Memimpikan
Kabinet Jokowi-JK
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
02 September 2014
MIMPI
kolektif rakyat Indonesia mendambakan sosok kabinet yang amanah, efektif, dan
melayani publik setiap pergantian pemerintahan tidak pernah surut. Khayalan
bawah sadar tersebut merupakan energi yang kalau dikelola dengan bijak sangat
potensial menjadi kekuatan pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mimpi bersama
tersebut semakin melambung sejalan dengan tingkat partisipasi publik dalam
proses politik. Semakin tinggi tingkat partisipasi, semakin indah mimpi
rakyat.
Meskipun
demikian, tidak jarang mimpi buyar karena mimpi rakyat dapat berbeda, bahkan
sering berlawanan dengan mimpi elite politik. Mimpi para elite biasanya
dirangsang oleh birahi kuasa, maka hanya merupakan pelampiasan hasrat dan
naluri instingtualnya. Mimpi bersama tidak menjamin memimpikan tentang hal
yang sama.
Masih
segar ingatan publik, sekitar lima tahun lalu, kemenangan telak Susilo
Bambang Yudhoyono-Boediono dalam Pemilu Presiden 2009 melambungkan mimpi
kolektif publik mendapatkan kabinet yang ideal. Ruang publik gaduh
mereka-reka tim impian (dream team) yang akan lahir dari rahim pemerintahan
yang secara numerik didukung 60 persen pemilih dan parlemen hampir 75 persen.
Pada awalnya, kabinet diapresiasi masyarakat. Meskipun mengakomodasi ketua
umum atau pengurus partai politik, tim ekonomi dianggap sangat baik. Publik
melanjutkan mimpinya agar kabinet segera menyusun kebijakan yang membebaskan
rakyat dari segala kekurangan.
Namun,
harapan buyar karena pemerintahan SBY-Boediono segera disandera parlemen
dengan isu Bank Century dan kasus korupsi Hambalang sampai akhir
pemerintahannya. Demikian pula pergantian menteri beberapa tahun lalu hanya
ramai di panggung politik serta sarat dengan emosi, sensasi, dan nuansa
melodramatik, tetapi jauh dari substansi.
Terpilihnya
Jokowi-Jusuf Kalla dalam Pemilu Presiden 2014 membangkitkan kembali mimpi
kolektif rakyat agar kabinet terdiri atas sosok-sosok yang benar-benar
memenuhi harapan publik. Ekspektasi semakin menggelora karena Jokowi beberapa
kali dengan lantang menyatakan bahwa dirinya hanya akan tunduk kepada
konstitusi dan rakyat. Ia juga menegaskan, penyusunan kabinet dilakukan
”tanpa syarat”; tidak membicarakan jatah kursi menteri, bahkan untuk parpol
pendukung. Namun, hal itu tidak menafikan mengakomodasi interes subyektif
parpol dan berbagai kelompok kepentingan mengingat politik adalah medan
pertarungan kepentingan. Namun, bobot kepentingan subyektif dan pragmatis
harus tidak boleh lebih besar dan takluk kepada kepentingan umum.
Komitmen
politik Jokowi bergayung sambut dengan Jusuf Kalla. Mereka bertekad bulat
melawan transaksi politik yang telah memorakporandakan tatanan kekuasaan yang
membuyarkan ekspektasi publik. Hal itu membuat wacana publik tentang kabinet
mulai bergeser, tidak lagi didominasi nama orang, tetapi berfokus kepada
desain kabinet yang efisien dan agenda Jokowi-JK lima tahun ke depan untuk
merealisasikan janji-janji politiknya.
Urgensi
melakukan perampingan kabinet adalah agenda yang sangat penting. Mengingat
semakin tambunnya birokrasi dan sulitnya koordinasi di kementerian, lemahnya
koordinasi antara kementerian dengan lembaga pemerintah non-kementerian dan
lembaga non-struktural, menjadikan kerja birokrasi sangat lamban.
Namun,
mengingat terbatasnya waktu, kalau dilakukan sekarang sekaligus,
dikhawatirkan akan menguras energi, dana, dan waktu karena komplikasi dan
tali-temalinya restrukturisasi pemerintahan. Sebaiknya desain kabinet
dilakukan dalam kerangka besar bangunan politik yang memadukan berbagai
paradoks, antara bentuk negara kesatuan dan otonomi daerah, sistem
presidensial dengan multipartai, serta pemilihan umum sistem proporsional
dengan sistem distrik; menjadi satu kesatuan yang utuh. Perampingan tanpa
persiapan yang matang dikhawatirkan akan mengakibatkan reperkusi yang
menghambat jalannya roda pemerintahan.
Sementara
itu, sosok menteri era Jokowi-JK harus figur yang kompeten dan pembelajar cepat.
Mereka juga harus mampu menyangkal diri dan berdaulat atas dirinya (self-denial) agar dapat bekerja sangat
keras untuk rakyat. Syarat lain, mereka harus mempunyai jiwa dan semangat
petarung yang tidak kenal menyerah karena harus melawan mafia yang mengepung
para pengambil keputusan politik, seperti mafia minyak, mafia tanah, dan
mafia peradilan. Para mafioso akan menggunakan segala cara, mulai dari yang
cerdik sampai yang licik, untuk menjarah sumber kekayaan negara. Kabinet
Jokowi-JK harus mampu membongkar episentrum berbagai mafia dan memutus mata
rantainya yang menggurita di lingkungan pemutus politik, penyusun, serta
pelaksana teknis kebijakan mulai dari hulu sampai hilir.
Pagar
agar para menteri Jokowi-JK aman dari godaan kekuasaan, jangan sekadar
melakukan seremoni penandatanganan pakta integritas. Mengandalkan komitmen
pribadi hanya akan menuai kemustahilan. Bahkan, produk yang disusun oleh
politisi di MPR tahun 2001, dalam bentuk Tap MPR Nomor VI/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa; meskipun isinya sarat dengan nilai luhur, perilaku
pejabat negara masih jauh dari harapan masyarakat.
Senjata
ampuh melawan penyalahgunaan kekuasaan adalah transparansi. Publik harus
diberikan akses seluas-luasnya tentang penyusunan kebijakan publik.
Pengalaman Jokowi menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta dapat
dijadikan modal dalam melakukan transparansi di tingkat nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar