Menyelisik
Poros Maritim Dunia
Achmad Soetjipto ; Mantan KSAL; Ketua
Persatuan Purnawirawan AL
|
MEDIA
INDONESIA, 02 September 2014
MENJADIKAN Indonesia
sebagai poros maritim dunia, demikian tekad pasangan presiden dan wakil
presiden terpilih Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. Itu disampaikan dalam
pidato kemenangan mereka di geladak kapal pinisi yang tengah sandar di
Pelabuhan Sunda Kelapa. Pernyataan yang sama juga pernah dilontarkan pada
debat capres edisi ketiga (22/6). Memang sangat nalar bila geostragis dan
geohistoris akan mendorong Indonesia menjadi bangsa maritim. Juga wajar
manakala sektor maritim kemudian berperan sebagai mainstream pembangunan
nasional. Justru pengabaian pembangunan maritim yang terjadi selama ini dapat
diartikan sebagai pengingkaran terhadap fitrah dan jati diri bangsa.
Faktor-faktor
kesejarahan, geostrategis, geopolitik, dan geoekonomi haruslah tersanding
baik dengan dinamika global berikut fakta objektif kebutuhan sekarang dan
tantangan mendatang. Tentu saja mewujudkan komitmen dan janji kampanye itu
tidaklah mudah. Dalam rentang pendek menjadikan Indonesia poros maritim dunia
mungkin agak berlebihan, tetapi setidaknya ada fondasi kuat sebagai pijakan
untuk proses selanjutnya. Selama ini pembangunan kemaritiman belum menjadi
arus utama. Ada memang dalam RPJP 2025 dimunculkan frasa tentang kelautan,
juga dengan keberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Terdapat pula
beberapa peraturan menyangkut hal tersebut seperti UU Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perikanan, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pengelolaan Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang memuat asas
cabotage, dan lain-lain.
Namun, kesemua itu
masih sebatas kebijakan di atas kertas karena faktanya sektor kelautan belum
menjadi napas penggerak utama dalam tata kelola kehidupan
berbangsa.Perangkat-perangkat yang ada masih sebatas `tempelan' dan belum
menjadi subjek utama dalam menggerakkan pembangunan. Prasyarat paling
mendasar ialah mengubah mindset dan cara pandang, yaitu dari bangsa agraris
yang kental dengan isolasi dan mawas ke dalam, akrab dengan status quo, dan nyaman berlingkungan
feodal dengan segala mitos dan takhayulnya, berubah menjadi bangsa maritim.
Selain itu menjadi
bangsa yang berwawasan ke luar, berjiwa dagang, menghargai kesetaraan,
kebebasan dan kompetisi sehat, serta menyenangi engagement, aktif terlibat
dan berperan dalam tata pergaulan dunia. Menerjemahkan visi revolusi mental
untuk kemudian bertransformasi menjadi watak maritim, ini yang paling
mendasar dan pasti paling berat. Sudah barang tentu proses transformasi
membutuhkan pijakan, fondasi, dan pilar yang kuat, yaitu UU Maritim atau UU
Kelautan yang kemudian diterjemahkan menjadi kebijakan nasional berikut
berbagai kerangka kerja strategisnya.
Adanya kebijakan
nasional yang juga merupakan konsensus bangsa dalam menyikapi laut dan
lingkungan maritimnya menjadi sangat penting, bahkan menjadi suatu imperatif
strategis karena itulah hulu dari segala kebijakan pengelolaan sektor
maritim. Pembenahan paradigma bahwa secara alami Indonesia bukan suatu
kontinen, melainkan maritime and
archipelagic state, merupakan modal mental bagi lahirnya sebuah national ocean policy. Intinya sektor
maritim tidak boleh lagi menjadi sektor terpinggirkan. Sampai saat ini
Indonesia belum memiliki UU maritim atau UU kelautan. Kesungguhan pemerintah
mendatang dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dapat
dilihat dari sejauh mana mereka serius menerbitkan UU sesuai kebutuhan untuk
menjawab tantangan.
Paling tidak ada tiga hal penting yang harus diperhatikan
dalam ruang lingkup penyusunan UU kelautan. Pertama tentu tentang tata
kelola, kemudian yang menyangkut aspek ekonomi, dan berikutnya masalah pertahanan
dan keamanan.
Tata kelola
Kebijakan nasional
tata kelola maritim pada dasarnya adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam
mengimplementasikan visi Indonesia poros maritim dunia. Ada banyak perangkat
yang dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan konsep ini, seperti Deklarasi
Juanda, Wawasan Nusantara, UNCLOS, dan IMO. Dengan dasar perangkat-perangkat
tersebut pemerintah dapat menyusun suatu kebijakan terpadu untuk tujuan
kemajuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Penataan kelembagaan perlu menjadi
prioritas, karena selama ini sektor kelautan dikelola setidaknya oleh 16
kementerian dan badan negara yang memunculkan duplikasi wewenang dan
tumpang-tindih aturan.
Harus dirancang
bagaimana sektor kelautan dikelola oleh otoritas tersendiri supaya dapat
mengurangi rantai koordinasi, ketumpulan kendali, dan kelambanan meja
birokrasi. Selanjutnya perlu disusun satu badan keamanan tunggal semacam
coast guard di negara-negara maju. Coast
guard bisa menjadi badan atau angkatan kelima di bawah Kementerian Pertahanan
seperti di India. Bisa juga dibawahkan ke Kementerian Maritim yang nantinya
dirancang sebagai otoritas tunggal pengelolaan laut di luar aspek pertahanan.
Kelemahan keamanan menunjukkan banyaknya potensi ekonomi laut disia-siakan.
Data audit BPK 2012 menyatakan kehilangan akibat illegal fishing mencapai Rp365 triliun. Angka ini akan lebih
besar lagi jika praktik penyelundupan, perusakan lingkungan, dan pencurian
artefak di laut juga dihitung.
Ekonomi maritim
Ke depan diperlukan
kebijakan nasional ekonomi kelautan. Ini merupakan kebijakan pemerintah untuk
bagaimana sektor laut mampu memberikan kontribusi terha dap pembangunan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat terutama penaikan GDP. Kebijakan
yang disusun harus memperhatikan geostrategis nasional yang menjadi penyangga
angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah, Samudra Hindia, Asia
Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya dari tepian Pasifik menuju Samudra
Hindia, Timur Tengah, serta Eropa.
Kepemilikan choke point dan corong alur pendekat
sampai saat ini belum mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap
perekonomian nasional. Padahal dari sekitar 90% pergerakan perdagangan dunia
yang memanfaatkan transportasi laut, sekitar 75% melalui laut Indonesia
dengan nilai sekitar US$1.300 triliun per tahun. Alur perdagangan di Selat
Malaka, misalnya, saat ini justru Singapura dan Malaysia yang banyak
mengambil manfaat. Ini menjadi salah satu sebab kecilnya kontribusi sektor
kelautan terhadap PDB nasional. Data saat ini, sektor kelautan Indonesia
hanya berkontribusi sekitar 22% dan sektor perikanan sekitar 3,4%.Jepang,
Korea Selatan, dan China yang lautnya lebih kecil memberikan kontribusi
hingga 48,4% bagi PDB nasionalnya.
Bahkan, Vietnam yang
bukan negara kepulauan, sektor kelautannya mampu menyumbang 57,63% terhadap
PDB nasionalnya. Beberapa yang harus dibenahi segera untuk membangkitkan
sektor maritim alah percepatan pembangunan jaringan pelabuhan dan
infrastruktur kelautan, industri pelayaran niaga, industri pembangunan kapal,
revitalisasi perikanan, dan pembangunan industri jasa maritim. Jepang dengan
garis pantai 34 ribu km memiliki 3.000 pelabuhan atau satu pelabuhan per 11
km panjang pantai. Thailand dengan garis pantai 2.600 km punya 52 pelabuhan
atau satu banding 50 km panjang pantai.Indonesia dengan 81 ribu km garis
pantai hanya punya 694 pelabuhan atau satu pelabuhan untuk 115 km panjang
pantai.
Pemerintah sekarang
pernah mewacanakan konsep `Pendulum Nusantara', dan capres terpilih
merencanakan membangun tol laut yang menghubungkan wilayah dari Sabang sampai
Merauke sehingga jarak ekonomis mendekati jarak geografis. Artinya ongkos
angkut barang dari Jakarta ke Papua tidak lebih mahal daripada Jakarta ke
Hong Kong. Apabila rencana ini tidak berhenti sebatas wacana dan ada konsistensi
dalam pelaksanaannya, tentu kebangkitan sektor maritim hanya soal waktu. Jelas
keamanan dan kelancaran jaringan dan konektivitas logistik Nusantara itu
sangat memerlukan adanya jaminan keamanan.
Angkatan Laut harus mengambil
peran itu selama badan sipil keamanan dan penegak hukum di laut masih kacau
akibat tingginya ego sektoral para pemangku kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar