Faksionalisasi
Partai dan Oligarki Elite
Wasisto Raharjo Jati ;
Peneliti
di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 03 Januari 2015
Membincangkan
eksistensi partai politik dalam pentas demokrasi elektoral tidaklah terlepas
dari adanya faksionalisasipartai. Adanya segregasi maupun fragmentasi
antarelite internal partai kerap kali melanda dalam dinamika kepartaian di
Indonesia.
Perpecahan
antarelite yang terjadi dalam kasus Munas Golkar 2014 yang kemudian
menghasilkan adanya faksi ARB dengan faksi Golkar Perjuangan yang dipimpin
oleh Agung Laksono adalah kasus terbarukan dalam membingkai adanya
faksionalisasi dalam tubuh partai. Meskipun kini sudah bisa tereduksi arena
konfliktual dalam partai itu, adanya kepentingan tertanam (vested intered)
antarelite partai itu yang sifatnya laten.
Tercatat
sejak tahun 1999 semenjak sistem multipartai diberlakukan dalam pemilu,
kemunculan partai-partai baru sendiri terlahir karena adanya faksionalisasi
elite partai induk. Semisal saja PPP yang menghasilkan adanya PBR, PBB, dan
Masyumi. PDI yang menghasilkan PNI Massa Marhaen, PNI Front Marhaen, PNBK
maupun PDI Perjuangan.
Golkar
yang kemudian terpecah menjadi Hanura, Nasional Demokrat, dan Gerindra.
Memang di luar tumbuhnya partai satelit tersebut masih ada partai politik
lainnya terlahir dari basis aktivisme gerakan, tetapi eksistensinya tidak
berlangsung lama. Daya survivalitasnya dalam dunia politik tidak memiliki
akar dukungan ideologi, dana maupun massa kuat seperti halnya partai yang
terlahir dari proses faksionalisasi.
Adalah
suatu keniscayaan bahwa faksionalisasi partai politik juga sebentuk
persaingan antara oligarki partai yang coba merebut kendali kuasa organisasi.
Tipologi oligarki yang berkembang dalam tubuh partai adalah kontestasi antara
oligarki penguasa (warring oligarchy)
dengan oligarki menengah (middle
oligarchy).
Dalam
hal ini, terdapat persaingan dalam upaya mempertahankan dan menambah
kepemilikan sumber daya pribadi yang terinvestasikan dalam tubuh partai untuk
bisa ditambah dan diperkuat. Selain juga ditambah dengan adanya pemerkuatan
arena jejaring dalam tubuh kader partai untuk kian meneguhkan kekuasaan
personal. Secara jelas, faksionalisasi partai politik kerap kali terjadi
dalam upaya merebut posisi ketua umum. Posisi tersebut menjadi teramat
penting dalam upaya mempertahankan maupun juga menambah sumber daya
ekonomi-politik.
Secara
umum deskripsi mengenai faksionalisasi partai politik terjadi dalam dua tahap
pembilahan, yakni mutually excluded
maupun mutually restricted (Katz & Mair, 2012). Dalam
pemahaman pertama, faksionalisasi itu terjadi secara laten yang kemudian
menciptakan adanya kelompok oligarki kecil dalam tubuh partai, namun masih
berupaya untuk membangun harmonisasi dengan kelompok lainnya dalam tubuh
sama.
Pola
transaksional maupun bargaining politic
menjadi alat ukur dalam menjembatani hubungan impersonal antara kelompok
kecil tersebut yang pada akhirnya kemudian menciptakan koalisi oligarki
kolektif dalam partai tersebut. Fenomena seperti ini biasa terjadi dalam
tubuh kepartaian di Indonesia di mana masing-masing kader memiliki
kepentingan berbeda dalam menentukan orientasi partai yakni sebagai partai berbasis
vote seeking, partai berbasis office seeking, atau sebagai partai
berbasis policy seeking.
Ketiga
varian orientasi inilah yang menjadi sumber primer konfliktual partai itu
terus berlangsung secara simultan dan inheren. Pemahaman kedua, faksionalisasi
sendiri terjadi sebagai bentuk aksi disorganisasi dalam tubuh partai yang
sifatnya sentrifugal. Maksudnya ialah, faksionalisasi yang berujung pada
pembentukan berbagai macam kelompok oligarki partai yang justru kian
mengidentifikasikan dan mengafiliasikan diri sebagai bentuk kompetitor dengan
kelompok elite dalam tubuh partai itu sendiri.
Dalam
tipe faksionalisasi kedua inilah yang kemudian menghasilkan adanya perpecahan
partai induk yang menghasilkan partai satelit baru. Meskipun kemudian terjadi
disorganisasi dalam tubuh partai, relasi partai induk maupun partai satelit
kemudian masih tetap terjaga. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih
terjalin hubungan patrimonial antarkeduanya baik sebagai fungsi mentoring,
koordinatif maupun fungsi supervisi politik.
Faktor
figuritas memang menjadi kata kunci dalam membedah akar oligarki dan
faksionalisasi dikarenakan figur inilah yang tampil sebagai simbol pemersatu,
simbol pengontrol, maupun juga simbol kompetitor bagi suatu kelompok maupun
ketika berhadapan dengan kelompok lain.
Maka
melihat konteks kekinian, faksionalisasi partai itu sendiri berjalan instan
serta memiliki akar ideologi dan massa yang rapuh. Boleh jadi dikarenakan
sekarang ini adalah era kompetisi elektoral berbasis catch all party, jadinya
meneguhkan premis dan asumsi bahwa faksionalisasi partai tidak lebih dari
usaha pragmatisme dan kompromi politik elite partai saja.
Jika
demikian, faksionalisasi yang lahir dan tumbuh justru kian menguatkan prinsip
hukum besi oligarki Michels bahwa oligarch yang menguasai partai yang justru
menghamba kuasa daripada menjadi abdi masyarakat. Analisis terkini memang
menunjukkan gejala ke arah sana bahwa faksionalisasi tidak lebih dari sekadar
usaha mempertahankan dan menambah keuntungan pribadi dan kelompok daripada
mengartikulasikan kepentingan publik secara utuh.
Faksionalisasi
partai adalah sah-sah saja karena itu merupakan bagian dari dinamika
organisasi. Namun akan lebih tepat jika faksionalisasi tersebut kemudian
menghasilkan arahan partai yang lebih berada dalam public ground seeking. Itu lebih tepat untuk kembali memperkuat
relasi dengan massa partai sebagai penyokong suara partai di akar rumput
daripada sekadar ribut mempermasalahkan redistribusi kuasa dan cara
mempertahankannya.
Berbicara
mengenai kasus negara lain, faksionalisasi bukanlah dimaknai sebagai bentuk
kontestasi mencari materi dan rente (rent-seeking),
tetapi lebih pada bentuk fragmentasi ideologi yang tidak tertampung dalam
partai induk. Hal inilah yang membedakan antara kasus faskionalisasi di
negara maju yang lebih ideologis dengan negara berkembang yang mencari kuasa.
Kasus
pembentukan partai politik yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara seperti
yang terjadi dalam kasus Jacobin dan Girodins di Prancis maupun Whig-Thories
di Inggris lebih karena perbedaan ideologi dan kultur meski dulunya masih
satu partai. Adapun dalam kasus negara berkembang seperti halnya Partai
Kongres India dengan pecahannya Bharatiya
Janata Party dikarenakan adanya kontestasi antarelite yang kemudian
berkembang dalam bentuk identitas politik lainnya.
Maka
apabila melihat dua contoh kecil di atas, setidaknya faksionalisasi dan
oligarki itu pada dasarnya berburu kekuasaan, yang kemudian berkembang dalam
berbagai bentuk fragmentasi identitas politik. Pertarungan antarberbagai
identitas inilah yang kemudian akan mengerucut pada munculnya partai baru
dari partai induk atau mungkin munculnya “oligarki permanen” dalam partai
induk.
Pada
akhirnya kemudian, perbincangan mengenai institusionalisasi partai hingga
kemudian menimbulkan faksifaksi mengindikasikan bahwa partai bukanlah organ
tunggal yang satu kata, satu orientasi, dan satu tujuan sama. Ada pelbagai
kontestasi antarelite yang saling mengalahkan dan saling menjatuhkan dalam
berbagai intrik politik tertentu.
Faksionalisasi
adalah komoditas politik yang terjadi secara by design dan by product
dikhususkan untuk mengejar kepentingan pribadi dan kelompok dengan
mengatasnamakan kepentingan organisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar