Hati
Murni Menatap Sejarah
L Murbandono Hs ;
Peminat
Peradaban, Tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 15 September 2014
“Pilpres 2014 memang
penting mengingat siapa pun yang akan terpilih akan menjadi orang paling
berkuasa”
KITA
bersyukur Pilpres 2014 dengan seluruh ini itunya telah berlalu dan presiden
dan wakil presiden telah terpilih. Seluruh ini itu tersebut ada yang positif
dan ada yang negatif. Lepas dari yang bisa disebut positif, yang negatif juga
banyak sekali. Tapi bila hati yang murni (SM, 20/8/14) dalam diri kita
sungguh hadir, segala yang negatif itu bisa kita ramalkan terjadi. Pasalnya,
pilpres yang baru terselenggara itu memuat banyak perkara yang intinya
berwujud empat penyakit.
Pertama;
di luar dua capres dan dua cawapres yang tersedia secara prosedural dan
legal, di negara kita cukup banyak tersedia orang yang juga pantas menjadi
capres dan cawapres kendati gagal muncul. Pasalnya dalam banyak hal, politik
praktis yang memproduksi aturan main pilpres masih dimasak dengan bumbu-bumbu
Orbaisme.
Kedua;
penyakit pertama merupakan dampak kegagalan reformasi dan itu jadi dasar
seluruh produk politik saat ini. Hasilnya adalah politik yang hanya mampu menggarap
soal tidak mendasar. Ini niscaya. Tak
sedikit partai yang lahir saat ini, secara langsung atau tidak, adalah
perkakas Orba untuk melemahkan reformis. Logis jika banyak Orbais terpilih
menjadi wakil-wakil rakyat di semua lembaga legislatif.
Ketiga;
penyakit kedua merupakan kekalahan kubu Reformis di depan kubu Orbais.
Penyebabnya terang-benderang. Mendirikan partai pada zaman koruptor berjaya
ini butuh banyak dana. Kubu Orbais punya duit berlimpah (nyaris semua
petinggi Orba adalah koruptor kelas paus). Adapun kubu Reformis nyaris tanpa
modal finansial, selain idealisme.
Keempat;
tiga penyakit itu memang malapetaka namun tak bisa lain kecuali harus
disyukuri, sebab tak ada alternatif lain. Biang kerok itu semua adalah karena
penjajahan asing dibiarkan merajalela, yang secara dangkal disebut
globalisasi. Nyaris semua petinggi dunia, apalagi para petinggi kita yang
suka ikut-ikutan tiap saat menyanyikan 1.001 jenis lagu ekonomi, seolah-olah
segala perkara di sektor kehidupan bisa beres hanya dengan ekonomi.
Aneka
macam lagu ekonomi langgam pop picisan itu amat gaduh hiruk-pikuk manakala
banyak di antara kita hanya mampu bersikap ’’cuek-bebek’’. Maka terabaikanlah
sejarah asal-usul RI menjadi negara amat tergantung asing itu. Tentangnya,
Pramoedya Ananta Toer berpendapat sinis.’’ Negara kita yang kaya raya ini
telah menjadi negara pengemis.’’
Tragedi
ketergantungan di negara kita diawali pada awal Nopember 1967, segera setelah
Soeharto berhasil menjadi presiden definitif Orba seusai menyingkirkan Bung
Karno dan semua lawan politiknya, dengan membunuh rakyat antara 0,5 juta dan
3 juta jiwa lebih (tergantung versinya). Itu terjadi di Jenewa, Swiss, dalam
peristiwa The Indonesian Investment Conference yang disponsori The Time-Life
Corporation.
Menyilakan
’’Investor’’
Peristiwa
itu berlangsung hanya tiga hari namun berhasil merumuskan adat-istiadat dan
tatacara bagaimana para kapitalis bisa menguasai sumber kekayaan alam di RI
dari Aceh sampai Papua dengan persetujuan penguasa RI utusan Soeharto. Mereka
saling bersetuju lalu saling membubuhkan tanda tangan. Modal para kapitalis
disebut investasi maka mereka dianggap
investor. Modal para penguasa RI
berupa paduan suara menyanyikan tiga lagu:
abundance of cheap labour, a
treasure house of resources, dan a captive market.
Dalam
persetujuan itu, utusan Soeharto terdiri atas menlu dan menteri ekonomi yang
didampingi serombongan ekonom RI yang oleh Rockefeller disebut Indonesia’s
top economic team. Hadir sebagai lawan
berunding adalah para saudagar besar dunia seperti David Rockefeller, semua
raksasa kapitalis Barat. Termasuk berpuluh-puluh eksekutif industri besar
urusan tembakau, baja, otomotif, kimia, busana, nikel, bauksit, emas, minyak,
gas alam, dan deret panjang urusan lain yang melibatkan perbankan, keuangan,
pertanian, kehutanan, dan kelautan.
Singkat
cerita, persetujuan tersebut mempersilakan para ìinvestorî menguasai
hutan-hutan, laut, sungai, lembah, bukit, gunung, dan kawasan apa saja tempat sumber-sumber alam
Indonesia untuk mereka kaveling-kaveling dan mereka pilih sendiri. (info
lebih rinci tentangnya, silakan simak film dokumenter 2001 oleh John
Pilger: https://archive.org/details/JohnPilger-TheNewRulersOf TheWorld)
Terkait
tragedi itu maka memilih presiden yang tepat teramat penting. Pedoman untuk
itu mudah, yaitu yang paling sedikit aroma Orba-nya dan kebermasalahannya di
depan apa pun. Salah pilih berarti membiarkan tata negara sebagai business as
usual dalam arti membiarkan kehidupan berbangsa dan bernegara berlandaskan
malapetaka tanpa koreksi dan penyakit belum diobati.
Jadi,
Pilpres 2014 memang penting sebab siapa pun yang terpilih akan jadi orang
paling berkuasa. Padahal kekuasaan rentan disalahgunakan. Sejarah di negara
kita sejak 5 Juli 1959 sampai hari ini adalah sejarah penuh penyalahgunaan
kekuasaan yang melibatkan kekuasaan pusat dan semua kekuasaan ikutannya di
daerah dan desa. Kekuasaan semacam itu jangan sampai terulang lagi. Intinya: kita semua harus melek sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar