Situasi Krusial RAPBN 2015
Gunoto Saparie ; Fungsionaris Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia
|
KORAN
JAKARTA, 01 September 2014
Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 dibuat untuk mewujudkan
amanat konstitusi agar negara memenuhi hak-hak warga. Sasaran kebijakan
fiskal yang tertuang dalam RAPBN 2015 terdiri dari sejumlah tujuan pokok, dan
bermuara pada peningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penciptaan lapangan
kerja dan mengurangi kemiskinan.
Pemerintah
mendesain RAPBN 2015 dengan postur ekspansif dengan target defisit anggaran
257,6 triliun rupiah atau 2,32 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Defisit ditetapkan dari anggaran belanja 2.019,87 triliun dan pendapatan
1.762,3 triliun. Rasio pajaknya 12,32 persen dari PDB.
Meskipun
pemerintah mengklaim postur anggaran cukup ekspansif, ada juga upaya
mengerem. Hal itu tampak dari angka rasio defisit yang turun dari 2,4 persen
PDB pada APBN-P 2014 menjadi 2,32 persen pada RAPBN 2015. Inkonsistensi ini
mencerminkan kekhawatiran pemerintah atas ruang peningkatan pajak yang sempit
maupun sumber pendapatan lain terbatas.
Ini
pula yang menjelaskan alasan pemerintah menyebut postur RAPBN 2015 masih
bersifat baseline sehingga banyak peluang untuk berubah dan diubah DPR dan
pemerintahan baru. Harus diakui, tantangan fiskal saat ini dan tahun depan
relatif tidak mudah. Jalan fiskal yang terjal bertambah seiring dengan masa
transisi pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Mengingat
anggota parlemen terpilih akan mulai bertugas pada Oktober, dapat dipastikan
bahwa strategi fiskal yang bersifat baseline
itu, mau tidak mau, akan disodorkan kepada pemerintahan baru. Dengan
demikian, hampir dapat dipastikan pemerintahan mendatang hanya akan
menjalankan strategi fiskal yang bersifat baseline.
RAPBN
2015 memang disusun dengan asumsi makro optimistis di tengah kondisi ekonomi
melemah. Di antaranya, pertumbuhan ekonomi 5,6 persen, inflasi 4,4 persen,
dan nilai tukar rupiah 11.900 per dollar AS. Sedangkan suku bunga SPN 3 bulan
6,2 persen, harga minyak mentah 105 dolar AS tiap barel, lifting minyak
mentah 845 ribu barel per hari, serta lifting gas bumi 1.248 ribu barel per
hari.
Pemerintah
mematok target pertumbuhan ekonomi cukup tinggi meski kondisi global belum
menentu sehingga dikhawatirkan dapat memengaruhi investasi dan pertumbuhan.
Demikian pula jika berpijak pada kondisi perekonomian saat ini, indikator
makro justru sedang berada dalam tekanan yang dikhawatirkan secara
berkelanjutan berdampak pada makro-ekonomi 2015.
Pertumbuhan
triwulan II-2014 menurun pada 5,12 persen, dan tahun ini diperkirakan hanya
sekitar 5,2 persen atau lebih rendah dari target pemerintah. Secara umum,
paradigma pemerintah dalam penyusunan RAPBN tahun 2015 berada dalam kerangka
konsolidasi fiskal. Hal itu berakibat ruang ekspansi untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, pengembangan pendidikan, infrastruktur, dan pengeluaran
produktif lainnya menjadi sangat terbatas.
Konfigurasi
inflasi disebabkan tiga sumber penting: faktor moneter, harga minyak
internasional, dan pasokan/distribusi pangan. Faktor nonmoneter menyumbang
inflasi cukup besar sehingga pertarungan pengendalian sesungguhnya ada di
sektor nonmoneter. Angka inflasi harus benar-benar direalisasikan. Untuk itu,
perlu dilakukan kebijakan fiskal yang berkaitan dengan inflasi, seperti
infrastruktur dan distribusi.
Sasumsi
suku bunga SBI (3 bulan) seharusnya dapat ditekan menjadi 6–6,5 persen. Ini
relatif rasional karena di satu sisi mengikuti kecenderungan inflasi yang
rendah, di sisi lain mengurangi biaya operasi moneter yang harus ditanggung
BI (lewat instrumen SBI). Sesungguhnya, jika asumsi bunga SBI berada pada
level kesepakatan RAPBN 2015, seharusnya inflasi bergerak lebih tinggi.
Masalah bunga SBI perlu dibahas secara serius karena BI, dalam beberapa waktu
terakhir, harus mengeluarkan biaya besar, khususnya untuk beban bunga SBI.
Kondisi Perekonomian
RAPBN
2015 akan dilaksanakan pemerintahan baru yang menghadapi kondisi perekonomian
cukup berat, di antaranya penurunan pertumbuhan, suku bunga tidak dapat
diturunkan, bahkan kemungkinan naik lagi. Ada lagi, defisit transaksi
berjalan besar, subsidi BBM tinggi, dan penerimaan pajak naik hanya sedikit.
Pelemahan
ekonomi ini akan diikuti penurunan nilai tukar rupiah yang dipengaruhi banyak
hal. Salah satunya mulai pulihnya ekonomi Eropa dan Amerika Serikat sehingga
banyak investor kembali menanam modal ke negara-negara maju. Maka, pelemahan
mata uang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara berkembang
lain seperti India.
Memang,
pemerintah memiliki potensi yang cukup besar untuk menggali potensi
penerimaan negara menjadi lebih besar. Dalam struktur RAPBN 2015, pendapatan
negara diperkirakan mencapai 1.762,29 triliun atau naik 7,8 persen dibanding
APBNP 2014. Kontribusi terbesar masih disumbang perpajakan 1.370,827 triliun
rupiah atau naik 10 persen dari APBNP 2014.
Penerimaan
negara bukan pajak berkontribusi 388 triliun atau 0,3 persen dari APBNP 2014.
Potensi penerimaan masih bisa ditingkatkan karena tax ratio dalam RAPBN 2015 masih sekitar 12,32 persen. Ini
berarti pemerintah dapat menggali potensi penerimaan untuk pembiayaan
pembangunan tanpa mengganggu kelancaran roda ekonomi.
Pemerintah
bisa saja mengalokasikan pembiayaan modal untuk infrastruktur dengan
mengurangi subsidi BBM, namun akan menghadapi tekanan inflasi dan publik.
Pemerintah memiliki ruang guna meningkatkan pergerakan ekonomi melalui
perbaikan kondisi investasi.
RAPBN
2015 harus efisien dengan mengurangi overhead
cost yang tidak semestinya sehingga dapat menggerakkan perekonomian.
RAPBN 2015 harus berorientasi pada keseimbangan antara pengeluaran dan
pendapatan, serta tidak berorientasi defisit budget. Untuk itu, perlu
ditingkatkan kapabilitas pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan seiring
dengan peningkatan alokasi dana pembangunan bagi daerah.
Desentralisasi
fiskal dan otonomi daerah harus meningkatkan secara signifikan anggaran ke
daerah. Kemampuan mengelola keuangan dengan tepat sangat penting untuk
memastikan keberhasilan pembangunan. Pemerintah harus menjadikan anggaran
belanja negara sebagai daya dorong efektif pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan nasional yang berkualitas. Ini harus diikuti dengan sistem
pengelolaan anggaran belanja negara yang efisien. Pemerintah juga harus
membuat program akselarasi penyerapan anggaran. Rantai birokrasi dan peluang
korupsi harus dipangkas dengan menyediakan seistem monitoring yang transparan
dan akuntabel.
Pemerintahan
Jokowi nanti baru memiliki peluang mengubah postur dalam APBN Perubahan 2015,
mungkin awal 2015. Namun, agaknya RAPBN 2015 menghadapi situasi krusial. Di
satu sisi, rezim baru tentu ingin langsung bergerak cepat, tetapi strategi
fiskal masih bersifat anggaran “dasar” alias baseline. Dalam kaitan ini,
dibutuhkan kearifan sekaligus keberanian pemerintahan SBY maupun Jokowi untuk
berbagi beban agar pelaksanaan RAPBN 2015 lebih efektif dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan.
Maka,
RAPBN 2015 harus member ruang gerak untuk mengutamakan kepentingan rakyat
secara langsung dengan memperbesar belanja kepentingan sosial seperti
anggaran pendidikan, kesehatan, pertanian, penciptaan industri padat karya
yang bisa mendukung sektor riil. Jokowi harus diberi ruang gerak yang cukup
tanpa terkendala dan tersandera struktur RAPBN itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar