Boikot
dan Kemenangan Gaza
Siti Susanto ; Mahasiswa S-3 Hubungan
Internasional, Universitas Münster, Jerman
|
REPUBLIKA,
01 September 2014
Kesepakatan
genjatan senjata antara Pemerintah Israel dan gerakan perlawanan Palestina,
Hamas (26/8), akhirnya berhasil menghentikan eskalasi konflik di Gaza yang
berlangsung sejak Juli 2014 dan memakan korban tewas lebih 2.000 jiwa di
kalangan sipil Palestina. Selain berpeluang mengakhiri konflik dalam jangka
panjang, gencatan senjata tersebut menandai "diakuinya" beberapa
tuntutan politik rakyat Palestina, di antaranya pembukaan perbatasan dengan
Mesir demi masuknya bantuan kemanusian internasional ke Gaza dan
dilebarkannya akses wilayah laut bagi nelayan Palestina.
Terlepas
dari aspek perlawanan militer Palestina, konflik Israel-Palestina kali ini
mencatat perkembangan baru yang menyebabkan Israel bersedia melakukan
gencatan senjata. Menguatnya peranan norma masyarakat sipil global, yang
tergabung dalam kampanye Boikot, Divestasi, dan Sanksi (Boycott, Divestment,
and Sanction/BDS) atas produk barang/jasa pendukung Israel menjadi faktor.
Sejauh mana gerakan ini berhasil menekan pemerintah Netanyahu menghentikan
operasi militernya di Gaza?
Berdasar
perspektif konstruktivisme dalam studi hubungan internasional (HI), pengaruh
kekuatan norma internasional adalah relatif sama atau bahkan bisa melampaui
kekuatan militer dan ekonomi (Reus-Smith
2009). Berpegang pada aspek kepatutan/kepantasan dan kesadaran kognitif,
norma internasional perlahan menggeser dominasi perspektif liberal yang lebih
mengacu pada aspek kepatuhan/konsekuensi dan reward/punishment yang selama ini mendominasi arena politik
global.
Kampanye
BDS sendiri merupakan bentuk kesadaran normatif masyarakat global untuk tidak
mengonsumsi produk/jasa yang mendukung operasi militer Israel di Palestina.
Dengan kata lain, BDS sesungguhnya merupakan salah satu bentuk norma
masyarakat sipil global, yang menitikberatkan pada aspek kepatutan atas nilai
kemanusiaan. Oleh karenanya, kampanye BDS seakan menjadi kekuatan global baru
menghentikan konflik tidak berimbang antara kedua pihak, di saat aktor-aktor
internasional besar sangat lambat merespons konflik tersebut.
Salah
satu strategi kampanye yang dilakukan adalah memublikasi resmi daftar
barang/jasa yang dimaksud. Alhasil, BDS perlahan mengubah profil konflik Gaza
bukan lagi menjadi isu agama atau sektarian lain, namun ia bergerak progresif
menjadi isu kemanusian mengingat besarnya jumlah korban sipil yang jatuh,
khususnya anak-anak. Maka kampanye BDS dinilai mengalami momentum terbesar
pada eskalasi konflik Palestina-Israel tahun 2014, meski gerakan itu sudah
muncul di tahun 2005 (The New York
Times, 28/8).
Meskipun
tidak mudah ditemukan, peranan norma internasional dalam memengaruhi politik
global adalah valid. Ini dibuktikan, pertama, fenomena runtuhnya politik
apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1994 (Klotz 1995). Apartheid jatuh karena besarnya desakan dari aktivis
hak asasi manusia (HAM) kulit hitam di Amerika Serikat, yang menekan
Pemerintah AS merevisi kembali kebijakan internasional negara tersebut
terhadap Afrika Selatan tanpa melibatkan kekuatan militer.
Kedua,
gerakan Swadesi Gandhi dalam memperjuangkan kemerdekaan India dari Pemerintah
Inggris pada tahun 1947. Termasuk dalam manifesto Satyagraha, Swadesi
merupakan gerakan memproduksi barang secara mandiri yang diinisiasi Mahatma
Gandhi dalam melakukan pembangkangan sipil terhadap Inggris.
Belajar
dari Afsel dan India, peluang menguatnya pengaruh norma BDS mengubah
konstelasi konflik Palestina-Israel adalah sangat besar. Di saat kekuatan
negara-negara besar dinilai lambat menghentikan agresi militer Israel di
Gaza, tenyata masyarakat sipil bergerak bersama memberikan dukungannya pada
Palestina dalam bentuk kesadaran kognitif ekonomi melalui BDS.
Tidak
bisa dimungkiri jika kampanye BDS berdampak negatif terhadap stabilitas
politik dan ekonomi Israel, terutama selama berlangsungnya konflik. Sebelum
eskalasi konflik terjadi, Menteri Perdagangan Israel Yair Lapid menyatakan
bahwa potensi penurunan jumlah ekspor Israel ke Eropa akibat BDS diperkirakan
mencapai 6 miliar dolar AS (Deutsche
Welle, 14/2). Sangat logis jika kerugian ekonomi Israel dan perusahan
pendukungnya semakin besar seiring meningkatnya eskalasi konflik di
Gaza.
Dukungan modernitas
Tidak
dimungkiri jika menguatnya kesadaran normatif global atas gerakan BDS sangat
dipengaruhi aspek modernitas saat ini. Selain internet, keberadaan fasilitas
komunikasi nonkonvensional yang dimiliki masyarakat sipil global, seperti
media sosial, smartphone beserta aplikasinya menjadi faktor penentu
tersebarnya kampanye BDS secara cepat.
Fasilitas
tersebut tidak hanya membuat teknologi dan informasi bukan lagi barang
langka, namun juga menyediakan arus dan wacana alternatif yang dinilai lebih valid dan up-to date, dibandingkan media mainstream seperti koran,
televisi, dan radio. Tidak heran jika norma BDS menguat seiring dengan
gencarnya pemberitaan jatuhnya korban sipil Gaza kepada publik.
Dengan
demikian, BDS merupakan kekuatan global baru yang secara signifikan akan
mengubah konflik Palestina-Israel di masa datang, terlebih dikombinasi dengan
kecepatan dan kecanggihan perkembangan teknologi informasi. Bukan tidak
mungkin, bahwa dengan dukungan tersebut Palestina akan meraih kemerdekaannya..
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar