Prospek
Kabinet Ideal Jokowi
Wasisto Raharjo Jati ;
Peneliti
di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
SINAR
HARAPAN, 15 September 2014
Perumusan
mengenai postur kabinet ideal tengah menghangat dalam diskursus politik
publik hari ini. Terlebih lagi setelah Jokowi sendiri membuka kantor transisi
maupun audisi publik terhadap pencarian sosok menteri ideal yang akan mengisi
kabinetnya mendatang.
Jokowi
memang sosok strategis dan sosok korektif dalam menyongsong pemerintahannya.
Langkah pertama yang dilakukan adalah meminta perampingan kabinet dan
kementerian maupun juga deparpolisasi terhadap pemilihan anggota kabinet
dengan mengharamkan adanya rangkap jabatan.
Kedua
hal tersebut setidaknya memberikan warna baru dalam konstelasi
presidensialisme dengan sistem multipartai di Indonesia setelah 2004.
Terdapat upaya penegasan untuk memperkuat kuasa preogratif presiden dalam
menghadapi kuasa transaksional partai politik.
Perlu
diingat pula, eksperimentasi terhadap sistem multipartai dalam alam demokrasi
di Indonesia selama 10 tahun (2004-2014) telah menghasilkan adanya
pengerdilan presiden (minority
president) selama berkuasa.
Anasir
yang dilakukan Mainwaring dan Shugart (2007) menjelaskan, minority president terjadi karena
terjadi instabilitas dalam pemerintahan, terjadi devided government antara ruang legislatif dengan ruang
eksekutif.
Hal
yang terjadi kemudian adalah legislatif dengan kekuatan partai politik
(parpol) mayoritas bisa menekan eksekutif yang notabene berasal dari kalangan
partai minoritas. Implikasi yang terjadi adalah model politik dagang sapi
yang berujung pada pola komformitas dan kompromisitas politik yang berujung
pemenuhan kepentingan oligarki ketimbang publik.
Anasir
Cheibub (2010) maupun Linz (2003) mengenai kabinet yang dipimpin minority president menunjukkan adanya
gejala deadlock dalam perumusan
perundangan maupun kebijakan kepada publik untuk disahkan kepada legislatif.
Akhirnya,
yang terjadi justru survivalitas presidensialisme di tengah tekanan kartel
sehingga menjadikan pemerintahan presidensialis menjadi tersandera.
Mencermati
konstelasi dan kontestasi politik ke depan setelah 20 Oktober 2014, kita
melihat muncul dua kartel koalisi, yakni Koalisi Merah Putih yang pro Prabowo
dan mengambil sikap oposisi terhadap pemerintahan Jokowi, dengan Koalisi
Pandawa Lima yang dipimpin PDIP.
Menguatnya
deadlock akan lebih terjadi pada
perumusan kebijakan strategis maupun pembahasan perundangan pada saat joint session antara presiden dengan
DPR. Selebihnya deadlock akan
terjadi pada dinamika koalisi perihal pengisian kabinet.
Perlu
diketahui, konteks minority president
juga bisa terjadi dari kalangan internal, tidak hanya kalangan eksternal.
Arus deras tuntutan parpol pendukung koalisi pemerintahan untuk bisa
menitipkan kadernya dalam kabinet ini yang berpotensi besar mereduksi hak
preogratif presiden dalam menyusun kabinet maupun juga penunjukkan
kementerian dan lembaga tertentu, menjadi domain partai dan sapi perah bagi
pemenuhan kas parpol tersebut.
Dalam
situasi mutakhir, Jokowi melarang adanya politik rangkap jabatan maupun
penjatahan kementerian tertentu pada salah satu parpol. Sikap Jokowi ini
perlu diapresiasi dan didukung sebagai langkah awal melakukan revolusi
mental, meniadakan budaya rent seeking
maupun office and chair seeking
dalam menginisiasi pembentukan kabinet baru.
Hal
yang ditekankan Jokowi adalah service
seeking pemberian jatah menteri kabinet dan mengutamakan adanya
profesionalitas dalam bekerja dengan berpegang teguh pada prinsip right man on the right place.
Implikasinya adalah terbentuknya zaken kabinet yang berisikan kalangan
teknokrat, bukan hanya berisikan kalangan kleptokrat.
Pembentukan
kabinet nirpartai yang terbebas dari
segala unsur parpol demi terbentuknya kabinet yang bekerja tentu membutuhkan berbagai
prasyarat politik tertentu. Pertama, kabinet nirpartai dibentuk atas
stabilitas, solidaritas, dan koordinasi politik yang kuat dari partai
pendukung koalisi.
Dalam
hal ini, PDIP sebagai patron harus bisa menekan ego sektoral maupun ego
politik kepada setiap parpol koalisi agar jangan sampai melakukan politik
transaksional terhadap pembentukan kabinet baru.
Oleh
karena itu, sosok Megawati Soekarnoputri sebagai king maker atas terbentuknya
Koalisi Pandawa Lima perlu menegaskan sikap politiknya agar diikuti semua
kalangan ketua partai lainnya.
Kedua,
kabinet nirpartai terbentuk atas perimbangan kekuasaan ideal antara
legislatif dengan eksekutif. Jika kita simak, komposisi Koalisi Merah Putih
menguasai kursi 63 persen, sedangkan Koalisi Pandawa Lima mencapai 37 persen.
Hal ini yang sepertinya akan menjadi ganjalan kabinet nirpartai Jokowi dalam
menghadapi kekuatan transaksional koalisi oposisi.
Ketiga,
kabinet nirpartai terbentuk atas dasar kesukarelaan semua anggota koalisi
untuk tidak memaksakan kehendak politiknya dan lebih menghamba pada pemenuhan
kepentingan publik.
Keempat,
adanya deparpolisasi bukan berarti mengerdilkan peran parpol dalam
pembentukan kabinet. Namun, hal yang diutamakan adalah partai berperan
penasihat dan konsultan terhadap progam-progam kabinet yang akan dijalankan.
Dengan
melihat track record Jokowi selama
di pemerintahan, kita patut optimistis kabinet nirpartai yang benar-benar
bekerja untuk rakyat akan diwujudkan dan tercapai. Kuncinya adalah kembali
pada penegasan koalisi tanpa syarat yang ditegaskan PDIP sebagai patron dan
juga penegasan hak prerogatif Jokowi sebagai presiden dalam memilih menteri
dan membentuk kabinet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar