Strategi
Kebudayaan dan Revolusi Mental
Haidar Bagir ; Pendidik,
Pengajar Filsafat dan Mistisisme di
ICAS-Paramadina, Jakarta
|
KOMPAS,
02 September 2014
SAYA
ingat persis, ketika masih mahasiswa pada akhir tahun 1970-an, kami biasa
dengan bangga membawa ke sana kemari dan membaca buku Strategi Kebudayaan
karya Van Peursen yang diterjemahkan
Dick Hartoko.
Entah
siapa yang mulai, pada sekitar tahun 1978 itu kritik mahasiswa terhadap rezim
Orba yang bersifat developmentalist
dan teknokratis diwarnai oleh concern
tentang absennya strategi kebudayaan yang matang. Pada masa itu ada cukup
banyak intelektual yang melahirkan wacana-wacana strategis seperti ini,
termasuk Emil Salim dan Soedjatmoko yang bahkan adalah bagian dari birokrasi.
Sayangnya,
justru ketika kemudian terjadi reformasi—tak kurang dari 20 tahun
kemudian— wacana strategis ini seperti
hilang. Tentu Departemen/ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih ada.
Bahkan, saat ini sedang ramai diperdebatkan tentang RUU Kebudayaan. Namun,
saya khawatir pembahasan tak akan bersifat cukup fundamental sehingga
benar-benar menjadi panduan yang efektif sekaligus membimbing ke jalan yang
benar dalam upaya pengembangan kebudayaan kita. Khususnya di tengah-tengah
persaingan berbagai budaya, mungkin lebih tepat disebut ideologi dan paham,
bahkan hegemoni oleh negara-negara dan bangsa-bangsa kuat dan ”maju” seperti
sekarang ini.
Spritualisme-panteisme
Kekhawatiran
seperti ini tidak perlu mencuat andaikan kita tak yakin bahwa Indonesia
memiliki warisan kebudayaan dan pemikiran budaya yang unggul, dan bahwa ada
tanda-tanda kebudayaan hegemonik yang menerpa semua bangsa—tak terkecuali
bangsa Indonesia—tak sepenuhnya berada di rel yang benar. Termasuk di
dalamnya kecenderungan pada materialisme eksesif (crass materialism) dan
individualisme serta terdesaknya spiritualisme yang tak jarang melahirkan
alienasi sosiologis dan psikologis yang fatal.
Dengan
berpikir demikian, tentu saja kita tak sedang berpikir tentang suatu
kebudayaan chauvinistik dalam isolasi. Justru sebaliknya, meyakini kewajiban
kita dalam berkontribusi terhadap peradaban dan kedamaian dunia dengan
menawarkan sumber alternatif pembentukan kebudayaan sesuai kekayaan khazanah
kebudayaan kita dan keyakinan kita padanya.
Rasanya
hampir-hampir seperti menikmati buku-buku silat yang penuh petualangan dan
romantis setiap saya membaca hal-hal yang terkait ”Polemik Kebudayaan” di
antara berbagai pemikir dan pujangga Indonesia yang berlangsung pada 1930-an
itu. Tentu saja termasuk kompetisi dalam menjajakan kebudayaan asli Nusantara
yang berorientasi harmoni (keselarasan) dan tawaran untuk mengakomodasi
kebudayaan Barat yang didominasi gagasan tentang progress.
Orang
tak bisa lupa pada konflik terkait tawaran ikon-budaya Arjuna yang penuh
kelembutan dan kehati-hatian dalam bertindak. Juga Faust yang bahkan bersedia
menjual jiwanya kepada setan demi mendapatkan ilmu pengetahuan dan kenikmatan
duniawi yang tak terbatas.
Kita
tak bisa lupa pada Sutan Takdir Alisjahbana muda pada saat itu. Ia begitu
menggebu-gebu menjajakan gagasan progresif Barat, hingga terkesan bersifat at
all cost karena kekhawatiran bahwa apa yang disebut sebagai budaya asli
Nusantara yang eksesif akan terus menjadikan bangsa Indonesia tertinggal
karena kalahnya rasionalisme dan naturalisme oleh mitos dan superstisi. Maka,
menarik membaca karya Alisjahbana yang lebih matang, berjudul Indonesia: Social and Cultural Revolution
(terjemahan Ben Anderson, terbitan Oxford University Press, 1966). Di
dalamnya, pujangga ini telah siap menawarkan semacam sintesis di antara
keduanya.
Dalam
buku ini Alisjahbana secara lebih telaten mengupas budaya Nusantara, yang ia
sebut memiliki tiga lapisan. Pertama, lapisan budaya asli Indonesia yang
lebih kurang masih primitif. Kedua, lapisan budaya Hindu (India) yang telah
diwarnai oleh budaya literasi. Ketiga, lapisan budaya Islam yang telah
membawa bersamanya rasionalisme keagamaan dan ilmu pengetahuan.
Yang
mungkin agak lepas dari perhatian Alisjahbana adalah bahwa budaya Islam
mayoritas bangsa Indonesia sesungguhnya tidak semodernis itu. Ia masih banyak
dikuasai oleh spiritualisme, bahkan panteisme (monistik) yang menekankan
kebersatuan manusia dengan alam selebihnya dan Tuhan, sebagaimana yang
dominan dalam lapisan pertama dan kedua. (Kebudayaan Kekristenan yang datang
belakangan, meski dibawa ke negeri kita bersama bangsa Barat, tetap saja
seperti agama-agama yang lain: kental spiritualisme.)
Tanpa
mengabaikan budaya rasionalistik dan keilmuan, yang dalam terminologi Peursen
disebut sebagai melampaui tahap ontologis menuju fungsional, sesungguhnya
spiritualisme panteistik —yang berorientasi pada etika dan keselarasan
alam—semesta (tahap mistis) inilah yang menjadi kekuatan budaya Nusantara.
Budaya kemanusiaan
Ketiga
tahap kebudayaan ala Van Peursen itu tak boleh dilihat sebagai perkembangan
yang saling mengeksklusi. Apalagi bersifat historis belaka, melainkan sebagai
tiga unsur yang tak pernah kehilangan relevansinya dalam membentuk setiap
kebudayaan. Ini penting bukan saja
agar kita dapat tetap memiliki kuda-kuda
yang kuat dalam ”menyaring” terpaan hegemoni budaya yang eksesif, juga demi
memiliki bekal indigenous yang
dapat dikontribusikan pada pembentukan budaya kemanusiaan.
Sudah
waktunya seluruh komponen bangsa duduk dan berpikir bersama untuk merumuskan
kembali arah kebudayaan negeri ini. Karena dalam kebudayaan inilah strategi
pendidikan, keagamaan, sosial, politik, bahkan ekonomi kita harus didasarkan.
Dan dalam strategi ini juga revolusi mental yang didengung-dengungkan
belakangan ini harus ditegakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar