Rupiah
dan Likuiditas Global
Firmanzah ; Staf
Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
|
KORAN
SINDO, 22 September 2014
Seperti mata uang di hampir mayoritas
emerging market, nilai tukar rupiah berada dalam dua tekanan global yang
saling berlawanan arah.
Di satu sisi, Bank Sentral Amerika Serikat
(The Fed) berjuang untuk mengurangi
likuiditas global melalui pengurangan, sampai pada akhirnya tercapai
penghentian stimulus moneter atau yang disebut sebagai quantitative easing (QE) III. Sementara di sisi lain, Bank
Sentral Eropa (European Central Bank/ECB)
bersama Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China justru mempertahankan dan
bahkan menambah likuiditas untuk menggairahkan perekonomian di kawasan
tersebut. Selain aspek-aspek dalam negeri, dua tekanan yang berlawanan arah
dipastikan akan menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan, baik dalam
jangka pendek maupun menengah terhadap nilai tukar rupiah.
Hal ini tecermin pada sesi perdagangan
pekan lalu (minggu ke-3 September), nilai tukar sejumlah mata uang
negaranegara Asia ditutup melemah. Depresiasi nilai tukar mata uang
negara-negara di Asia ini merupakan respons dari hasil The Federal Open Market Committee (FOMC) terkait tahapan
pengakhiran QE III dan pengakhiran suku bunga murah. Pemangkasan pembelian
obligasi yang menyisakan USD25 miliar ini direncanakan dilakukan pada bulan
ini sebesar USD10 miliar dan pada Oktober sebesar USD15 miliar sekaligus
mengakhiri kebijakan QE.
Hal yang sedikit melegakan terkait dengan
rencana kenaikan suku bunga (The Fed
Rate), adalah pernyataan Gubernur The Fed, Janet Yellen, yang akan tetap
mempertahankan suku bunga rendah untuk beberapa waktu (considerable time) setelah QE berakhir. Dalam rilis hasil
rapatnya, The Fed juga menyampaikan kenaikan proyeksi suku bunga menjadi
1,375% di akhir 2015 dari proyeksi sebelumnya 1,125%. Dan pada tahun 2017,
suku bunga ini di targetkan menjadi 3,75% dengan sejumlah asumsi-asumsi dari
proyeksi yang dihasilkan komite FOMC.
Optimisme perkembangan ekonomi AS juga
tercermin dari sejumlah proyeksi yang disampaikan The Fed. Dalam rilisnya,
The Fed memproyeksikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) akan meningkat
di kisaran 2,6-3,0% pada 2015, 2,6-2,9% di 2016, dan 2,3-2,5 % di 2017.
Tingkat pengangguran AS juga diharapkan membaik ke kisaran 5,4-5,6% di tahun
2015 dan 5,1-5,4% di tahun 2016. The Fed juga memproyeksikan kisaran suku
bunga pada level 3,75% di akhir 2017 dengan ekspektasi inflasi naik 1,9-2,0%.
Proyeksi ekonomi AS yang lebih tinggi dari
sebelumnya muncul setelah sejumlah data ekonomi makro AS menunjukkan
perkembangan positif. Data pertengahan September 2014 menunjukkan penurunan
klaim pengangguran sebanyak 36.000 menjadi 280.000. Dengan tren penurunan
angka ini, The Fed memproyeksikan tingkat pengangguran di akhir 2014 berada
di kisaran 5,9-6,0% atau lebih rendah dari proyeksi sebelumnya di level
6,0-6,1%. Sementara itu, tingkat inflasi diperkirakan berada di rentang
1,5-1,7% year on year tahun ini.
Tingkat penjualan kendaraan juga meningkat
tajam sebanyak 17,5 juta di Agustus 2014 atau mencapai level tertinggi dalam
delapan tahun terakhir. Kestabilan tingkat permintaan dan penawaran juga tecermin
dari sejumlah aktivitas ekonomi dan belanja rumah tangga dalam beberapa bulan
terakhir. Kondisi ini memperkuat optimisme pemulihan ekonomi AS sehingga
prospek jangka panjang diperkirakan semakin membaik.
Sinyal pemulihan ekonomi AS yang tertuang dalam
pengumuman hasil rapat komite FOMC pekan lalu ini, kemudian mendorong
sentimen penguatan mata uang dolar AS terhadap mata uang negara-negara lain,
termasuk rupiah. Setidaknya hampir seluruh mata uang di Asia melemah terhadap
dolar AS pada sesi perdagangan pekan ketiga September 2014. Mata uang
Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Jepang, Thailand, Singapura, Taiwan, dan
Indonesia melemah terhadap dolar AS. Nilai tukar rupiah pada sesi perdagangan
Kamis (18/9) menembus batas psikologisnya di level Rp12.025 per dolar AS atau
melemah 0,46%.
Pelemahan ini merupakan respons
pascapengumuman hasil rapat FOMC. Diperkirakan penguatan nilai tukar dolar AS
terhadap sejumlah mata uang negara lain dalam beberapa waktu ke depan terus
berlangsung, seiring dengan positifnya berbagai indikator makro perekonomian
AS. Pada kondisi ini, para investor global akan cenderung mengubah orientasi
investasinya dari jangka panjang menjadi jangka pendek. Aksi spekulatif akan
cenderung mewarnai aktivitas perdagangan global dalam beberapa waktu ke depan
melalui aksi relokasi investasi.
Sentimen penguatan dolar AS ini telah
memicu spekulasi adanya relokasi investasi yang selama ini tersebar di
sejumlah negara dengan prospek ekonomi yang positif untuk kembali ke AS.
Relokasi investasi dan aliran arus modal ini diperkirakan terus berlangsung
sepanjang sinyal positif ekonomi AS tetap menunjukkan angka-angka yang
positif. Di sisi lain, entitas-entitas ekonomi besar seperti Eropa, China,
dan Jepang justru menunjukkan potret kebalikannya.
Bank sentral Eropa, China, dan Jepang saat
ini justru mengalami persoalan likuiditas yang mendorong kebijakan
quantitative easing. Bank Sentral Eropa meluncurkan Targeted Long Term Refinancing Operations (TLTROs) dengan
memberikan pinjaman murah kepada industri perbankan di kawasan euro senilai
400 miliar euro (USD518 miliar). Bank Sentral China mengeluarkan stimulus
USD81 miliarpada lima bank BUMN terbesar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
China.
Sementara itu, Bank of Japan akan
mempertahankan stimulus ekonominya untuk menghindari tekanan deflasi yang
lebih dalam. Kondisi ini juga dapat menjelaskan bahwa prospek perekonomian di
ketiga wilayah tersebut masih memerlukan waktu untuk mencapai target-target
pemulihan ekonomi seperti yang diharapkan. Bagi Indonesia, rencana
pengakhiran QE III di AS dan masih berkontraksinya ekonomi Zona Euro, China,
dan Jepang merupakan faktor penting yang perlu kita antisipasi bersama.
Ketidakpastian dan volatilitas pasar keuangan dunia masih akan terjadi dalam
jangka pendek dan jangka menengah.
Dampak dari tekanan eksternal telah kita
rasakan bersama saat ini dan dapat dipastikan gelombang ketidakpastian masih
akan terus terjadi. Untuk memitigasi pengaruh ketidakpastian eksternal,
prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan dalam pengelolaan sektor moneter,
fiskal, dan sektor riil perlu terus kita jaga dan tingkatkan. Menciptakan
formula yang tepat dan keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) sangat kitaperlukan antara nilai tukar
rupiah, suku bunga, inflasi, cadangan devisa, serta indikator sektor riil.
Melalui koordinasi antara BI, pemerintah,
LPS, dan OJK maka kita akan tetap menjaga serta meningkatkan daya tahan dan
daya saing perekonomian Indonesia dalam jangka pendek dan jangka menengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar