Televisi
dalam Kooptasi Politik
Budi Hatees ;
Jurnalis, Aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
Menulis dari Kota Padangsidempuan
|
JAWA
POS, 14 Juli 2014
TELEVISI
sebagai bagian dari pers nasional telah membingungkan publik setelah Pilpres
9 Juli lalu. Sebab, institusi media yang meminjam frekuensi milik publik itu
ternyata beroperasi zonder kepentingan publik.
Kita
melihat beberapa menit setelah pilpres, seorang penyiar televisi melaporkan
secara live dari tempat penghitungan cepat (quick count) yang dilakukan sejumlah lembaga survei. Layar
televisi menyajikan visual berupa gambar pergerakan persentase angka
perolehan suara dua pasangan capres-cawapres. Ditingkahi audio berupa suara
penyiar yang membaca angka-angka itu dan tanpa sadar telah membangun opini
tentang presiden-wakil presiden baru.
Para
penyiar stasiun televisi di bawah Grup MNC dan TVOne, misalnya, menyatakan
presiden terpilih adalah pasangan Prabowo-Hatta. Informasi yang disampaikan
penyiar itu disusun dengan bahasa yang diarahkan untuk membangun imajinasi
serta fantasi di kepala pemirsa bahwa presiden RI selanjutnya adalah Prabowo
Subianto dengan wakilnya Hatta Rajasa.
Kesimpulan
penyiar-penyiar itu didasarkan pada data (fakta) hasil penghitungan cepat
oleh Pusat Kajian dan Pengembangan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei
Nasional (LSN), Jaringan Suara Indonesia (JSI), serta Indonesia Research
Center (IRC). Yakni, Prabowo-Hatta menang dengan selisih 0,5 persen hingga 3
persen suara.
Pada
saat bersaman, para penyiar Metro TV dan sejumlah stasiun televisi lainnya
menyampaikan informasi dengan pilihan diksi yang berusaha menguatkan gagasan
bahwa Jokowi-Jusuf Kalla adalah presiden terpilih untuk priode 2014–2019.
Penyiar-penyiar itu mengandalkan data hasil penghitungan cepat Lingkaran
Survei Indonesia (LSI), Radio Republik Indonesia (RRI), Saiful Mujani
Research & Consulting (SMRC), Indikator Politik Indonesia (IPI), Kompas
Media Nusantara, CSIS-Cyrus Network (CSIC), serta Populi Center yang
memenangkan Jokowi-JK dengan selisih 1–5 persen suara.
Setiap
stasiun televisi kemudian mendapuk capres-cawapres untuk berpidato yang
isinya berupa ucapan terima kasih atas suara yang telah diamanatkan rakyat
kepada mereka sehingga memenangi pertarungan. Pidato berisi klaim-klaim
kemenangan itu membingungkan publik. Sebab, setiap pertarungan politik hanya
menghasilkan dua hal: kalah atau menang.
Televisi
sebagai bagian dari pers nasional tanpa sadar telah merusak logika berpikir
publik dalam berdemokrasi. Dampak selanjutnya, kinerja televisi menumbuhkan
ketegangan politik yang baru, yang mempertaruhkan keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Logika
umum tentang demokrasi menyebutkan, di dalam sebuah pemilu, semestinya ada
salah satu pasangan capres-cawapres yang menang dan yang kalah. Siapa yang
menang dan siapa yang kalah merupakan informasi penting yang harus diketahui
publik sebagai pemberi amanat. Media berperan menyampaikan informasi yang
penting itu agar publik tahu apakah amanat yang disampaikan menjadi pilihan
dominan warga negara atau tidak.
Tetapi,
bila kedua petarung di pilpres ternyata sama-sama menang, informasi itu bukan
fakta yang layak disampaikan kepada publik. Bila tetap disampaikan, akhirnya
publik akan bingung. Publik bakal resah, curiga, dan menebak-nebak apa yang
sesungguhnya terjadi.
Ketegangan
tidak bisa dihindarkan karena publik akan saling mencurigai. Kita tahu, para
capres-cawapres memang berusaha menenangkan pendukung masing-masing. Mereka
menyerahkan segala sesuatunya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sambil
mengajak semua pihak mengawasi kinerja panitia pelaksana Pilpres 2014 ini
secara ketat dan serius.
Tetapi,
ajakan itu justru memosisikan KPU dalam tekanan. Meski Ketua KPU Husni Kamil
Manik menyampaikan ajakan serupa, bekerja di bawah tatapan seluruh mata warga
di Republik Indonesia ini berdampak psikologis sangat besar. Apalagi
klaim-klaim para capres-cawapres secara perlahan-lahan memengaruhi para
pendukung untuk mengubah diri menjadi massa yang bisa saja menekan KPU.
Malangnya,
para pekerja pers di stasiun-stasiun televisi bagaikan tidak sadar bahwa
konflik mulai terpicu. Informasi-informasi yang disampaikan televisi masih
saja berpatokan pada sifat metodologis dan ilmiah hasil penghitungan cepat
sejumlah lembaga penelitian. Kadar keilmiahannya bisa dipercaya. Apalagi para
pelaku penelitian itu melibatkan para profesional yang kapasitas ilmu
pengetahuan dan pengalamannya teruji selama ini.
Namun,
pekerja pers tidak dibenarkan percaya sepenuhnya pada satu narasumber atas
informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pekerja pers harus
mencurigai setiap informasi yang diperoleh. Bukan sebuah kekeliruan jika
mencurigai lembaga-lembaga survei itu melakukan malapraktik karena
kepentingan dan masa depan lembaganya dipertaruhkan.
Pekerja
pers semestinya tidak mempertahankan sumber informasi hasil penghitungan
cepat. Sebab, informasi itu ternyata membingungkan publik. Kebingungan publik
terjadi karena publik memiliki hubungan simbolis dengan media dan teknologi
media massa pada gilirannya menciptakan kembali siapa diri kita.
Kedahsyatan
media mendorong McLuhan memperkenalkan teori ekologi media (media ecology) dengan gagasan yang
berlandasan pada tiga hal. Pertama, media memengaruhi setiap perbuatan atau
tindakan dalam masyarakat (media infuse
every act and action in society). Kedua, media memperbaiki persepsi kita
dan mengelola pengalaman kita (media
fix our perceptions and organize our experineces). Ketiga, media mengikat
dunia bersama-sama (media tie the world
together).
Karena
itu, sebelum menyajikan informasi, pekerja media dan institusinya harus
mentradisikan check and richeck
atas fakta yang didapat dari narasumber. Bukan sesuatu yang dilarang bila
pekerja pers mencurigai sebuah sumber informasi sehingga perlu dilakukan
investigasi untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Munculnya
keragu-raguan seperti itu akan mendorong pekerja pers mencari fakta
pembanding dari sumber lain.
Sayangnya,
para pekerja pers tidak mencari fakta pembanding. Penyebabnya, sejak sebelum
pilpres dilangsungkan, pekerja pers terkontaminasi fakta hasil survei tentang
posisi para capres-cawapres. Hasil survei itu menjadi semacam acuan (frame) dalam mengemas informasi
menjadi berita.
Dengan
kata lain, sejak awal para pekerja pers menetapkan bahwa informasi yang
dikumpulkannya harus memosisikan pasangan capres-cawapres tertentu sebagai
presiden terpilih. Artinya, tujuan informasi sudah dibuat dan ditetapkan.
Institusi
media sudah punya agenda sendiri dan pekerja pers tinggal menyesuaikan dengan
agenda media tersebut. Hal itu memaksa mereka mengabaikan profesionalisme
kerja. Mereka harus mengamini kepentingan institusi medianya dan bertindak
seakan-akan tidak tahu-menahu bahwa kepentingan media telah mengabaikan
kepentingan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar