Survei
Juga Ijtihad
Teuku Kemal Fasya ;
Dosen Antropologi, Beberapa kali sempat terlibat dalam
survei lingkungan dan demokrasi lokal
|
SINAR
HARAPAN, 14 Juli 2014
Pemilihan
Presiden (Pilpres) 9 Juli telah usai, tapi tidak semuanya usai. Hasil hitung
cepat (quick count) menunjukkan
keterbelahan. Delapan dari 12 lembaga survei menyimpulkan pasangan Joko
Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang dalam pilpres ketiga di era Reformasi ini.
Delapan
lembaga survei itu adalah Populi Center, Center for Strategic and
International Studies (CSIS), Litbang Kompas, Indikator Politik Indonesia,
Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Radio Republik Indonesia (RRI), Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Pol-Tracking Institute. Kedelapan
lembaga survei ini menunjukkan kemenangan Jokowi-JK berada pada kisaran 52-53
persen.
Empat
lembaga survei yang “memenangkan” pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa
adalah Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Jaringan
Suara Indonesia (JSI), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Indonesia Research
Centre (IRC) dengan variasi kemenangan 50-52 persen.
Tiga
lembaga survei itu berafiliasi dengan TV One yang menjadi media politik
Prabowo-Hatta. Sebenarnya juga bukan tiga, tapi empat, yaitu Pol-Tracking. Ironisnya di
menit-menit akhir Pol-Tracking memutuskan menolak “menyesuaikan hasil” dengan
tiga lembaga survei lain sehingga memutuskan kontrak dengan televisi
berjaringan nasional itu. Satu lembaga lagi, IRC milik Hary
Tanoesoedibjo disiarkan di jaringan grup MNC.
Bukan
kebetulan jika akhirnya tiga lembaga survei “menyimpang” itu menolak undangan klarifikasi dari Perhimpunan
Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) sebagai induk lembaga survei di
Indonesia. Klarifikasi terpaksa dilakukan karena kasus ini ikut mencoreng
martabat survei dan kredibilitas lembaga-lembaga survei politik di Indonesia.
Ilmiah Statistik
Keterbelahan
itu menjadi preseden bagi dunia survei Indonesia. Jika khilafiyah atau perbedaan pendapat terjadi pada survei persepsi
atau opini, tentu masih dapat dimaklumi.
Namun, jika hasilnya berbeda secara ekstrem
antara satu lembaga survei dengan lembaga survei lain untuk sebuah informasi post-pactum seperti hasil hitung
pemilu maka patut dipertanyakan. Logika aristotelian menyebutkan, “hanya ada kemungkinan semua fakta salah
atau hanya ada satu fakta benar dan lainnya salah”. Tidak mungkin
semuanya benar.
Secara
sederhana saya ingin mengambarkan seperti ini. Survei atau hitung cepat
adalah bagian dari metodologi penelitian kuantitatif yang tidak sekompleks
penelitian kualitatif. Data yang masuk dalam penelitian kuantitatif
ditabulasi dan kemudian dipersentasi untuk diambil kesimpulan rata-rata (average conclusion).
Okelah
jika survei persepsi sedikit lebih rumit, karena harus menabulasi pikiran
orang, namun tidak demikian dengan hitung cepat. Jika semua teknik dilakukan
dengan benar seperti menggunakan sampel secara acak bertahap (multistage random sampling), hasilnya
tidak akan berbeda antara satu lembaga survei dengan yang lain.
Kalaupun
batas kekeliruan atau margin error terjadi, disebabkan berapa banyak sampel
yang digunakan. Seperti disampaikan Prof Hamdi Muluk, guru besar psikologi
politik Universitas Indonesia, jika sampelnya 2.000, margin error yang bisa
ditoleransi sekitar 1,2 persen. Jika sampelnya 4.000, margin error antara
0,6-0,7 persen.
Lembaga
survei abal-abal tentu tidak memberlakukan prinsip ini secara benar. Sejak
awal pikiran tidak objektif sudah melaroni pilihan sampel. Contohnya begini,
penduduk Aceh yang sekitar 5 juta jiwa diberikan sampel yang sama dengan
penduduk Jawa Barat yang berpenduduk 45 juta jiwa maka kesimpulan
rata-ratanya tentu bias dan “pedas”.
Contoh
lain, populasi sampel sudah tendensius jika sengaja memilih wilayah pendukung
tertentu dan mengabaikan yang lain. Bisa dipastikan datanya memiliki tingkat
kepercayaan (reliability) yang
buruk. Fenomena penelitian kuantitatif dikumpulkan sebagai data numerik dan
dianalisis secara matematis (lebih khusus lagi secara statistik) sehingga
melahirkan kebenaran empiris (Aliaga
and Anderson, 2000).
Dengan
penjelasan serbahemat ini, hanya ada dua kesimpulan. Pertama, delapan lembaga
survei pertama yang benar dan empat lainnya salah atau sebaliknya. Kalau
menilik kredibilitas delapan lembaga survei pertama, patut dicurigai empat
lembaga survei kedua keliru atau sengaja mengelirukan hasil hitung cepatnya.
Ijtihad
Tentu
karena hasil penelitian hitung cepat ini adalah proses sampel dan bukan
sensus atau real count, hasilnya tentu memiliki efek “kesalahan”. Namun, hal
itu masih bisa ditoleransi sebagai proses ilmiah. Hal yang tidak dapat
ditoleransi jika prosesnya mengabaikan prinsip keilmiahan yaitu kehati-hatian
(al ihthiyaat) dan kejujuran.
Kejujuran
menjadi basis dari seluruh pemikiran mengacu kepada kebenaran. Dalam Islam
diistilahkan al ijtihaad. Kehati-hatian berhubungan dengan operasionalisasi
metode ilmiah yang dipilih. Kehati-hatian akan berdampak pada integritas dan
profesionalisme. Karena itu, orang yang menguasai ilmu statistik harus
dikedepankan untuk melakukan survei.
Kesalahan
setelah menunaikan prinsip keilmiahan itulah yang dibenarkan dalam Islam,
seperti disebutkan dalam sebuah hadis nabi, “Jika menetapkan hukum dan benar
maka ia mendapatkan dua pahala. Jika menetapkan dengan proses yang
sungguh-sungguh (ijtihad) dan
keliru maka baginya satu pahala”.
Jika
kini muncul pemahaman untuk menolak semua data survei, secara tidak langsung
kita sudah mengabaikan kecanggihan perkembangan ilmu penelitian kuantitatif
dengan basis statistik itu. Secara tidak langsung akan mengarah kepada sakit
nalar dan menjadi delusif dalam menilai semua proses ilmiah survei.
Para
ilmuwan statistik dan lembaga otoritas survei harus menjadikan momentum ini
sebagai proses menegakkan benang basah survei yang loyo akibat politik
praktis yang propagandis. Biarkan lembaga survei abal-abal berlalu dan kita
yang berhasrat kepada kebenaran ijtihadiyah melanjutkan kerja-kerja kebaikan
survei. Bukanlah dalam perkembangan demokrasi modern, keberadaan lembaga
survei sudah menjadi keperluan primer, bukan lagi tersier? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar