Perubahan
Sistem dan Polemiknya
M Alfan Alfian ;
Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN SINDO, 11 September 2014
Tidak
ada yang baku dalam sistem politik dalam menerjemahkan demokrasi, termasuk
dalam mengutak-atik sistem pemilu. Karena itulah maka ketika perubahan sistem
dilakukan oleh penentu kebijakan politik dilakukan, hal itu sebenarnya wajar
saja.
Namun,
memang setiap perubahan sistem politik biasanya disertai dengan polemik.
Demikianlah pula yang menonjol saat ini menyusul perubahan UU tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan usulan perubahan mekanisme pemilihan kepala
daerah (pilkada) dari metode langsung kembali ke pemilihan di “dalam ruangan”
melalui DPRD. Polemik berjalan menyertainya, ada yang pro ada yang kontra.
Ada yang menuding para politisi tengah “bersekongkol” dan “berselingkuh”, ada
yang melihatnya biasa-biasa saja, ada pula yang menganggapnya sebagai hal
yang harus dilakukan demi perbaikan sistem.
Tulisan
ini tidak akan mengomentari pendapat-pendapat pro-kontra yang beredar, namun
hendak mengulas tentang perubahan konstelasi politik dan konsekuensinya. Kita
tahu bahwa demokrasi secara harfiah “pemerintahan rakyat” dimanarakyat
adalah“penentu”. Namun, “penentu” yang dimaksud kemudian lebih banyak
bertransformasi maknanya sebagai pemberi legitimasi terhadap wakil-wakil
rakyat (elected politicians) atau
para penentu kebijakan. Rakyat menyerahkan urusan-urusan politik ke mereka.
Dan,
manakala pilihan dan kebijakan politik mereka tidak memuaskan, rakyat bisa
menghukum dalam pemilu berikutnya. Kalau tidak sabar, mereka bisa melakukan
tekanan-tekanan yang dalam kasus tertentu memperbesar gerakan ekstraparlementer,
bahkan bisa menyulut revolusi rakyat (people
power). Rakyat pada akhirnya berdiri sebagai kelompok (massa) penekan
yang posisinya dalam proses politik wilayah pengaruhnya tidak langsung.
Penentu kebijakan bisa menerima aspirasiaspirasi kelompok penekan yang sangat
gencar melakukan perlawanan atau memperjuangkan isu tertentu, tetapi juga
tidak.
Atau,
lazim ada tuntutan-tuntutan yang diakomodasi, ada pula yang ditolak. Proses
politik hingga munculnya produk kebijakan yang mengikat dan berdampak pada
rakyat, pada akhirnya memang tidak dapat memuaskan semua kelompok dalam
masyarakat. Dalam konteks inilah, orang akhirnya menyadari bahwa pengambilan
keputusan dalam pembuatan kebijakan politik, tidak dapat dilepaskan dari
tarik-menarik kepentingan antarkekuatan politik. Pascapemilu, ketika
konstelasi politik nasional atau lokal berubah maka lazim manakala rakyat
akan disuguhi perubahan-perubahan, di samping yang tetap.
Argumen dan
Kepentingan
Dalam
demokrasi semua kekuatan politik punya “dalih pembenaran” terhadap pilihan,
sikap dan langkah politiknya. Masing-masing punya basis argumentasinya,
terlepas tentu ada nuansa riwayat kepentingan politiknya. Katakan yang pro
terhadap pemilihan langsung, mereka berargumen bahwa sistem itulah yang
paling tepat diterapkan di Indonesia, karena menjamin kedaulatan rakyat,
rakyat ikut berpartisipasi dalam menentukan pemimpin, dan mencegah politik
uang oleh para elite politik.
Tetapi
yang pro-pemilihan lewat DPRD, punya pendapat bahwa faktanya pemilihan
langsung biayanya sangat besar, dan yang terjadi di lapangan ialah banyaknya
praktik pragmatisme-transaksional di mana politik uang merambah ke mana-mana,
dan rakyat menikmati itu. Di stasiun-stasiun televisi, debat bisa imbang,
kalau dihadirkan pembicarapembicara yang pro dan kontra. Demikian pula di
media massa lainnya. Tetapi, belakangan ini, dan tampaknya ini imbas Pilpres
2014, polemik berlangsung tidak seimbang, manakala beberapa surat kabar
tertentu tidak memberi ruang yang seimbang bagi yang berpendapat pro atau
yang kontra.
Media
massa boleh berpihak dalam editorialnya, tetapi dalam pemberitaan bahwa ada
beda pendapat semestinya bisa diupayakan pendapat pro dan kontra dihadirkan,
sehingga rakyat kebanyakantahumanfaat dan mudarat masing-masing pilihan. Dalam
konteks polemik usulan perubahan pilkada, jelas bahwa rata-rata partai
politik pendukung Koalisi Merah Putih, yakni yang mendukung Prabowo-Hatta
dalam Pilpres 2014, tampak kompak mendukung perubahan. Dari sisi kepentingan
politik, keberadaannya di luar pemerintahan dimanfaatkan untuk mengoptimalkan
peran mereka dalam lapangan politik, manakala pilkada dilakukan lewat DPRD.
Mereka
punya peluang untuk merebut sebanyak mungkin kepemimpinan DPRD, bahkan juga
di DPR mengingat adanya perubahan UU tentang MD3 mekanisme pemilihanlah yang
ditempuh. Dari sisi ikhtiar politik untuk bisa mengimbangi pemerintah, maka
apa yang dilakukan oleh partai-partai Koalisi Merah Putih itu, lazim semata.
Kalau kemudian dikesankan bahwa mereka telah “membajak demokrasi”, bagaimana
mungkin hal itu dilakukan dalam mekanisme yang formal dan legal?
Kalaupun
kemudian ada yang merasa kecewa, hal itu bisa diekspresikan ke dalam berbagai
cara, apakah demonstrasi, menggalang petisi melalui internet, menulis opini
di surat kabar, atau hal-hal lainnya yang dilakukan secara damai. Tetapi
dalam sistem politik kita DPR memang punya fungsi legislasi, membuat dan merevisi
perundang- undangan. Padahal, kita tahu bahwa DPR adalah arena kontestasi
politik.
Hasil
dari suatu produk sistem politik, bagaimanapun tidak lepas dari subjektivitas
kekuatankekuatan politik, yang notabene partai-partai politik. Bisa saja,
apabila memang banyak yang tidak puas maka ia akan memicu suatu sentimen
antipartai. Tetapi dalam kehidupan politik demokratis manapun, sikap
antipartai biasanya tetap tidak akan bisa memengaruhi kebijakan politik
partai-partai dalam isu-isu tertentu.
“Shutdown” Amerika
Bahwa
apa yang dilakukan oleh para politisi Koalisi Merah Putih terkait dengan
revisi UU tentang MD3 dan UU tentang Pemerintahan Daerah, isunya sangat
berbeda dengan kasus ekstrem yang pernah terjadi di Amerika. Pasalnya, yang
dipersoalkan ialah perubahan mekanisme dalam pemilu, dan tidak menyangkut
halihwal penolakan anggaran, sebagaimana dilakukan Partai Republik sehingga
pemerintah Amerika terpaksa “tutup” alias “shutdown“. Kita masih ingat, pada
Oktober 2013, sebagian besar layanan publik pemerintah Amerika Serikat,
berhenti, karena perdebatan tak berujung antara kubu Republik dan Demokrat.
Mereka
saling menyalahkan sebagai penyebab penutupan layanan badan federal, taman
nasional, dan fasilitas di seantero negeri. “Shutdown“ dimulai ketika
Kongres, yang terdiri atas DPR (House ) dengan dominasi Partai Republik dan
Senat yang didominasi Partai Demokrat, melewati tenggat waktu pembahasan
anggaran. Rapat itu seharusnya memutuskan soal penambahan anggaran darurat
untuk membiayai anggaran pemerintah. Pembahasan menemui jalan buntu karena
kubu Republik mensyaratkan penambahan anggaran baru dapat dilakukan jika
terlebih dahulu dilakukan peninjauan ulang atas UU Kesehatan yang mendasari
“Obamacare“.
“Shutdown
“ Amerika, tidak terjadi sekali itu, sebelumnya terjadi pada 1995-1996. Apa
yang terjadi di Amerika merupakan contoh ekstrem ketika, proses politik di
Kongres berdampak pada “kesengsaraan rakyat”, kendatipun biasanya “shutdown “
tidak berlangsung lama. Kalaupun seandainya skenario Koalisi Merah Putih
dalam memuluskan mekanisme pemilihan langsung dalam pilkada sukses, maka
mereka yang merasa dirugikan masih punya ruang dan kesempatan untuk
menuangkan ketidaksetujuannya. Mekanisme “judicial review“ ke Mahkamah
Konstitusi (MK) masih bisa ditempuh. Masa depan polemik ditentukan MK.
Bisa
jadi MK membatalkan revisi UU tentang MD3, tetapi bisa pula tidak demikian.
Akan halnya dengan revisi UU tentang Pemerintahan Daerah, apabila sudah
disetujui DPR, juga sama. Para pengkritik lazim menyebut manuver politik
Koalisi Merah Putih akan sia-sia, karena besar kemungkinan dapat dibatalkan
MK. Kendatipun, ceritanya kemudian bisa lain. Tetapi memang demikianlah
proses politik. Elite politik merasa punya hak untuk bermanuver, tetapi di
sisi lain kelompok-kelompok kepentingan juga punya hak untuk menekan dan
berpendapat. Memang keputusan apapun bisa berdampak, namun dalam polemik kali
ini, prosesnya di DPR, masih sangat jauh dari bayang-bayang “shutdown “. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar