Normalisasi
Politik Kita
M Alfan Alfian ;
Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
KOMPAS,
15 September 2014
Pengalaman Pemilihan
Presiden 2014 sebagai sebuah kontestasi politik yang sangat ketat dan
melibatkan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian konfliknya, meninggalkan
pelajaran berharga dalam perkembangan demokrasi kita. Tidak sekadar menguji
sistem demokrasi, tetapi juga kedewasaan politik semua pihak.
Tidak ada konflik
politik yang tidak dapat diikhtiarkan penyelesaiannya. Dalam sistem politik
kita, MK berperan penting dalam penyelesaian konflik elektoral. Keputusannya
harus dihormati dan dipatuhi bersama. Setelah itu, kita bersama mengupayakan
normalisasi politik.
Normalisasi politik
merupakan hal yang lazim dilakukan pasca pemilihan umum. Pemilu sebagai rezim
kontestasi politik, membuka partisipasi publik luas dan kontestatif dengan
konsekuensi konflik yang dinamis.
Sistem politik yang
membingkainya harus memberikan jalan keluar yang elegan dan sehat agar
residu-residu konflik dapat dinormalkan kembali. Karena itu, normalisasi
politik bermakna penormalan kembali kehidupan politik dan sekaligus perbaikan
sistem politik.
Dalam konteks ini,
normalisasi identik dengan, merujuk Kuntowijoyo, rasionalisasi dan
obyektivikasi. Pada awal Reformasi 1998, Kuntowijoyo mengingatkan, politik
bisa membuat pelakunya berkacamata kuda atau miopik. Mereka berorientasi
jangka pendek. Karena itu, golongan politisi harus kita ingatkan.
Demistifikasi politik
Rasionalisasi dalam
perspektif Kuntowijoyo adalah demistifikasi politik. Politik harus dibebaskan
dari mitos-mitos yang membuat para pelakunya miopik. Rasionalisasi juga
berarti obyektivikasi, di mana politik yang berorientasi kemaslahatan
merupakan transformasi perbuatan rasional nilai (wertrational) ke perbuatan rasional riil, di mana orang lain pun
menikmati capaian-capaian politik, tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal.
Dalam konteks ini
tidak berarti ”kebenaran politik” merupakan monopoli penguasa atau kelompok
pengimbang atau oposisi. Secara rasional, ”kebenaran politik” dilakukan oleh
siapa saja yang mampu menciptakan kemaslahatan bersama.
Maka, penguasa atau
siapa pun pemegang pemerintahan baru tidak akan menuai apresiasi politik
manakala lemah dalam mengupayakan ”kemaslahatan bersama”.
Sebaliknya,
kelompok pengimbang juga harus efektif dalam fungsinya, sehingga prinsip checks and balances terus aktual.
Kelompok pengimbang harus tetap menjaga marwahnya sedemikian rupa sehingga
politik berjalan dengan basis argumen yang jelas. Tanpa itu kritik-kritik
oposisi menjadi tidak menarik dan jauh dari persoalan nyata yang dirasakan
masyarakat.
Sinyalemen Kuntowijoyo
tentang politisi miopik mengingatkan pula pada pandangan Herbert Marcuse
tentang paradigma manusia satu dimensi.
Dalam bukunya, One Dimensional Man, Marcuse menyitir
bahwa pemikiran satu dimensi secara sistematis dipromosikan oleh perekayasa
politik dan pemasok informasinya. Wacana-wacananya dihuni oleh hipotesis yang
divalidasi sendiri secara monopolistis terus-menerus, menjadi definisi yang
menghipnotis.
Corak politik
totalitarian seperti ini juga disitir oleh Goerge Orwell yang menyindir
bahwa, ”Semua masalah adalah masalah
politik, dan politik itu sendiri adalah kebohongan, penggelapan, kebodohan,
kebencian, dan skizofrenia yang masif”.
Karena itu,
mormalisasi kehidupan politik membutuhkan peran elite untuk menjauhkan diri
dari cara berpikir satu dimensi dan totaliter. Elite bertanggung jawab dalam
proses pendidikan politik dengan cara-cara yang elegan.
Rasionalisasi sering
pula bermakna demasifikasi politik, bahwa penggunaan massa sebagai alat
penekan politik tidak boleh diarahkan ke arah konflik kekerasan.
Konsensus baru
Terobosan paling
penting politik adalah terciptanya konsensus-konsensus baru yang lebih maju
dan efektif, karena dinamika politik selalu diwarnai konflik dan konsensus.
Untuk menuju ke sana, paradigma satu dimensi atau miopisme politik perlu
dibuang jauh-jauh. Inilah pekerjaan rumah penting pasca Pilpres 2014.
Selanjutnya, secara
sistem, kita mencatat bahwa penyelenggaraan pilpres langsung memang memiliki
konsekuensi berbeda apabila dibandingkan dengan mekanisme pemilihan tertutup
di lembaga perwakilan rakyat. Pilpres langsung melibatkan pembelahan dukungan
yang diametral dalam masyarakat. Potensi konfliknya masif, sehingga peran
elite untuk menyatukannya kembali sangat penting. Sistem harus mengantisipasi
agar tidak terjadi benturan di level masyarakat dan tidak meninggalkan
luka-luka masif.
Kita lega karena pada
tahun 2019 pemilu serentak akan diimplementasikan, dengan harapan polarisasi
politik tidak setajam sekarang. Namun, bukan berarti perbaikan sistem usai
mengingat masih banyak hal yang belum mampu dijawab. Sistem politik kita
belum sepenuhnya mampu mereduksi atau bahkan menghilangkan praktik-praktik
pragmatisme-transaksional.
Sistem juga belum
mampu membuat semua peserta kompetisi politik yakin sepenuhnya bahwa proses
pemilu benar-benar transparan dan jujur. Kecanggihan teknologi informasi juga
belum termanfaatkan secara sistemik, sehingga pemilu-pemilu kita dewasa ini,
tanpa bermaksud mengabaikan kinerja Komisi Pemilihan Umum, masih terasa
bertele-tele. Itu semua penting mengingat kebutuhan berdemokrasi kita semakin
kompleks, sementara sistemnya masih terbatas.
Kendati demikian, kita
bersyukur bahwa di tengah keterbatasan sistem dan dinamika kontestasi politik
yang tajam, para elite tidak menganjurkan memilih jalan kekerasan. Setajam
apa pun retorika politik pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam kompetisi
pemilu, mekanisme konstitusional menjadi upaya penyelesaian konflik.
Kita boleh merasa
kecewa dengan para elite dalam memutuskan sesuatu dan beretorika, tetapi di
atas semua itu kita seharusnya tetap menghormati pilihan jalan nirkekerasan.
Politik nirkekerasan
yang dipersyaratkan dalam kehidupan demokrasi, bagaimanapun akan memberikan
peluang-peluang baru bagi hadirnya perkembangan-perkembangan yang lebih baik.
Adanya kelompok pengimbang yang kuat dan konsisten, akan membuat politik
menjadi dinamis. Seperti pertandingan badminton: indah dan bertenaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar