Pembangunan
Karakter
dan
Dampak ‘Perang Asimetris’
Paramitha Prameswari ;
Peneliti Muda di
LSISI Jakarta; Tinggal di Depok
|
DETIKNEWS,
01 September 2014
Di
era keterbukaan informasi, digitalisasi, globalisasi dan borderless (tanpa batas) sekarang ini, beragam cara yang
digunakan oleh kelompok kepentingan. Baik itu state actor atau non state
actor untuk menghancurkan suatu bangsa atau negara baik dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya, ataupun dalam waktu yang lama.
Di
era perang konvensional seperti di era perang dunia pertama dan perang dunia
kedua, peranan kekuatan militer dan persenjataan sangat menentukan negara
tersebut akan memenangkan peperangan dan pertempuran ataukah tidak. Namun di
era seperti sekarang ini walaupun kekuatan militer dan peralatan persenjataan
juga masih menentukan, namun tidak ayal peranan perang asimetris terutama
yang dilakukan oleh aktor-aktor non negara atau non state actor seperti
kalangan budayawan, akademisi, aktivis NGO, wartawan, wisatawan, tokoh-tokoh
informal, media massa, pemuka opini dan lain-lain sangat menentukan apakah
kita akan memenangkan peperangan sekaligus pertempuran.
Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika sekarang ini banyak terjadi 'perang
asimetris' atau peperangan dengan menggunakan unsur-unsur non perang yang
menjadi lebih dominan. Beberapa contoh perang asimetris terkini misalnya soal
isu pelanggaran HAM, demokratisasi, lingkungan hidup, nuklir, nilai-nilai
budaya baru, nilai-nilai sosial baru, korupsi, abuse of power, radikalisme
dan separatisme dll, artinya isu-isu tersebut dijadikan 'pintu masuk' untuk
menguasai kekuatan dan kelemahan suatu negara.
Untuk
menjalankan peranan strategis dan signifikan dalam 'perang asimetris' ini
adalah media massa termasuk media sosial yang nota bene belum dapat
diklasifikasikan sebagai karya jurnalistik, namun sangat berhasil dalam
menjalankan fungsi sebagai perang asimetris. Seperti terlihat dari
serangkaian Arab Spring ataupun bagaimana kalangan netizen atau sosial media
saling bahu membahu membantu Jokowi ataupun Prabowo dalam Pilpres 2014.
Bahkan Presiden terpilih Jokowi tidak mau melepaskan kalangan netizen dan
tetap menggalangnya, terbukti telah melakukan pertemuan dengan kelompok
sosial media atau netizen yang menjadi volunteer ataupun pendukung setianya
dalam Pilpres yang lalu.
Perhimpunan
Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Unesco dalam pelaksanaan Global Media Forum di
Bali pada tanggal 25-28 Agustus 2014 juga memandang bagaimana peranan
strategis media massa dalam menciptakan masa depan mendatang lebih
berkeadilan, damai dan toleran. Yang perlu dikritisi dari pelaksanaan Global
Media Forum ini adalah PBB terutama Unesco sangat menyakini bahwa freedom of
expression dan freedom of media serta akses terhadap informasi sangat penting
dalam upaya mengurangi 'global imbalance'.
Pertanyaannya
apakah PBB atau UNESCO juga berani menekan negara-negara kuat seperti Amerika
Serikat, Inggris, Jerman, China dan Prancis misalnya jika tidak memberlakukan
freedom of expression dan freedom of media serta akses terhadap informasi?
Terbukti PBB juga diam saja dalam kasus Edward Snowden, PBB juga tidak
bersuara ketika CIA 'memeriksa' twitter, youtube bahkan menyadap beberapa
telepon pejabat tinggi dari beberapa negara.
PBB
juga tidak dapat berbuat apa-apa ketika China menutup atau memblokir The New
York Times ataupun Yahoo ketika menyoroti masalah korupsi beberapa pejabat
negara dan kroni di negara Tirai Bambu tersebut. Artinya perang asimetris
dapat dicegah dampak negatifnya oleh suatu negara jika ada kepemimpinan yang
kuat dan 'harga diri' bangsa yang disegani, tidak sekedar pencitraan tapi
benar-benar disegani bahkan ditakuti.
Pentingnya Pembangunan
Karakter
Menghadapi
persaingan ke depan yang tidak semakin ringan, termasuk adanya dampak negatif
dari perang asimetris dalam berbagai cara dan bentuknya, maka pembangunan
karakter bangsa atau nation charracter building yang dinilai oleh Presiden
Soekarno belum tuntas dilaksanakan adalah salah satu kuncinya.
Mengilhami
penilaian Prsiden Soekarno tersebut, Presiden terpilih Jokowi dalam kampanye
Pilpres 2014 juga menenkankan perlunya revolusi mental, dan masalah revolusi
mental ini diuraikan atau disosialisasikan kembali oleh Jokowi di arena
Muktamar PKB di Surabaya, Jawa Timur.
Memang
pembangunan karakter akan berjalan dengan baik, jika warga masyarakat
memahami ideologi negara sebaik-baiknya dan menjalankannya dengan
sebenar-benarnya, dan akan semakin mulus pembangunan karakter jika ada keteladanan
dari kalangan pemimpin negara atau pejabat negara dan anggota keluarganya.
Tanpa ada keteladanan, kecintaan terhadap ideologi negara serta tanpa adanya
pemimpin yang disegani maka upaya membangun karakter bangsa akan menemui batu
terjal. Jokowi dengan sikapnya yang sederhana, membumi, tegas dan merakyat
diharapkan selama kepemimpinannya sampai 2019 akan mampu membangun karakter
bangsa secara lebih baik melalui revolusi mentalnya.
Bagaimanapun
juga pembangunan karakter bangsa sangat diperlukan, karena sekarang ini marak
dengan adanya ideologi transnasional yang sebenarnya tidak sesuai dengan
ajaran Pancasila dan ajaran agama Islam. Maraknya ideologi transnasional ini
juga merupakan bagian dari perang asimetris yang dalam jangka waktu tertentu
jika tidak disadari, tidak diantisipasi dan tidak dicegah dapat merontokkan
bangsa ini.
Munculnya
ISIS misalnya jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam dan ideologi
Pancasila bahkan merongrong atau mencederai nama besar Islam itu sendiri.
Ajaran Islam bersama ideologi Pancasila itu sangat Islami dan layak
diperkenalkan di pentas dunia serta negara-negara berpenduduk Islam.
Pancasila itu sangat luar biasa. Seluruh sila-nya sangat Islami.
Sila
pertama bicara Tauhid atau ke-Esaan Tuhan, sila kedua bicara karamatul insan
atau keadilan dan beradab, sila ketiga bicara persatuan atau ukhuwah
wathaniyah, sila empat bicara perwakilan rakyat atau syura bainahum dan sila
lima bicara keadilan sosial yang merupakan esensi bernegara dalam Islam yakni
keadilan.
Walau
tidak tersurat atau tertulis dalam Bahasa Arab, yang penting intisari
Pancasila adalah sangat Islami. Pancasila itu dirumuskan para pendiri bangsa
dan disepakati para sesepuh dari berbagai suku dan agama. Nilai Islam itu
juga universal sehingga sangat layak bagi Indonesia untuk percaya diri dan
mempromosikan gagasan kebangsaan RI di dunia dan negara-negara Islam.
Terlebih mengingat gejolak yang terjadi di Afrika dan Timur-Tengah pasca Arab
Springs.
Demokrasi
boleh memunculkan gagasan apa saja, tetapi tidak bagi gagasan yang
menghancurkan negara seperti ISIS. Benih-benih ISIS kalau berkembang akan
membahayakan Republik Indonesia. ISIS atau ideologi transnasional lainnya
mencari mangsa anak-anak muda yang memiliki semangat ke-Islaman tinggi tetapi
pengetahuan agama rendah.
Mengaca
dari kasus ISIS tersebut, jika pembangunan karakter bangsa dan keteladanan
pemimpin nasional sudah tercipta di Indonesia, maka tidak akan muncul
kekhawatiran terhadap ISIS seperti kekhawatiran sekarang ini. Oleh karena
itu, adanya ISIS dan ideologi transnasional lainnya harus dijadikan 'the
return point' untuk segera membangun karakter bangsa secara benar.
Dengan
karakter bangsa yang jelas, negara tersebut akan maju dan jaya seperti Jerman
dengan karakter “Deutchsland Uberalles”, Jepang dengan semboyan “Bushido”-nya
dan China dengan karakter pekerja keras, rajin menabung dan berani menerima
tantangan, sekarang ini menjadi negara-negara yang besar, maju, kuat dan
jaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar