Rindu Pemilu 1955,
Kibarkan Kehormatan Indonesia
Parni Hadi ;
Wartawan dan Aktivis Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 15 Juli 2014
Pencoblosan
Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 telah berlangsung aman dan lancar.
Namun, banyak orang yang kini waswas menunggu real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli untuk
menetapkan siapa presiden RI 2014-2019.
Pilpres
tempo hari itu mengingatkan kita semua pada pelaksanaan Pemilu 1955. Bahkan,
penyair Taufik Ismail menyinggung dalam sebuah puisinya, yaitu “Ketika Indonesia Dihormati Dunia”.
Itulah
judul puisi Taufik Ismail yang merupakan catatannya atas pelaksanaan Pemilu
1955. Namanya juga penyair, ketika diminta berdoa, yang dibaca duluan adalah
puisi. Itu terjadi pada dialog tentang Kedaulatan Pangan oleh alumnus Akademi
Pertanian Ciawi di Bogor akhir Maret lalu.
“Dengan rasa rindu kukenang pemilihan
umum setengah abad yang lewat/Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu
kucatat/Peristiwa itu berlangsung tepatnya tahun lima puluh lima/Ketika itu
sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka/Itulah pemilihan umum yang
paling indah dalam sejarah bangsa/Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih
dalam sejarah kita”.
Demikian
tulis Taufik Ismail, penyair yang dokter hewan itu. Waktu Pemilu 1955 ia
tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Ia menceriterakan bagaimana guru SMA-nya
di depan kelas waktu itu membacakan guntingan koran Amerika Serikat yang
memuji pelaksanaan pemilu di sebuah negara baru yang bernama Indonesia.
Berikut adalah catatannya lebih lanjut:
Waktu itu tak dikenal singkatan
jurdil, istilah jujur dan adil/Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil
cuma dilaksanakan/Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi/Pesta
demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma dilangsungkan/Pesta yang
bermakna kegembiraan bersama/Demokrasi yang berarti menghargai pendapat
berbeda.
Begitu
rekaman Taufiq Ismail, yang lahir di Bukittinggi, 25 Juni, 1935, dengan nama
lengkap Taufiq Abdul Gaffar Ismail. Ia lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan
dan Peternakan Universitas Indonesia di Bogor (sekarang IPB) tahun 1963.
Alangkah berbeda sekali keadaan kini dan dulu. Mari, kita nikmati lagi
catatannya berikut ini:
Pada waktu itu tak ada huru-hara yang
menegangkan/Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah ditumpahkan/Pada waktu
tidak ada satu nyawa melayang/Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun
digulingkan lalu dibakar/Pada waktu tidak sebuah bangunan disulut api
berkobar/Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar
sogok-sogokan/Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan.
Alangkah
bersihnya pelaksanaan Pemilu 1955, belum ada politik uang dan petugas yang
berlaku curang. Karena itu, tak berlebihan jika Taufiq kangen pada suasana
itu, yang ia simpulkan dalam bait selanjutnya ini:
Itulah masa, ketika Indonesia
dihormati dunia/Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyuman/Sebagai
bangsa, kita dikenal santun dan sopan/Sebagai massa kita jauh dari
kebringasan, jauh dari keganasan.
Tak
salah jika puisi ini menjadi bagian dari sebuah doa karena sebelum pilpres
sebagian orang khawatir bakal terjadi pertarungan head to head, atau sama kuat, antara pasangan capres-cawapres
Prabowo-Hatta dengan nomor urut 1, melawan pasangan capres-cawapres Jokowi-JK
dengan nomor urut 2.
Kekhawatiran
itu dapat dimaklumi karena Prabowo seorang jenderal purnawirawan dan didukung
sejumlah jenderal purnawirawan. Jokowi pun didukung banyak jenderal
purnawirawan pula.
Belum
lagi, masing-masing juga didukung kelompok massa yang berpenampilan keras.
Rasa waswas tidak hanya berhenti pada hari pencoblosan, tapi juga setelahnya
ketika sudah diketahui siapa pemenangnya.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerukan agar siapa pun yang menang, Prabowo
atau Jokowi agar tetap berdamai. Keterlibatan jenderal purnawirawan tidak
hanya dalam Pilpres 2014, tapi juga dalam dua pilpres sebelumnya, yaitu pada
2004 dan 2009, yang dimenangi SBY secara damai, baik pada hari pencoblosan
maupun setelahnya.
“Raksasa Pemikir”
Mengapa Pemilu 1955 berlangsung aman, damai,
bersih, dan indah? Salah satu jawabannya adalah karena para pemainnya, baik
penyelenggara maupun politikusnya, adalah orang-orang yang berpendidikan
tinggi dan bahkan merupakan “raksasa pemikir” (giant thinkers) dari bangsa ini, yang menguasai kedalaman
disiplin ilmu mereka dan berbagai bahasa asing.
Sebagian
besar dari mereka adalah lulusan pendidikan tinggi zaman penjajahan Belanda,
baik di Indonesia, Belanda, maupun luar negeri lainnya.
Mereka
terlibat dengan intens dalam merumuskan dasar negara, Undang-Undang Dasar
1945 dan kebijakan-kebijakan strategis di bidang politik, ekonomi, dan sosial
budaya bagi keberlanjutan eksistensi NKRI. Lebih dari itu, sebagian besar
dari mereka adalah sama-sama pejuang sejak muda untuk kemerdekaan Indonesia.
Sebagai
intelektual, mereka biasa berbeda pendapat, tetapi tetap bersahabat. Mereka
idealis dan pintar, tetapi juga berkarakter kuat sesuai “Zeitgeist”, semangat
zamannya. Itulah kelebihan generasi “Bapak-Bapak
dan Ibu-Ibu Pendiri Bangsa” Indonesia dibandingkan generasi penerus.
Pemilu
1955 disiapkan pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari PNI
(Partai Nasional Indonesia), biang PDIP sekarang. Namun, karena Ali
Sastroamidjojo mundur, pemilu itu diselenggarakan pemerintahan Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap dari Partai Masyumi. Kabinet Burhanuddin yang
merupakan koalisi dari Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) ini
dinilai AS sebagai pro Barat.
Sukses
pemilu itu berdampak bagus bagi muhibah pertama Presiden Soekarno ke AS tahun
1956. Keputusan pemerintah AS mengundang Bung Karno diambil setelah sukses
penyelenggaraaan Pemilu 1955, demikian catatan Ganis Harsono, wartawan,
diplomat, juru bicara Kemenlu dan sekretaris pers Presiden Soekarno dalam
bukunya Recollections of an Indonesian
Diplomat in the Soekarno Era.
Ganis
terlibat dalam menyiapkan dan mengikuti muhibah yang bertujuan umendulang
dukungan Barat demi merebut Irian Barat (kini Papua) itu.
Keberhasilan
kunjungan Bung Karno juga ditunjang sukses Indonesia sebagai tuan rumah
Konferensi Asia-Afrika di Bandung, April 1955, yang diselenggarakan
pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo. Jadi, di samping sukses dalam urusan
politik dalam negeri, kehormatan Indonesia waktu itu juga didukung sukses
dalam diplomasi.
Visi
dan misi kedua pasangan capres-cawapres 2014 tak perlu lagi diulas. Namanya
juga janji, mesti baik, tinggal tunggu buktinya. Namun yang perlu diingat,
politik tak bisa dipisahkan dari pencitraan.
Memang,
tidak ada manusia yang sempurna dan ideal untuk semua orang. Kedua pasangan
mempunyai plus minus masing-masing. Biasanya orang memilih karena berharap
akan ada perbaikan dengan merujuk pada presiden sebelumnya.
Presiden
SBY memiliki banyak kelebihan dan tentu juga kekurangan, yang pada saat
tertentu bisa menjadi kelebihan, demikian pula sebaliknya. Sebagai contoh,
dari satu sisi Prabowo mengesankan sikap tegas, yang dianggap salah satu
kekurangan dari SBY. Di sisi lain, Jokowi menampilkan sikap sederhana, apa
adanya, sebagai kebalikan dari SBY yang tampil serbateratur dan rapi.
Rakyat
telah memilih sesuai suara hati dengan damai. Tinggal kini kita menunggu
hasil pengumuman KPU pada 22 Juli. Siapa pun yang tampil sebagai pemenang
akan mempertaruhkan kehormatan Indonesia di mata dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar