Memasung
Pilkada Langsung
Refly Harun ;
Pakar/Praktisi
Hukum Tata Negara dan Pemilu
|
DETIKNEWS,
11 September 2014
Ramai-ramai Menolak
'Pilkada DPRD'
Tinggal
berbilang hari lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakhiri 10
tahun masa pemerintahannya. Kita patut bersyukur karena SBY menjadi presiden
satu-satunya dalam sejarah republik ini dengan masa jabatan paripurna.
Soekarno, presiden pertama, dilengserkan MPRS pada tahun 1967 pasca
meletusnya pemberontakan G 30 S-PKI. Soerhato, sang pengganti, dipaksa mundur
pada tahun 1998 setelah 32 tahun berkuasa.
Lalu
Habibie, penambal sisa jabatan Soerharto yang harusnya masih bersisa lima
tahun, harus mengakhiri masa jabatan setelah menjabat selama satu tahun
(1998-1999) karena percepatan pemilu. (Abdurrahman Wahid) Gus Dur, presiden
pertama dalam era Reformasi, hanya bertahan kurang dari dua tahun (1999-2001)
setelah dimakzulkan MPR dan kemudian digantikan Megawati dalam kurun sisa
masa jabatan (2001-2004). Hanya SBY yang selamat sampai tujuan sebagaimana
keyakinan lagu yang ia cipatakan: “Kuyakin sampai di sana”.
Warisan SBY
Terlepas
dari kekurangan yang ada, dalam 10 tahun masa kepresidenannya, SBY telah
mampu merawat demokrasi kita. Selama 16 tahun berlalu sejak era Orde Baru
tumbang, Indonesia masih bisa mengklaim sebagai negara demokratis. Bandingkan
dengan sejak tumbangnya Orde Lama yang kemudian digantikan Orde Baru,
demokrasi hanya bertahun selama enam tahun (1965-1971). Pasca-Pemilu 1971, kekuasaan
Orde Baru sudah terkonsolidasi dan kita kembali terjerambab pada jurang
otoritarian.
Tinggal
berbilang hari, SBY menjelang “Kuyakin sampai di sana”. Tentunya SBY ingin
dicatat sebagai presiden dengan warisan (legacy)
yang baik, terutama dalam aras demokrasi dan kedaulatan rakyat. Namun,
gonjang-ganjing kehendak untuk mengembalikan pilkada kepada pemilihan oleh
DPRD dan mengakhiri pemilihan oleh rakyat secara langsung dalam sembilan
tahun terakhir telah mengancam SBY pada akhir pemerintahan yang tidak “khusnul khotimah”, akhir yang tidak
berkebaikan.
Bila
Megawati mengkahiri sisa pemerintahan Gus Dur dengan mengusung pilkada
langsung, SBY terancam mengakhiri jabatannya dengan memasung pilkada langsung. Padahal, pilkada
langsung, atau yang sering disebut dengan akronim “pemilukada”, adalah
warisan SBY dan Indonesia yang patut dibanggakan dalam pembelajaran demokrasi
dunia. Negara-negara lain belajar ke Indonesia tentang bagaimana cara
menggerakkan mesin demokrasi dengan relatif aman dan tenteram tanpa
keterpecahan. Dan pemilukada adalah bagian penting dari proses pembelajaran
tersebut.
Kini,
dengan menyelip di antara kubu Merah Putih, Demokrat, partai yang dipimpin
langsung SBY, hendak mengantarkan SBY pada akhir kelam pembelajaran demokrasi
dan penghormatan pada kedaulatan rakyat. Pemilukada, sarana bagi aktualisasi
kedaulatan rakyat yang dilandaskan pada konstitusi, hendak digeser pada
kemauan wakil-wakil rakyat di daerah, yang secara faktual akan tunduk pada
kemauan segelintir elite di pusat kekuasaan Jakarta.
Kita
tidak saja akan kehilangan pilkada langsung dengan pergeseran tersebut. Kita
juga akan kehilangan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang mengatakan bahwa kepala
daerah harus dipilih secara demokratis. Ketika pilkada langsung bergeser pada
pilkada tidak langsung di DPRD, kita sesungguhnya tidak akan mampu menahan
jatuhnya pilkada dalam rezim oligarki elie Jakarta yang akan lebih berkuasa
untuk menentukan siapa yang akan memimpin rakyat di daerah ketimbang DPRD itu
sendiri. Ratusan jabatan kepala daerah di seantero Nusantara hanya akan
menjadi ‘bancakan’ para elite pusat. Jabatan kepala daerah tinggal ditentukan
para elite dengan cara memerintahkan anggota DPRD untuk memilih paket yang
yang telah ditentukan. Para anggota DPRD tidak bisa menghindar karena hantu
recall masih bergentayangan, yang setiap saat menakut-nakuti mereka. Jika
mereka melawan dari kungkungan partai, pemecatanlah yang akan menjadi
ganjarannya. Pada saat itulah kita akan kehilangan makna “demokratis” dari
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
Haruskah
SBY berdiam diri dari kondisi ini? Ini adalah pertanyaan besar yang
jawabannya akan kita nanti pada detik-detik terakhir pengesahan RUU
Pemilukada pada sekitar tanggal 24 atau 25 September nanti. Kalau mau dan
masih berjiwa negarawan, SBY bisa setiap saat menggagalkan ‘konspirasi’ untuk
menggeser pilkada dari rezim demokratis kepada rezim oligarkis.
Presiden
dalam sistem ketatanegaraan kita memiliki 50 persen kekuasaan membentuk
undang-undang karena “setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama.” Jika tidak mendapat persetujuan bersama,
RUU tersebut tidak boleh dimajukan lagi pada persidangan DPR masa itu (Pasal
20 Ayat [2] dan [3] UUD 1945).
Pasal
20 Ayat (2) dan Ayat (3) adalah aturan yang sesungguhnya menjadikan presiden
jauh lebih kuat dalam relasi dengan DPR, tetapi sering jadi melemah dalam
realitas politik sehari-hari. Kinilah saatnya Presiden SBY menggunakan 50
persen kewenangan legislasi tersebut untuk memblokade proposal perubahan
pilkada langsung menjadi tidak langsung yang diusung Koalisi Merah Putih
dengan cara menarik diri dari proses pembahasan. SBY tinggal memerintahkan
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi untuk tidak menghadiri lagi pembahasan RUU
Pilkada bila proporsal dipilih DPRD tersebut terus dipaksakan.
Dengan
penarikan diri pemerintah dari pembahasan RUU tersebut, usul kepala daerah
dipilih DPRD tersebut akan menemui jalan buntu. Basis pemilukada akan kembali
pada aturan-aturan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 (mulai Pasal 56 sampai dengan
Pasal 119) berikut perubahannya yang sesungguhnya memang sudah mulai
ketinggalan zaman dan compang-camping di sana-sini.
Apa
boleh buat, jauh lebih baik mempertahankan yang lama dengan kelemahan
ketimbang menempuh jalan baru tetapi membunuh demokrasi lokal yang sedang
tumbuh dalam sembilan tahun terakhir. Lagipula, KPU sebagai penyelenggara
pemilu dapat tetap menambal kekurangan tersebut dengan regulasi yang mereka
buat sebagaimana yang telah dikerjakan selama ini.
Di
hari-hari akhir pemerintahan, sikap SBY dinantikan banyak orang. Akankah sang
presiden dengan masa jabatan paripurna tersebut tetap menjadi perawat dan
penjaga demokrasi kita? Jawabannya kita akan pastikan hari-hari terakhir ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar