Hikayat
Polisi
Riki Dhamparan Putra ;
Menulis
puisi, artikel budaya dan sastra; Beberapa tulisan pernah tersiar di beberapa
surat kabar; Kini tinggal di Jakarta
|
KOMPAS,
14 September 2014
POLISI
jadi sasaran kritik masyarakat sudah terjadi
sejak awal kemunculannya pada zaman Hindia Belanda. Karena
kritik-kritik itu pula, pemerintah kolonial beberapa kali melakukan reformasi
lembaga kepolisian. Namun, upaya yang sungguh-sungguh untuk menciptakan
polisi yang profesional tampaknya tidak dilakukan oleh pemerintah. Berbeda
dengan dalam dunia sastra. Itulah yang bisa kita lihat dari roman Hikajat
Kadiroen (1920), yang dikarang oleh salah seorang organisator dan pemikir
modern Indonesia, Semaoen.
Seorang
Mantri Polisi telah berbeda pikiran dengan atasannya, Tuan Asisten Wedono
dari onderdistrik Semongan, dalam kasus kecurian ayam yang menimpa Tuan
Zoetsuiker, administratur pabrik gula Semongan. Kejadiannya berlangsung pada
6 Februari 19.... Demikian penanggalannya, seperti tertulis pada bab satu
roman Hikajat Kadiroen. Pada saat Tuan Administratur itu hendak meninggalkan
kediaman Asisten Wedono, datang pula Soeket, warga miskin dari Desa Wonokoyo
yang kehilangan kerbau pada hari yang sama.
Karena
kisah ini terjadi akhir abad ke-19 (CE), tentu Soeket tak ditanggapi oleh
Asisten Wedono yang sedang menumpahkan perhatiannya pada musibah Tuan
Administratur. Anak buahnya, Mantri Polisi yang masih muda, mulai memprotes
kejanggalan itu. Apabila Asisten Wedono memeriksa kasus tersebut
berdasarkan keterangan Nyonya
Administratur, Mantri Polisi justru menduga ayam itu kemungkinan dimakan garangan (musang). Mantri Polisi muda
tak yakin ayam itu dicuri karena hanya seekor yang hilang. Lagi pula, mana
ada pencuri berani masuk halaman belakang rumah Tuan Administratur yang punya
penjaga dan banyak pelayan pula di situ.
Argumen
Mantri Polisi tampaknya kurang menyenangkan Nyonya Administratur. Khawatir
Nyonya Administratur lebih kesal lagi, Asisten Wedono buru-buru minta maaf
atas tanggapan anak buahnya. Ketika mereka kembali ke kediaman Asisten
Wedono, di situ masih menunggu Soeket yang hendak mengadukan perihal
kerbaunya yang hilang dicuri orang. Bahkan Soeket mendapat suara malam-malam
agar ia memberikan tebusan seharga f 2,25 untuk menebus kerbaunya. Namun,
pengaduannya itu tidak ditanggapi Asisten Wedono. Mantri Polisi yang iba
hatinya kepada Soeket lalu memberikan uang kepada Soeket dan tanpa diketahui
atasannya ia bekerja mengintai pencuri kerbau Soeket.
Akan
halnya Asisten Wedono, demi menjaga reputasinya di depan Tuan Administratur,
lalu sengaja menyewa dua mata-mata seharga f 2,25 agar mau membuat keterangan
palsu. Mereka kemudian menangkap seseorang yang bernama Soekoer dan dipaksa
untuk mengaku bahwa ia telah mencuri ayam peliharaan Nyonya Administratur.
Cerita
ini, secara teknis dan gaya bahasa, tampaknya tidak menggunakan standar
Volkslectuur. Mungkin karena dibuat
dengan tujuan propaganda untuk menggambarkan keburukan aparatur kolonial di Hindia
Belanda. Bahasa Melayu yang digunakan lebih dekat pada bahasa Melayu pasaran. Gaya bahasa, alur,
tokoh, dan cara menjalin peristiwa demi peristiwa cenderung membosankan.
Beberapa hal tampaknya juga terlalu diada-adakan. Gambaran kenyataan yang
menonjol pada seluruh cerita adalah kenyataan yang bersifat propagandis dan
ideologis sehingga kadang-kadang abai pada realitas yang sebenarnya berlaku
pada masa akhir-akhir kekuasaan kolonial Belanda awal abad ke-20 itu. Seperti dalam cerita itu pengarang beropini
soal polisi desa yang mudah menyiksa dan membunuh warga dengan mencari-cari
kesalahan. Padahal kalau berdasarkan hasil kajian-kajian akademis perihal
situasi akhir abad ke-19 (CE) di Hindia Belanda, keadaan itu seperti tidak
ada. Bahkan dalam undang-undang perpolisian Pemerintah Hindia Belanda,
desapolitie (gardu ronda, polisi desa) sama sekali tidak punya wewenang
memenjarakan, kecuali delapan kali pukulan rotan.
Peran
Asisten Wedono dan mantri polisinya hanyalah sebagai pembantu inspektur
polisi. Peran seperti ini antara lain diungkapkan dalam studi Marieke
Bloombergen mengenai polisi Hindia Belanda. Memang ada indikasi represi pada
masa itu. Namun seperti dikatakan Benedict Richard O’Gorman Anderson dalam
Kosmopolitanisme Kolonial, itu tidak berakhir dengan eksekusi dan jarang
sekali terjadi penyiksaan. Justru pada akhir abad ke-19 ini, Pemerintah
Hindia Belanda berupaya merombak struktur organisasi kepolisiannya agar
menjadi lebih modern, dengan harapan itu akan meningkatkan kepercayaan rakyat
pada pemerintah kolonial.
Namun,
lemahnya unsur gaya bahasa dalam Hikajat Kadiroen tidak mengurangi segi
visioner yang dibangun lewat tokoh utamanya, yakni Kadiroen, si mantri
polisi. Figur ini, sebagai tampak dari sejak awal cerita, pada hakikatnya
merupakan eksperimen untuk menciptakan polisi yang modern di Tanah Hindia
Belanda. Suatu hal yang dalam realitas waktu itu gagal dilakukan pemerintah
kolonial. Patut dipertimbangkan, setting cerita Hikajat Kadiroen adalah
masa-masa reformasi kepolisian sedang diupayakan Pemerintah Hindia-Belanda
sejak 1897. Walaupun secara formal, menurut Marieke Bloombergen, modernisasi
struktur kelembagaan kepolisian itu baru dilaksanakan pada tahun 1910.
Istimewa
Keistimewaan
Hikajat Kadiroen adalah mencoba membangun harapan baru yang menggambarkan
kelayakan dan kemampuan seorang bumiputra untuk menjadi figur polisi yang
sesuai reformasi kepolisian masa itu. Figur yang dimaksud adalah yang bisa
bekerja dengan standar-standar kepolisian modern, yang melakukan penyelidikan
secara benar, tidak ambil muka, tidak korup, seperti yang dilakukan Kadiroen
pada bab satu roman karangan pentolan kalangan Marxis-Leninis Indonesia ini.
Itu dapat dipandang sebagai sebuah ”proposal” untuk polisi yang modern, yang
berasal dari kalangan bumiputra. Pada waktu itu tentulah, Kadiroen merupakan
antitesa bagi sistem perekrutan Belanda yang hanya memercayakan jabatan
inspektur kepada polisi berkebangsaan asli Belanda.
Adanya
tendensi rasial dalam kebijakan pemerintah kolonial itu ditantang oleh
Hikajat Kadiroen dengan modernisme itu sendiri, yakni sikap rasional dan
profesional. Sebaliknya, petugas hasil didikan Pemerintah Belanda justru
tampak kebodohan-kebodohan dan keburukannya. Seperti tergambar dalam sosok
asisten wedana Semongan. Dengan cara demikian, roman ini mengidentifikasi
bagian-bagian yang rusak dari tubuh kemasyarakatan itu akibat dari proses
kolonialisme. Dan Kadiroen sejak awal sudah dipersiapkan sebagai
penggantinya.
Pengarang
sendiri tampaknya tidak menyembunyikan maksud itu. Sebagaimana sejak
permulaan cerita, Kadiroen telah dipromosikan sebagai sosok yang langka. ”...amat jarang terjadi di tanah Jawa.
Dari sekitar 10.000 orang, hanya ada satu...” Sementara pada alinea
sebelumnya telah dikatakan bahwa seorang asisten wedana membawahkan
onderdistrik yang didiami oleh 10.000 orang. Jadi prinsipnya, pada tiap
onderdistrik, hanya ada satu kemungkinan figur ideal seperti Kadiroen. Dengan
kata lain pula, pengarang tampaknya melihat masa akhir abad ke-19 sebagai
masa tanpa SDM di Hindia Belanda. Hal yang menurut hemat kita mengingkari
kenyataan, karena faktanya, SDM terbaik bangsa Indonesia muncul dari dekade
akhir abad ke-19 (CE) itu.
Mungkin
pengingkaran semacam ini memang wajar terjadi sebagai risiko tak disadari
dalam karya-karya bernuansa propaganda ideologis. Sebagaimana Kadiroen
kemudian terkesan hanya menjadi boneka untuk mengantar hikayat ini ke hikayat
yang menjadi tujuan utamanya. Yakni hikayat PK (Partai Komunis) Hindia
Belanda dengan Semaoen adalah tokoh utama dan pendirinya. Itu terlihat pada
bagian-bagian akhir yang isinya ternyata lebih banyak memuat pidato
tokoh-tokoh PK dan propaganda PK sebagai satu-satunya sarana perjuangan yang
paling merakyat.
Selanjutnya,
dalam bab ”Sukar Memilih”, Kadiroen yang telah makin naik posisi mulai
diberi azab lewat keragu-raguannya antara memilih pada pergerakan PK atau
mempertahankan jabatan dan kepercayaan pemerintah berkuasa. Jadi bagian ini
sebenarnya membatalkan karakter tegas Kadiroen yang telah diciptakan
pengarang sendiri pada bagian awal cerita. Mengecewakan memang bagi pembaca,
terutama karena ada inkonsistensi antara karakter awal dan karakter yang
muncul di bagian belakang cerita itu. Dan itu terjadi karena munculnya sebuah
”perwakilan rakjat” bernama PK.
Yang antara depan dan belakangnya ternyata beda. Untunglah kisah ini hanya
hikayat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar