Ahok
(Lagi)
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 13 September 2014
Ahok
lagi. Lagi-lagi Ahok. Nama akrab Wakil – sebentar lagi, Gubernur DKI Jakarta
ini menjadi headline koran ini
(11/9), juga harian lain, dengan nada yang berbeda. Adalah Basuki T Purnama
yang menjadi perhatian dengan pilihan keluar dari Partai Gerindra. Alasannya,
dia merasa tak cocok lagi karena partai-partai yang berkoalisi dalam “Koalisi
Merah Putih” yang mengupayakan agar pemilihan kepala daerah nantinya
dilakukan oleh DPRD. Dewan perwakilan rakyat daerah yang menentukan, bukan
pilihan langsung dari rakyat.
Banyak
pertimbangan penilaian mana yang lebih cocok, pemilihan langsung atau oleh
wakil setempat. Tergantung siapa yang bicara, di pihak yang mana. Demikian
pula mengenai sikap Ahok ini. Banyak yang mengelu-elukan, banyak yang
mengeluhkan. Banyak yang menganggap berani, ada juga yang menganggap tak
kenal etika.
Dalam
rubrik ini saya pernah menulis tentang Ahok – makanya kini ada judul, lagi.
Dengan tindakan tegas ini Ahok menempatkan diri di depan. Dia bukan
bayang-bayang popularitas Gubernur Jokowi, bukan sekadar ban serep, untuk
pajangan. Melainkan seorang yang menentukan. Yang berinisiatif. Kalau selama
ini dia dianggap sebelah mata, mendompleng keberhasilan Jokowi, boleh jadi
sekarang masyarakat melihat bahwa “jurus-jurus asli”. Dan terus terang, kali
ini menemukan momentum yang pas. Soal dia keluar dari Gerindra – dia biasa
keluar dari partai politik, adalah urusan intern. Namun, ketika tindakan ini
terkait dengan pilkada langsung, dia mengusung dan berada dalam tema yang
sedang disukai masyarakat.
Sekali
lagi media sosial yang perkasa dan selalu ribut, menyambut dengan antusias.
Sedemikian kencang perhatian pada Ahok sehingga muncul ungkapan sayang
masyarakat Jawa Barat tak memiliki wagub seperti dia. Omongan yang biasa,
yang memuji sini menyindir sana yang dalam percakapan selalu terjadi. Bahwa
Ahok yang menjadi idiom, itulah kelebihannya. Dalam waktu relatif singkat
mampu menempatkan diri sebagai “calon” pemimpin DKI-1.
Kejutan
akibat tindakan Ahok masih akan terjadi. Bukan hanya ceplas-ceplosnya,
melainkan tindakan yang di luar dugaan. Inilah yang dulu sering saya katakan
“Ahok lagi salah obat”, dan masih akan “salah lagi”. Ahok bukannya tak
menyadari hal ini. Dan juga mengakui. Bahwa dia masih akan melakukan hal yang
tak terduga, semata-mata karena Ahok yakin apa yang dilakukan benar adanya.
Dan selama ini kandungan kebenaran terjaga. Seperti dalam kasusnya sekarang
ini, dia mengatakan, “Yang kontrol saya
rakyat. Saya tak mau jadi kepala daerah kalau saya harus tanggung jawab pada
DPRD.” Apa yang dikatakan benar adanya, meskipun tidak berarti DPRD tak
berperan sama sekali.
Tapi,
inilah gaya, dan kelebihan Ahok yang tak dimunculkan pejabat lain. Apalagi
untuk kelas daerah ibu kota, yang selain lebih kejam dari ibu tiri, juga jadi
contoh untuk daerah lain. Sebagai gebrakan ini menarik. Adalah Gubernur Ali
Sadikin yang pernah berkata, kira-kira “Untuk menormalkan keadaan yang
abnormal, diperlukan tindakan yang abnormal pula. “ Dan Jakarta memang tak
normal dari segala sisi: cara parkir, jalan macet, banjir, rumah susun,
pedagang kaki lima, dan apa saja. Dan inilah yang dilakukan Ahok. Yang jika
dilakukan dengan benar, ketegasan, yang juga mencakup keadilan, terasakan
oleh rakyat. Jika itu terjadi, proses permukiman, penormalan sungai, dan
sejenisnya bisa berjalan. Sesuatu yang dulu tak mungkin karena gubernur atau
wakilnya “lera-lere”, tak tegas, serba menunda.
Sebagai
orang yang merasa kenal Ahok, terlebih sebagai warga Ibu Kota, saya ingin
bersapa lagi. Bahwa semua yang dilakukan benar-benar terus terbuka sehingga
masyarakat bisa ikut menilai, ikut di belakangnya. Yang kedua, kalau selama
ini benar dan yakin, tetap hati-hati. Tak bisa selalu benar, dan kalau tidak
merasa benar, tak usah ngotot. Terakhir: jaga kesehatan dan keselamatan Bos,
pekerjaan besar baru dimulai. Mari kita teruskan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar