Subsidi
Energi dan Kesejahteraan Rakyat
A Prasetyantoko ;
Atma
Jaya School of Economics and Business
|
KOMPAS,
15 September 2014
HARGA
berbagai komoditas energi naik beruntun. Bagaimana implikasinya pada
kesejahteraan rakyat? Pertama, tarif listrik kembali naik bervariasi
berdasarkan enam golongan pada 1 September lalu. Kenaikan ini merupakan
lanjutan program pengurangan subsidi listrik bertahap mulai dari Juni,
September, hingga November 2014. Targetnya, terjadi pengurangan subsidi
listrik dari Rp 94,26 triliun menjadi Rp 85,75 triliun tahun ini. Kedua,
kenaikan harga elpiji 12 kilogram per 10 September sebesar Rp 1.500 per kg
sehingga harga jual di agen naik dari Rp 92.800 menjadi Rp 114.300 per
tabung.
Sesuai
peta jalan (road map) PT Pertamina (Persero), kenaikan harga elpiji 12 kg
masih akan berlanjut, yakni pada 1 Januari 2015, 1 Juli 2015, dan 1 Januari
2016, dengan besaran Rp 1.500 per kg. Berbeda dengan tarif listrik yang
ditetapkan pemerintah, harga elpiji 12 kg murni otoritas Pertamina karena
tidak termasuk barang bersubsidi. Pemerintah hanya menyubsidi harga elpiji
untuk tabung 3 kg. Dengan begitu, Pertamina berhak menjual elpiji 12 kg
sesuai dengan harga pasar secara bertahap hingga 1 Januari 2016.
Ketiga,
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dihadapkan pada dilema serius terkait
dengan membengkaknya subsidi energi. Di tubuh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P), perdebatan soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
masih terjadi. Selama 10 tahun sebagai oposisi, mereka konsisten menolak
kenaikan harga BBM sehingga ada beban politis dan mungkin ideologis ketika
tiba-tiba harus mengubah sikap begitu berkuasa.
Jeffrey
Frankel, ekonom Universitas Harvard, baru-baru ini menulis artikel berjudul
”The Subsidy Trap”. Dia membandingkan respons kebijakan pemimpin baru di
Mesir, India, dan Indonesia terkait subsidi. Presiden Mesir Abdel Fattah
el-Sisi diapresiasi karena berani memotong subsidi BBM sehingga terjadi kenaikan
harga 41 persen-78 persen.
Sebaliknya,
perdana menteri baru India, Narendra Modi, dianggap gagal melakukan reformasi
subsidi karena mempertahankan subsidi energi. Padahal, 52 persen subsidi
dinikmati kelompok masyarakat paling kaya (wealthiest) dan hanya 0,1 persen
subsidi gas yang tersalurkan kepada kelompok termiskin di pedesaan. Lebih
jauh, Modi dianggap melakukan blunder kebijakan sebab mempertahankan subsidi
pertanian yang bertentangan dengan prinsip Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO). Bagaimana dengan Jokowi? Frankel menulis, terlalu dini untuk
dikatakan.
Hampir
sama dengan persoalan di banyak negara berkembang, Indonesia menghadapi
tekanan fiskal akibat meningkatnya subsidi energi. Sebagai gambaran, dalam 10
tahun terakhir terjadi lonjakan subsidi BBM sekitar 16 kali lipat. Dari hanya
Rp 14 triliun tahun 2004 menjadi lebih kurang Rp 240 triliun tahun 2014.
Demikian pula dengan subsidi listrik yang melonjak lebih dari 20 kali lipat
pada periode yang sama, dari hanya Rp 3 triliun menjadi Rp 71 triliun.
Padahal, peningkatan APBN hanya empat kali, dari Rp 374 triliun menjadi Rp
1.842 triliun tahun 2014 ini. Sementara belanja modal naik sekitar lima kali
lipat, dari Rp 39,7 triliun menjadi Rp 229,5 triliun.
Pemerintahan
Jokowi menghadapi dilema besar karena konsumsi energi akan terus meningkat
sehingga menimbulkan implikasi kompleks pada fiskal dan perekonomian. Namun,
jika subsidi energi dikurangi, hal itu akan menimbulkan beban masyarakat.
Pemerintah memang memiliki tugas menjamin kesejahteraan masyarakatnya, tetapi
benarkah kesejahteraan bisa diciptakan dengan mempertahankan subsidi energi?
Kelompok
negara paling maju soal kesejahteraan sosial adalah Skandinavia (Denmark,
Swedia, dan Norwegia). Di sana masyarakat harus membayar lebih mahal harga
energi fosil. Tak hanya harus membayar sesuai harga pasar, tetapi juga ada
berbagai pungutan yang membebani konsumsi minyak bumi. Mereka sudah mulai
beralih ke konsumsi energi terbarukan. Tentu saja membandingkan masyarakat
kita dengan mereka tak sepadan, baik dari sisi tingkat pendapatan maupun
fasilitas publiknya. Pendidikan, kesehatan, transportasi publik, dan
perumahan semuanya mendapat alokasi dari pemerintah.
Meskipun
jauh berbeda, pertanyaannya, apakah kita akan mengarah pada cita-cita ”negara
kesejahteraan” seperti mereka? Jika begitu, tak ada pilihan selain mengubah
arah kebijakan fiskal kita menuju peningkatan pendapatan dan penyediaan
fasilitas publik. Oleh karena itu, alokasi subsidi energi harus dialihkan ke
alokasi lain sehingga dalam jangka panjang ada perbaikan dalam kualitas hidup
masyarakat. Namun, dalam jangka pendek, pasti menimbulkan peningkatan jumlah
dan intensitas kemiskinan. Pemerintah harus ”menyubsidi langsung” kelompok
paling rentan ini dengan mekanisme yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun,
selebihnya, harus ada jaminan anggaran digunakan sebaik-baiknya untuk
meningkatkan kapasitas penduduk dalam hal pendidikan, kesehatan, perumahan,
dan peningkatan daya saing perekonomian.
Jika
lambat merespons subsidi BBM, Jokowi-JK justru akan ”dihukum” dari berbagai
sisi. Pertama, cita-cita pembangunan yang terangkum dalam sembilan program
(Nawacita) berpotensi menjadi macan kertas karena tidak didukung kemampuan
fiskal yang memadai. Kedua, tidak memberikan sesuatu yang baru karena ”hanya”
melanjutkan pola kebijakan rezim sebelumnya. Cita-cita perubahan akan segera
kandas.
Ketiga,
jika terlambat mengambil sikap soal BBM, itu hanya akan mengulangi kejadian
tahun lalu, yakni pengumuman kenaikan harga BBM berimpitan dengan pengumuman
rencana pengurangan stimulus di Amerika Serikat. Tahun depan akan ada
momentum kenaikan suku bunga The Fed
(The Fed funds rate). Pemerintahan
Jokowi-JK memang mewarisi situasi tidak sehat sehingga harus berani bergerak
cepat. Tentu harus dibarengi dengan reformasi kelembagaan, terutama terkait
transparansi sektor energi dan jaminan bagi kelompok termiskin.
Dalam
dua tahun ke depan, pemerintah baru memang belum bisa ekspansif, hanya bisa
fokus pada masalah-masalah pokok. Namun, dengan mitigasi yang baik, setelah
itu situasinya akan lebih baik sehingga mampu tumbuh berkualitas dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat secara memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar