Indonesia
Wow…
Sukardi Rinakit ;
Peneliti
Senior Soegeng Sarjadi Syndicate;
Pendiri
Kaliaren Foundation
|
KOMPAS,
16 September 2014
SENIN
(8/9), saya menghadiri peluncuran lagu ”Indonesia
Wow” yang diciptakan Slank di RRI. Lagu itu dirancang untuk membangkitkan
optimisme publik bahwa Indonesia sejatinya adalah world of wonderful (wow).
Inisiator gerakan ini adalah Hermawan Kartajaya. Merespons gerakan itu,
presiden terpilih Joko Widodo mengatakan, republik ini mempunyai segalanya.
Semua serba indah. Apabila lagu ”Indonesia
Wow” diputar di televisi-televisi di belahan dunia lain, Jokowi meyakini
jutaan wisatawan akan mengunjungi Indonesia.
Saya
mengamini hal itu. Republik ini memang negeri pelangi. Sayang sekali, miskin
bangunan narasi. Misalnya, sejauh ini tidak ada narasi suci mengenai Candi
Borobudur yang ditebar ke belahan Asia. Padahal, wilayah ini didominasi
pemeluk agama Buddha. Logisnya, Borobudur bisa menjadi pusat bagi pusaran
religiositas mereka. Inilah salah satu tugas pemerintah: membangun narasi agar terwujud identitas ”Indonesia Wow”.
Sehubungan
dengan hal tersebut, Indonesia yang cantik juga harus tegak di atas fondasi
budaya demokrasi. Upaya beberapa pihak, termasuk pemerintah dan partai
politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, yang ingin menarik pilkada
kembali di saku para anggota DPRD adalah kemunduran politik. Dalam konteks
ini, argumen yang mengatakan bahwa pemilu di Tanah Air terlalu liberal sulit
dipahami.
Kebebasan
memilih dan dipilih merupakan hak setiap warga negara. Apakah itu yang
dimaksud pelaksanaan pemilu yang terlalu liberal? Jika dalam kampanye ada
kandidat yang mempergunakan seluruh sumber daya politik yang dimiliki dan
berdebat keras dengan kandidat lain, apakah itu yang disebut praktik pemilu
liberal? Dus, terminologi itu membingungkan.
Oleh
karena itu, apabila musyawarah mufakat dipakai sebagai patokan untuk melihat
liberal-tidaknya keseluruhan proses politik di negeri ini, perundang-undangan
yang mengatur bahwa partai pemenang pemilu otomatis menjadi ketua parlemen,
baik di tingkat pusat (DPR) maupun daerah (DPRD), mementahkan tuduhan
liberalitas tersebut. Fenomena itu mewujud karena berlakunya musyawarah
mufakat. Itulah salah satu konsensus nasional kita.
Anehnya,
justru mereka yang mengusung argumen pemilu liberallah yang menginginkan
pimpinan DPR dipilih. Bahkan, mereka sudah mengundangkan UU MD3 (MPR, DPR,
DPRD, DPD) yang direvisi. Ini jelas kontradiktif dan melawan prinsip musyawarah
mufakat karena bersandar pada voting. Jadi kental nuansa liberalnya. Dengan
demikian, secara hipotesis dapat dikatakan siapa pun yang mengatakan pemilu
saat ini terlalu liberal adalah rancu cara berpikirnya.
Sama
dengan ketentuan bahwa partai pemenang pemilu menjadi ketua DPR, pemilu
langsung juga merupakan produk konsensus nasional. Dengan demikian, upaya
menarik pilkada langsung menjadi sekadar dipilih DPRD sepenuhnya melawan
gelombang perubahan sikap masyarakat yang sedang membongkar mitos-mitos lama.
Salah satunya dengan memilih pemimpin secara langsung. Adalah benar
pemerintahan daerah bisa juga efektif apabila gubernur dipilih langsung oleh
rakyat dan bupati/wali kota dipilih oleh DPRD dari tiga nama yang diusulkan
gubernur.
Langkah
itu untuk mengurangi kemungkinan ketidaktaatan bupati/wali kota kepada
gubernur karena merasa sama-sama dipilih oleh rakyat, beda partai, tingkat
pendidikan, gelar keningratan, kekayaan, dan lain-lain. Dalam pendekatan
budaya politik, perbedaan status sosial-ekonomi tersebut dapat menjadi sumber
ketidaktaatan bupati/wali kota. Kalau gubernurnya dipilih langsung,
legitimasi bupati/wali kota jadi lemah.
Namun,
dibandingkan dengan skenario tersebut, pilkada langsung tetap lebih mulia.
Alasannya, seperti sering didiskusikan, pilkada langsung secara alamiah
mendekatkan pembuatan kebijakan kepada rakyat. Ada dialog antara para pembuat
keputusan dan rakyat. Pemimpin hadir di tengah rakyat.
Argumen
itu mendapatkan stempel pengesahan ketika lahir pemimpin lokal yang bekerja dengan
hati dan mempunyai kinerja luar biasa, seperti Tri Rismaharini (Surabaya),
Nurdin Abdullah (Bantaeng), Ridwan Kamil (Bandung), Azwar Anas (Banyuwangi),
dan Dedi Mulyadi (Purwakarta), mungkin menyusul Bima Arya (Bogor), dan
lain-lain.
Melihat
perkembangan yang optimistis tersebut, manuver politik untuk menarik kembali
pemilihan kepala daerah di lorong DPRD menunjukkan mereka tidak saja
menentang arus besar rakyat yang sedang berproses membangun budaya politik
baru dengan membongkar mitos-mitos lama, tetapi juga memandang kebenaran
sebatas sebagai alasan dan bukan fakta (Gottfried
Leibniz, 1646-1716). Mereka menutup mata terhadap lahirnya pemimpin muda
yang bekerja untuk rakyat dan terkungkung oleh kalkulasi kekuatan koalisi.
Dengan menguasai 62 persen kursi parlemen, mereka merasa dapat mendudukkan
banyak kepala daerah dan menguasai ranah politik nasional.
Tampaknya,
ketidakikhlasan menerima kemenangan Jokowi yang mereka anggap wong ndeso
telah menjelma menjadi syahwat politik yang bertujuan mengganggu dan
mendelegitimasi pemerintahan Jokowi-JK nantinya. Mereka lupa budaya politik
kita sedang berubah dari yang serba pusat ke periferal. Di sini, bukan
penampilan fisik dan keglamoran lagi yang penting, melainkan pelayanan,
gotong royong, dan kemandirian.
Itulah
pijakan mentalitas-budaya (revolusi mental) menuju Indonesia Wow! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar