Kalah-Menang
Terhormat
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 02 September 2014
Hidup
bukan sekadar perkara kalah-menang. Juga bukan hanya urusan takut-berani.
Kaum muda remaja mungkin boleh berpikir seperti itu.
Mereka
boleh menjadikan takut-berani dan kalahmenang itu sebagai parameter
kehidupannya, tetapi orang dewasa tidak. Kompetisi dalam hidup, pengembangan
karier, dan pertarungan politik ukurannya memang kalah-menang itu. Tapi bagi
mereka yang menjadikan hidupnya sebagai ”proyek” pematangan diri, kecanggihan
berpikir filosofis tentang keharusan untuk adil dan benar, jujur dan manusiawi,
kalah-menang dalam pertarungan apapun, tidak menjadi masalah.
Ada
yang sedih jika kalah. Ada yang gembira dan bangga jika menang. Itu layak dan
manusiawi. Tapi bagi mereka, kalah bukan akhir segalanya. Dan, pihak yang
menang bukan berarti telah mencapai puncak dari segenap puncak prestasi
hidup. Kalah-menang hanya konsekuensi wajar dari tiap jenis permainan. Di
sana tak ada konsep kalah bersama, atau menang bersama, kecuali gagasan aneh
yang pernah disampaikan Bardosono pada 1980-an dalam dunia sepak bola.
Tak
mengherankan bila Bardosono pun kemudian menjadi sasaran kritik pedas dalam
masyarakat. Orang bijak meninggalkan pesan bijak pula: bila takut terkena
badai, jangan berubah di tepi pantai. Ini petuah tentang kewajaran hidup. Di
pantai selalu berangin kencang. Dan, kemungkinan-kemungkinan tak menyenangkan
itu dan segenap kewajarannya sudah terkalkulasi. Angin segar kita terima
dengan rasa syukur. Kita jadi sehat. Tapi badai yang bisa meluluhlantakkan
segala yang di sana juga harus diterima sebagai kewajaran alam.
Lagi
pula, bukankah sudah kita perhitungkan? Tak mungkin, dan tak bakal terjadi
dalam sejarah bumi, yang hanya sekeping ini, jika pantai hanya menawarkan
kesegaran. Tidak mungkin. Badai selalu ada. Begitu pula kewajaran politik dalam
tiap kompetisi, pertandingan dan segala jenis ujian tentang kompetensi teknis
yang kita miliki. Di sana, sayang sekali, harus ada ukuran tentang siapa yang
lebih unggul, dan menang. Sebaliknya, selalu ada temuan tentang yang kurang
unggul, dan ditempatkan di dalam kotak yang ”kalah”.
Betapa
wajarnya perkara kalah-menang dalam hidup kita. Di sini lalu bisa lahir
sejenis petuah bijak, bagi yang tak siap kalah, dan tak bisa menerima
kekalahan, sebaiknya jangan pernah mencoba memasuki gelanggang pertandingan,
kompetisi dan berbagai jenis pertempuran untuk menguji tingkat kompetensi
kita. Ini solusi paling damai. Pihak yang menang pun bisa hancur jika dia tak
bisa menghayati arti kemenangannya.
Pemenang
yang kemudian sombong, dan merasa paling mumpuni, tak lama akan menjadi pihak
yang kalah, dan bisa kalah total dalam arti sebenarnya. Jika pemenang
bersikap ”menang tanpa ngasorake”,
jelas bisa menjadi pemenang yang baik. Jika sang pemenang bisa bersikap ”the winner takes nothing”, dia
pemenang yang baik. Syukur kemudian bersahabat dengan yang kalah. Dan pihak
yang kalah pun tak merasa jari kakinya diinjak oleh yang menang.
Dengan
begitu, wawasan keduanya serupa: kalah-menang itu perkara wajar. Pemenang
tidak lalu merasa dirinya unggul seperti dewa-dewa. Dan yang kalah pun bukan
sisa-sisa yang terbuang. Lebih-lebih bila yang menang itu menjadi pemenang
karena semata memang punya kelebihan dan jujur sejujur- jujurnya. Ini
pemenang sejati yang kita dambakan. Dan, ini pribadi yang kita cari. Menang
dengan baik, tanpa melukai nilai kejujuran, tidak mudah. Godaan dalam hidup
banyak sekali. Jarang orang bisa melewatkan godaan secara mulus. Kita tahu,
Puntadewa, raja Amarta, itu orang jujur sejujur-jujurnya.
Dia
ukuran dan sekaligus simbol kejujuran. Tak ada yang mampu melebihi
kejujurannya. Dia pun manusia bijak tanpa tandingan. Tapi dalam perang besar
yang disebut Bharatayudha, dia pernah tergoda bujukan untuk menomorsatukan
kemenangan biarpun itu bertentangan dengan nuraninya sendiri. Ini akibat
bujukan Kresna yang bertubi-tubi menggodanya. Kresna meminta dia untuk
mengatakan Aswatama mati, biarpun sebenarnya Aswatama belum mati.
Dia
mengatakannya dengan pelan, dan menyebut nama gajah yang mati dalam perang,
yang namanya Estitama. Dia menyebutkan nama itu di bawah pengaruh Kresna
untuk membuat Durna bingung. Dan benar, akibat ucapannya itu Durna memang
menjadi bingung. Kereta orang jujur ini berada sejengkal di atas tanah. Roda
keretanya tak menyentuh tanah seperti roda kereta raja-raja biasa. Lalu apa
akibatnya bagi orang yang menjadi simbol kejujuran itu? Parah sekali. Dan
dahsyat.
Biasanya,
tiap naik kereta kerajaannya, roda keretanya sejengkal mengambang di atas
tanah. Pendeknya, roda-roda keretanya tak menyentuh tanah. Sekarang, sesudah
dia dianggap menodai kejujuran, roda-roda keretanya kini menjadi kereta
biasa, yang menyentuh tanah dan kotor. Orang jujur, yang menjadi ikon
kejujuran ini pernah berbuat tidak jujur. Dia dipermalukan para dewa. Sekali
lagi, bila dulu roda-roda kereta sejengkal mengambang di atas tanah, kini
tidak lagi. Kini dia dianggap sama dengan orang biasa. Dia malu. Bisakah kita
menjadi lain, dan tak sama dengan Puntadewa? Mungkin berat urusan kita.
Puntadewa terlalu mulia.
Tapi
sekadar menjadi pihak yang kalah tanpa merasa terbuang, kita bisa. Menjadi
pemenang yang bersikap ”menang tanpa
ngasorake ” atau ”the winner takes
nothing” kayaknya tak begitu sulit. Dengan begitu menang-kalah tetap
terhormat. Ini seharusnya menjadi warna kehidupan kita. Juga kehidupan dalam
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar