Pengunduran
Diri Ahok
Muhammad Tri Andika ;
Kepala
Jurusan Ilmu Politik Universitas Bakrie
Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies (IPS)
|
KORAN
SINDO, 12 September 2014
Pengunduran
diri Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok, sebagai kader Partai
Gerindra merupakan realitas politik yang menarik untuk disimak.
Sikap
Ahok yang konsisten mendukung pemilukada langsung yang dipandang lebih
demokratis dibanding dengan pandangan partainya, dianggap menjadi faktor
utama pengunduran diri Ahok. Konflik Ahok dengan Gerindra tidak bisa
dihindarkan.
Lantas
pertanyaannya, apakah beda pandangan mengenai pemilukada antara Ahok dan
Gerindra menjadi faktor utama pengunduran diri wagub DKI Jakarta sebagai
kader Partai Gerindra?
Pengunduran
diri dalam keanggotaan partai politik pada dasarnya merupakan sesuatu yang
normal. Setiap partai politik dalam AD/ART-nya pasti mengatur mekanisme
pengunduran diri seseorang dari keanggotaan organisasinya.
Dengan
kata lain, pengunduran diri seseorang dari partai politik merupakan hak yang
sah. Atas dasar ini, sikap Ahok mundur dari partai yang telah mengusungnya
menjadi wagub DKI Jakarta adalah hak politik yang bersangkutan.
Namun,
dalam peristiwa yang tengah berkembang antara Ahok dan Gerindra, terlalu
sederhana tampaknya jika Ahok menjadikan isu perbedaan sikap dalam isu
pemilukada sebagai alasan utama pengunduran dirinya.
Bisa
jadi hal ini hanya merupakan faktor pemicu bukan faktor utama. Dalam hal
perbedaan pandangan antara kepala daerah dan partainya, sepertinya bukan
hanya terjadi pada kasus Ahok. Kita juga bisa melihat bupati/wali kota lain
yang memiliki perbedaan pendapat dengan partainya mengenai isu pemilukada
ini.
Sebut
saja Ridwan Kamil yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan
Gerindra serta Bima Arya Sugiarto yang diusung oleh Partai Amanat Nasional
(PAN). Keduanya juga mendukung pemilukada secara langsung dan memiliki sikap
yang berbeda dengan pandangan partainya.
Atau
jika lebih luas lagi untuk bisa melihat singgungan pendapat antara kepala
daerah dan partainya, kita bisa melihat hubungan Trismaharini dengan PDIP di
Surabaya.
Sehingga,
perbedaan pendapat dalam satu partai merupakan isu yang biasa, dan berlebihan
nampaknya jika ini bisa menjadi faktor utama pengunduran diri Ahok dari
Gerindra. Masih cukup banyak faktor yang bisa turut menjelaskan pengunduran
diri Ahok di luar isu perbedaan pandangan tersebut.
Seperti
faktor komunikasi politik Ahok yang sangat unik, atau bahkan ada motivasi
politik lain yang muncul seiring dengan perkembangan dinamika politik
nasional.
Perilaku Politik vs
Etika Politik
Pengunduran
diri Ahok juga bisa mengajak kita sedikit menengok benturan dua aspek dalam
kajian ilmu politik yang sering kali tidak pernah sejalan; yakni perilaku
politik dan etika politik. Membahas perilaku politik pada tataran yang
normatif, sering kali dipandang oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang
naif.
Sebab
katanya, politik memang tentang seni bagaimana mendapatkan kekuasaan yang
menghalalkan segala cara. Atas dasar inilah sering kali etika politik hanya
menjadi bagian yang tersudutkan dalam pembahasan perilaku aktor politik.
Namun, penulis berpandangan bahwa kerasnya pertarungan perebutan kekuasaan
dengan segala cara, tidak akan pernah menutup kerinduan masyarakat akan
dijunjungnya etika politik.
Sejatinya,
kekuasaan politik yang sudah didapatkan tidak hanya membutuhkan legitimasi
secara hukum, tapi juga dibutuhkan pembenaran normatif yang berlaku di dalam
masyarakat. Namun, politik adalah pertarungan kekuatan. Sering kali realitas
politik yang dipertontonkan tidak bisa dijelaskan dalam etika politik yang
dianggap ideal.
Mundur sebagai Wagub
DKI Jakarta?
Sikap
Ahok yang tidak mundur dari wagub DKI Jakarta bisa dipahami secara
konstitusional, sebab tidak ada aturan yang menegaskan ia harus mundur dari
posisinya. Meskipun kader partai dan dicalonkan oleh partai, kepala daerah
tidak bisa diganti dari jabatannya ketika dirinya keluar dari partai yang
mengusungnya. Kendali partai terputus bersamaan dengan pelantikan kandidat
yang diusung sebagai kepala daerah.
Namun
pada saat yang bersamaan, penulis berpendapat bahwa hal ini merupakan cermin
dari sistem politik kita yang masih mengabaikan etika politik, sehingga
kepala daerah bisa dengan mudah meninggalkan partai politik yang telah
mengusungnya ketika jabatan yang dituju sudah dicapai.
Lebih
jauh lagi, dalam konteks ini penulis juga berpandangan bahwa ke depannya di
satu sisi pelibatan publik yang luas dalam proses pemilukada langsung yang
sudah sepuluh tahun diterapkan harus tetap dijaga. Pasalnya, ongkos
pembelajaran politik yang sudah dikeluarkan bangsa ini tidak terbuang
sia-sia.
Namun,
jangan sampai pada saat yang bersamaan hal ini justru memperlemah peran dan
fungsi partai politik dalam praktik berdemokrasi. Peran partai politik tetap
harus diperhatikan secara serius ke depannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar