliki dua unsur utama jiwa dan raga, pendidikan
yang mengutamakan fisik dan material hanyalah menyentuh dimensi raga saja,
belum pada aspek jiwanya. Jiwa adalah fitrah dan pada hakikatnya manusia
terlahir dalam keadaan fitrah nan suci; keluarga, alam, dan lingkungan yang
akan mengubahnya menjadi manusia curang, pendusta, penipu, dan tidak amanah.
Maka
pendidikan akan berfungsi mengembalikan manusia pada fitrahnya. Allah pun
mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan. Maka beruntunglah
orang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotorinya.
Setidaknya ada tiga pendidikan jiwa yang telah digagas dan dipraktikkan
Rasulullah.
Pertama,
tahkliyah, sebuah proses mengosongkan jiwa dari segala ajakan hawa nafsu dari
kecenderungan yang dapat menjerumuskan diri dari perbuatan yang diharamkan
Allah, terangkum dalam dua fitnah, subhat dan syahwat. Pertama merupakan
bentuk kesamaran yang ditiup oleh setan ke dalam hati manusia agar mereka
senantiasa berada dalam keragu-raguan.
Subhat
juga beragam, ada subhat syirik, nifak,
dan bidbidah.
Adapun yang kedua merupakan insting yang dengannya jiwa menyukai sesuatu dan
cenderung kepadanya. Syahwat mencakup berahi, rakus, syahwat kekuasaan,
syahwat politik, kikir, boros, dusta, dengki, dendam, marah, sombong, bangga
diri, pamer, berpikir keterlaluan, terlampau sedih, terlalu senang, malas,
dan putus asa.
Kedua,
tahliyah. Setelah selesai melakukan
pengosongan diri dari cengkeraman hawa nafsu, tahap berikutnya adalah
pengisian jiwa oleh sifat-sifat terpuji (mahmudah).
Kebiasaan lama yang buruk telah ditinggal dan ditanggalkan lalu diganti
dengan kebiasaan baru yang baik, sehingga tercipta kepribadian yang baru.
Inilah
tahliyah sesungguhnya yang
merupakan proses penghiasan jiwa dengan amal saleh. Ibnul Jauzi, sebagaimana
ditulis Ahkmad Alim dalam Tafsir
Pendidikan Islam, 2014, menyebut bahwa jiwa harus diisi dengan bertahap,
yaitu mujahadah (perjuangan), muhasabah (introspeksi), tafakur (merenungi keagungan Tuhan),
takut kepada Allah (khauf), selalu
mengharap (raja’), dan puncak dari
semua proses itu adalah cinta yang tertinggi hanya pada Allah (mahabbatullah).
Ketiga,
tahqiq atau aktualisasi sikap. Setelah melalui proses pertama dan kedua (takhliyah dan tahliyah), tahapan selanjutnya adalah tahqiq ubudiyah. Tahqiq bermakna aplikasi (muthabaqah), kesesuaian (muwafaqah),
dan penerapan (itsbat ) permurnian
(tashfiyah ), sementara ubudiyah
adalah bentuk pengabdian seorang hamba pada Allah semata dengan mengerjakan
apa yang dicintai-Nya dalam bentuk ucapan, perbuatan, baik lahir maupun
batin.
Maka
yang dimaksud tahqiq ubudiyah
adalah suatu proses untuk mengaktualisasikan dari nilai ibadah yang dikerjakan
untuk kemudian dipraktikkan dalam prilaku hidup sehari-hari sebagai bentuk
pengabdian pada Tuhan. Proses ini pula dalam pandangan Ibnul Jauzi sebagai
proses pengejawantahan dari ilmu dan amal menuju manusia yang menghambakan
diri hanya kepada Allah.
Maka
pendidikan jiwa dapat diartikan sebagai, an
ya’lama annallaha ta’ala ma’ahu haitsu kana. Mengetahui bahwa Allah
selalu bersamanya di mana dan kapan pun berada. Atau sebuah upaya untuk
menyucikan jiwa dari berbagai kecenderungan buruk dan dosa, kemudian
menghiasinya dengan amal saleh dan sifatsifat terpuji agar selalu tunduk dan
patuh pada Allah.
Begitulah
pendidikan jiwa ala Rasulullah yang sangat layak menjadi pertimbangan untuk
diikuti segenap rakyat Indonesia, lebihkhusus pengikut Rasulullah yang hari
ini merupakan hari kelahirannya (12 Rabiul Awal 1436 H) atau lazimnya disebut
“hari maulid”.
Akan
lebih sempurna jika maulid kali ini menjadi momentum untuk meneladani beliau
dari segi pendidikan jiwa agar jiwa-jiwa rakyat Indonesia sehat, bukannya
“sakit jiwa” lantaran masalah kian datang silih berganti akibat kebijakan
orang-orang yang tidak mempertimbangkan aspek kejiwaan para rakyatnya. Dan
untuk para pendidik hendaklah mendidik sepenuh jiwa agar peserta didik pun
menimba ilmu tidak separuh jiwa. Wallahu
a’lam ! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar