Keadilan
Substantif
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 30 Agustus 2014
Belakangan
ini, terutama saat ramai sengketa Pemilu Presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi
(MK), istilah keadilan substantif sebagai prinsip dan konsep hukum mencuat
sebagai bahan polemik dan debat-debat terbuka. Istilah ini muncul setiap
hari, baik di forum-forum persidangan MK maupun dalam ulasan
(komentar-komentar) di media massa.
“Hakim
harus berani membuat terobosan untuk menggali rasa keadilan. Hakim tidak
boleh terbelenggu oleh formalitas prosedural atau pasalpasal undang-undang,”
demikian seruan yang ditujukan kepada hakim. Menariknya, kedua kubu yang
bersengketa sama-sama meminta putusan yang sesuai dengan keadilan substantif.
Untuk itu, hakim dituntut berbicara dengan hati nuraninya guna menggali rasa
keadilan di tengahtengah masyarakat, bukan hanya berbicara dengan
rasionalitas pada bunyi pasal-pasal undang-undang.
Hakim
harus berani berijtihad di luar ketentuan UU agar keadilan bisa ditemukan
untuk bahan putusan. Keadilan substantif, dengan demikian, adalah keadilan
yang diciptakan oleh hakim dalam putusan-putusannya berdasar hasil galiannya
atas rasa keadilan di dalam masyarakat, tanpa dibelenggu bunyi pasal
undang-undang yang berlaku. Bentuk perbuatan yang sama bisa divonis secara
berbeda, tergantung pada hasil penggalian hakim atas rasa keadilan. Namanya
pengadil, bukan penghukum. Itulah makna judge makes law, hakim membuat hukum.
Keadilan substantif (substantive justice) kerap dilawankan dengan keadilan
prosedural (procedural justice),
yakni putusan hakim atau proses penegakan hukum yang sepenuhnya didasarkan
pada bunyi undang-undang.
Menurut
konsep keadilan prosedural, sesuatu dianggap adil apabila pelaksanaan dan
putusan hakim selalu mengikuti bunyi pasal-pasal di dalam undang-undang. Jika
hakim memutus di luar ketentuan undang-undang bisa dianggap tidak adil karena
melanggar kepastian-kepastian yang sudah ditentukan oleh UU. Yang dikatakan
adil di dalam keadilan prosedural itu adalah apabila putusan hakim diletakkan
pada aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini diperlukan agar ada kepastian
bagi orang-orang yang akan melakukan sesuatu sehingga bisa memprediksi apa
akibat yang akan timbul dari perbuatannya itu.
Sebenarnya,
kalau ditilik dari latar belakangnya, baik keadilan substantif maupun
keadilan prosedural sama-sama berangkat dari esensi kebaikan hukum yang sama.
Dulu, pada saat kekuasaan ada di satu tangan, monarki atau raja, kalau ada
warga masyarakat merasa dirugikan haknya maka mereka mengajukan perkara itu
kepada raja. Raja kemudian menunjuk hakim untuk mengadili perkara itu tanpa
ada aturan tertulis. Pokoknya hakim yang ditunjuk disuruh mencari sendiri
putusan yang baik dan adil, tanpa hukum tertulis yang bisa dijadikan pedoman.
Setiap
perkara yang muncul kemudian diserahkan kepada hakim-hakim oleh raja agar diadili
menurut kreasinya masing-masing, sesuai dengan rasa keadilan yang ditemukan
dalam penggaliannya. Putusan-putusan itu kemudian menjadi hukum yang mengikat
sebagai putusan hukum negara. Tetapi ketika kemudian muncul negara-negara
demokrasi modern, terutama di kawasan Eropa Kontinental, muncul pula ide
tentang perlunya hukum tertulis. Hakim tak bisa lagi dibiarkan membuat
putusan sendiri-sendiri, melainkan harus memutus sesuai dengan hukum
tertulis.
Untuk
itu di dalam negara harus ada lembaga legislatif (yang membuat hukum tertulis
atau undang-undang) sedangkan hakim dimasukkan dalam lembaga yudikatif (yang
menegakkan undang-undang di pengadilan jika ada sengketa). Hakim tak boleh
membuat hukum, tapi harus menjadi corong pembuat UU. Pembatasan kepada hakim
agar tidak membuat hukum (putusan) sendiri di luar undangundang dimaksudkan
agar ada kepastian sehingga masyarakat bisa mengukur dan memprediksi sendiri
akibat-akibat hukum dari setiap perbuatannya. Dalam mengadili sengketa, hakim
harus berpedoman pada undang-undang karena menurut paham (legisme) ini
keadilan terletak justru terletak pada kepastian hukumnya.
Selanjutnya
sejarah berputar lagi. Keadilan dalam bentuk putusan-putusan hakim di luar
undang-undang ternyata dibutuhkan karena di dalam kasus yang sama sering kali
terdapat latar belakang situasi yang berbeda. Keadilan dipandang selalu
dinamis, tak bisa dikunci dengan undang-undang yang statis. Meski bentuk dan
akibat suatu perbuatan sama, vonis hakim harus berbeda jika latar belakang
dan situasi yang melingkupinya berbeda. Bukan kepastian, tetapi keadilanlah
yang diperlukan dalam hukum. Kepastian hanya bisa diikuti sepanjang bisa
memastikan bahwa keadilan ditegakkan.
Sejak
ada MK konsep keadilan substantif tidak lagi hanya dijadikan polemik
literatur dalam wacana akademik tetapi sudah dituangkan di dalam vonisvonis.
Banyak vonis MK yang sengaja keluar dari ketentuan resmi UU guna menciptakan
keadilan yang ternyata disambut baik dalam dunia penegakan hukum di
Indonesia. Gagasan keadilan substantif bertemu secara esensial dengan gagasan
hukum progresif yang digencarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo melalui
Universitas Diponegoro.
Satjipto
mengatakan bahwa keadilan itu tidak hanya ada dalam pasalpasal UU, tetapi
harus lebih banyak dicari di dalam denyutdenyut kehidupan masyarakat. Tetapi
bagi MK, keadilan substantif tak boleh secara hitam-putih diartikan sebagai
keharusan membuat vonis yang selalu keluar dari UU. Keadilan substantif harus
dicari sendiri dengan menggali rasa keadilan dalam masyarakat, tetapi sekaligus
bisa menerapkan ketentuan UU selama ketentuan di dalam UU dirasa sudah adil.
Dengan demikian, memahami vonis MK harus dilihat dari latar belakang kasus
dan pertimbangannya untuk setiap kasus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar