Seniman,
Apresiasi, Salam Dua Jari
Agus Dermawan T ;
Pengamat Budaya
|
KORAN
TEMPO, 18 Juli 2014
"Seniman adalah pengetuk hati
politikus. Negara banyak berutang kepada seniman. Negara harus memberikan
penghargaan kepada seniman," kata Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Apa
yang dikatakan SBY berbuntut. Sejak beberapa tahun lalu negara berupaya
memberikan penghargaan kepada para seniman yang memiliki kontribusi spesial.
Lewat Panitia Penghargaan, nama-nama besar pun diusulkan. Sejumlah piagam dan
medali pun diserahkan.
Meskipun
demikian, tak berarti pengusulan nama-nama kandidat selalu memperoleh jalan
lempang. Musababnya, seleksi ternyata tidak sepenuhnya menjadi otoritas para penilai
yang memahami jagat kesenian. Tapi hal ini juga menjadi otoritas politikus,
yang berlindung di bawah atap birokrasi. Persoalan semakin bengkok ketika
semuanya diimbuhi pasal-pasal formal, yang berkaitan dengan nomenklatur
lembaga negara. Akibatnya, banyak seniman hebat yang gugur dalam proses
pengajuan. Kasus pelukis tamu agung I.B. Said (80 tahun) adalah salah satu
amsalnya.
Atas
permintaan negara, pelukis ini menggubah potret suami-istri presiden atau
perdana menteri sekitar 220 negara. Dan karyanya menghiasi Jakarta dan Istana
Presiden sejak 1960 sampai 2005. Karena itu, muncul usul agar Istana Negara
memberi anugerah kepada Said. Namun pihak Istana mengatakan bahwa penghargaan
itu seharusnya datang dari DKI Jakarta. Sementara itu, pihak DKI Jakarta
menimbang: betapa itu lebih cocok diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Adapun pihak Kemendikbud menyebut: adalah lebih pas apabila
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang menganugerahkan. Nama I.B.
Said lalu saya bawa ke Kemenparekraf lima bulan lalu. Ditolak, karena itu
dianggap kewajiban Istana Negara.
Dari
perkara lempar-melempar tersebut akhirnya tersimpul bahwa sesungguhnya negara
masih setengah hati untuk memberikan bintang jasa kepada seniman. Atas ihwal
ini seniman bisa saja kecewa, meski sesungguhnya mereka tidak terlalu
memikirkannya.
"Seniman tak usah mengharap
penghargaan dari negara, yang notabene ditentukan oleh politikus,"
kata budayawan dan mantan menteri Daoed Joesoef. Sebab, pada hakikatnya,
seniman bekerja dengan kemurnian gerak hati-pikirnya sendiri, yang oleh
Marshall McLuhan diyakini sebagai antena sosial, penangkap sinyal keluhuran.
Seniman bekerja tanpa pamrih, meski yang dihasilkan akhirnya bisa berdampak
besar terhadap medan sosial serta hutan politik.
Gerakan
seniman yang menggagas konser "Salam
Dua Jari" guna mendukung calon presiden Joko Widodo pada 5 Juli
adalah contohnya. Dengan antena sosialnya, para seniman bekerja spontan,
disertai spirit untuk mengobarkan kecerahan harapan. Hasilnya, konser itu
menggerakkan jiwa jutaan orang Indonesia. Gema konser menghaturkan magma
politik yang luar biasa. Para seniman "Salam
Dua Jari" sungguh tak mengharapkan imbalan apa pun. Namun, meski
tidak meminta penghargaan apa-apa, negara yang bakal dipimpin oleh Presiden
Joko Widodo tak boleh melupakan gerakan "Salam
Dua Jari". Sepanjang masa!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar