Rabu, 24 September 2014

Hadirkan Fakta yang Benar

Hadirkan Fakta yang Benar

Anas Urbaningrum ;   Mantan Ketua Umum Partai Demokrat
KORAN SINDO, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Hari ini adalah saat bersejarah bagi saya karena akan membacakan nota pembelaan (pleidoi) pribadi selaku Terdakwa di persidangan ini. Karena itulah saya mengucapkan terima kasih kepada Ketua Majelis Hakim yang berkenan memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan Nota Pembelaan pada persidangan yang terhormat ini. Terima kasih juga saya sampaikan atas jalannya persidangan yang baik, sungguh-sungguh, terbuka, bebas dan berhasil membuka fakta-fakta penting terkait dengan kasus yang didakwakan kepada saya. Tidak keliru kalau saya menyebut persidangan ini sebagai persidangan yang berkualitas.

Persidangan yang berkualitas tidak akan hadir tanpa kepemimpinan sidang yang berkualitas pula. Kualitas persidangan sangat ditentukan oleh kesungguhan dan kecakapan Ketua Majelis dan dibantu oleh para Anggota Majelis di dalam memandu dan memimpin jalannya persidangan. Kami semua bisa menilai dan merasakannya, demikian pula publik yang mengikuti persidangan ini, baik yang hadir secara langsung maupun yang mengikuti lewat pemberitaan media massa.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang telah menjalankan tugasnya secara amat sering. Sangat mungkin kasus yang didakwakan dan proses persidangan ini bagi JPU adalah sesuatu yang khas dan tidak akan ditemukan lagi pada persidangan- persidangan yang lain. Saya juga menghormati kerja keras JPU yang menyebut berangkat dari kepentingan obyektif, meskipun dijalankan dengan metode yang subyektif dan pada akhirnya tidak menghormati objektivitas yang terbentang jelas di dalam persidangan ini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Penasihat Hukum yang sabar, telaten dan gigih mendampingi saya, baik dalam proses penyidikan maupun persidangan. Saya menghargai toleransi dan pengertian para Penasihat Hukum kepada saya yang berusaha belajar maksimal di dalam ikhtiar agar terbentang terang fakta-fakta yang sesungguhnya terkait dengan kasus yang didakwakan kepada saya. Terima kasih tidak lupa saya sampaikan kepada para sahabat, baik yang hadir maupun tidak hadir di persidangan, yang tulus memberikan doa dan simpati serta merindukan berlakunya keadilan.

Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya tentang sahabatnya yang sangat banyak, beliau menjawab akan menghitung jumlah sahabatnya pada saat terkena musibah. Terima kasih juga layak disampaikan kepada rekan-rekan wartawan yang selalu mengikuti persidangan ini, baik yang berani memberitakan secara obyektif dan berimbang maupun yang sudah dibekali dengan framing negatif. Tentu saja objektivitas sangat dimuliakan dalam kehidupan pers yang sehat dan bertanggung jawab.

Pada bagian Pendahuluan Surat Tuntutan JPU memberikan beberapa catatan, mulai tentang Metode Klarifikasi, Membangun Persepsi, Kualitas keterangan saksi M. Nazaruddin, Kepentingan Politik, Keterikatan Psikologis Saksi dan Terdakwa dan Bukan Mengadili Kongres. Pertama, menghadirkan fakta yang benar. JPU mempersoalkan cara Terdakwa dan Penasihat Hukum yang menanyakan kepada saksi atas keterangan saksi di dalam BAP yang belum dihadirkan di persidangan.

Padahal hal tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan klarifikasi dan penjelasan terkait dengan tuduhan, fitnah dan cerita bohong yang menyangkut Terdakwa dan para saksi yang dimintakan klarifikasi dan tanggapan. Kita semua paham bahwa keterangan yang bernilai secara hukum adalah keterangan yang diberikan di bawah sumpah di dalam persidangan. Karena itulah klarifikasi atas fitnah dan kebohongan didalam BAP adalah penting di dalam persidangan ini. Jika JPU menilai metode klarifikasi sebagai sebuah penyesatan fakta, hal itu adalah penilaian yang keliru. Justru sebaliknya, kalau jawaban-jawaban saksi atas pertanyaan JPU yang sudah terarah berdasarkan BAP dan dipilih khusus untuk menjustifikasi dakwaan tidak di dalami lebih lanjut, maka malah berpotensi penyesatan fakta.

Kedua, korban opini. JPU melakukan penilaian subyektif bahwa Terdakwa dan Penasihat Hukum terjebak dalam upaya membangun persepsi, di mana penilaian tersebut dikaitkan dengan karakteristik Terdakwa sebagai seorang politisi. Adalah rangkaian fakta yang tidak terbantahkan bahwa sejak tahu 2011 Terdakwa menjadi korban opini yang tujuannya adalah membangun persepsi tentang kejahatan korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa pada proyek Hambalang.

Persepsi ini dibangun secara sistematis, dalam waktu yang panjang, dilakukan secara bertalu-talu dan bergelombang. Bahwa seolah-olah benar Terdakwa menerima gratifikasi mobil Harrier dari Adhi Karya atas proyek Hambalang. Inilah yang kemudian menjadi dasar penetapan sebagai tersangka, kemudian dikembangkan ke segala arah pada saat penyidikan dan kemudian akhirnya dibawa ke persidangan. Persepsi tentang persiapan untuk menjadi calon Presiden juga dibangun JPU melalui beberapa SMS yang ada di dalam HP istri saya, Athiyyah Laila, dari beberapa orang yang mengirimkan pesan SMS.

Padahal kalau sedikit cermat dan jernih dalam membaca pesan SMS tersebut adalah jelas isinya doa dan harapan dari para pengirim pesan. Bukan doa, harapan dan permintaan dukungan dari istri saya, apalagi dari Terdakwa. Siapa pun dengan mudah bisa memahami bahwa penerima pesan SMS tidak bisa menolak pesan yang masuk, termasuk materi pesannya. Ketiga, kualitas keterangan saksi Pinokio. Adalah kewenangan KPK untuk memberikan gelar justice collabolator kepada M Nazaruddin, meskipun LPSK pernah menolak permohonan yang sama.

Adalah hak JPU untuk percaya kepada kesaksian M Nazaruddin atau percaya terpaksa karena menjadi satu-satunya cara untuk berusaha membuktikan dakwaan kepada Terdakwa. Adalah hak Nazaruddin untuk membuat keterangan-keterangan yang berisi fitnah, fiksi dan serangan-serangan tidak berdasar. Adalah hak M Nazaruddin untuk memberikan keterangan di BAP dan di persidangan yang tidak mengandung nilai kebenaran. Juga adalah hak M Nazaruddin untuk membuat skenario dan mengarahkan, memaksa dan bahkan mengancam staf-stafnya untuk memberikan keterangan bohong tentang Terdakwa.

Adalah hak M Nazaruddin untuk membuat skenario dan menjalankan persekongkolan jahat untuk membuat Terdakwa dipaksa bersalah secara hukum. Tidak ada yang perlu dipersoalkan. Yang menjadi masalah adalah ketika keterangan dan kesaksian M Nazaruddin otomatis dianggap sebagai kebenaran dan dianggap berkualitas karena pernah bersaksi untuk perkara Angelina Sondakh, Mindo Rosalina Manulang, Wafid Muharam, Teuku Bagus M. Noor, dan Andi Mallarangeng.

Memandang seluruh kesaksian M Nazaruddin sebagai kebenaran adalah tindakan gebyah-uyah atau penyamarataan yang tidak bisa dibenarkan. Dalam perkara yang didakwakan kepada saya (Terdakwa) jelas sejak awal M. Nazaruddin berniat dan secara sadar menyusun serta menjalankan skenario agar saya masuk dalam pusaran kasus hukum. Apakah keterangan saksi yang sejak awal punya rencana untuk mencelakakan secara hukum dan kemudian rela untuk menjadi Pinokio demi memenuhi kemarahan dan dendamnya, atau demi melayani kepentingan tertentu, dapat dijadikan setara dengan “sabda” Nabi atau keterangan saksi-saksi yang jujur dan tanpa agenda tersembunyi?

Akal sehat kita dan nalar keadilan hukum mestinya menolak. Setidaknya bisa bersikap kritis dan sangat selektif dengan keterangan- keterangannya. Keempat, mengapa JPU mempersoalkan saksi memberatkan? Selama persidangan telah dihadirkan 104 orang saksi, yang terdiri dari saksi memberatkan, saksi meringankan, saksi ahli yang dihadirkan JPU dan saksi ahli yang dihadirkan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukum. Secara rinci adalah sebagai berikut: 91 saksi memberatkan yang dihadirkan JPU, 3 saksi ahli yang dihadirkan JPU, 6 saksi meringankan yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum, serta 4 saksi ahli yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum.

Dengan komposisi saksi yang dihadirkan tersebut, dan itu hanya sebagian dari total saksi yang diperiksa pada saat penyidikan, maka menjadi aneh kalau JPU mengeluh dan mempersoalkan saksi-saksi dan keterangannya di depan persidangan. Karena itulah menjadi terkesan mengada-ada kalau JPU mengatakan bahwa tidak sedikit saksi yang memiliki keterikatan psikologis dengan Terdakwa sehingga validitasnya diragukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar