Polisi,
Dewan Pers, dan Obor Rakyat
Abdullah Alamudi ; Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo;
Anggota Dewan Pers (2007–2010)
|
KORAN
TEMPO, 12 Juli 2014
Polisi tampaknya ragu mengenai tindakan tepat yang akan mereka ambil
terhadap kedua pemimpin Obor Rakyat. Polisi saat ini telah terdesak oleh
tuduhan masyarakat bahwa mereka mengulur-ulur waktu karena kedekatan pemimpin
tabloid itu dengan Istana.
Keraguan itu tampak dari silang pernyataan pimpinan Polri kepada
masyarakat. Di depan Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, Panglima TNI Jenderal
Moeldoko, dan puluhan pemimpin redaksi media, Jumat, 4 Juli, Kapolri Jenderal
Sutarman mengatakan, "Polisi akan
menindak tegas pimpinan Obor Rakyat, (Setyardi Budiono dan Darmawan
Supriyossa-pen.) dengan pasal-pasal berlapis, termasuk Undang-Undang
Pers."
Tapi, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny F Sompie mengatakan,
menurut Kabareskrim, Setyardi dan Darmawan hanya akan dikenai Pasal 18 (ayat
3) juncto Pasal 9 (ayat 2) UU Pers. Pasal itu memuat ancaman pidana denda
maksimal Rp 100 juta.
Menyusul tekanan masyarakat dan pers, dalam waktu kurang dari sepekan,
Polri mengatakan bahwa polisi bisa mengenakan pasal-pasal pidana umum
terhadap Setyardi dan Darmawan. Tapi, mereka belum menemukan ahli hukum
pidana yang bisa menjelaskan kesalahan kedua tersangka dalam kaitannya dengan
UU Pers.
Pernyataan itu makin membingungkan, karena Dewan Pers, dengan semangat memorandum of understanding-nya dengan
Polri, sudah beberapa kali menegaskan kepada polisi, walaupun Obor Rakyat
berbentuk tabloid, media ini bukan karya jurnalistik, bukan media pers
seperti yang diklaim Darmawan. Pendapat Dewan Pers sedikitnya didasarkan pada
dua pertimbangan: segi yuridis formal dan esensi etika dari isi
tulisan-tulisan di Obor Rakyat.
Dari segi yuridis formal, Obor Rakyat tidak memenuhi persyaratan Pasal
9 (ayat 2) dan Pasal 12 UU Pers. Pasal 9 (ayat 2) menegaskan: "Setiap perusahaan pers harus
berbentuk badan hukum Indonesia." Pasal 12 berbunyi, "Perusahaan
pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka
melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama
dan alamat percetakan."
Penjelasan pasal ini menegaskan, "Sepanjang
menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan
yang berlaku." Jadi, penjelasan Pasal 12 UU Pers itu sendiri sudah
membuka jalan bagi polisi untuk mengusut para pemimpin Obor Rakyat
berdasarkan KUHP.
Edisi pertama (5-11 Mei 2014) Obor Rakyat, yang penulis baca, tidak
mencantumkan nama badan hukumnya. Petugas Dewan Pers melacak alamat kantor
redaksi yang tertera pada masthead tabloid itu, "Jalan Pisangan Timur Raya IX, Jakarta Timur". Namun,
ternyata, "Tidak ada Jalan
Pisangan Timur Raya IX," kata dia. "Yang ada adalah Jalan Pisangan Timur 9, dan orang-orang di sana
bilang Obor Rakyat tidak berkantor di sana." Nomor telepon dan
faksimile yang dicantumkan di masthead
itu juga palsu. Edisi pertama itu juga tidak mencantumkan nama dan alamat
percetakannya, seperti ditetapkan undang-undang.
Dari segi isi, hampir semua tulisan di Obor Rakyat melanggar kode etik
jurnalistik, khususnya pasal-pasal 1, 2, 3, 4, dan 8, yang menyangkut iktikad
buruk, profesionalisme, menghakimi, dan fitnah. Saat ini, Obor Rakyat
diberitakan sudah terbit sampai edisi ketiga tanpa kejelasan mengenai
kemungkinan polisi mengenakan pasal-pasal pidana umum.
Kapolri Sutarman dan Irjen Sompie membantah kelambanan polisi
menyelesaikan kasus Obor Rakyat ada kaitannya dengan Istana. Setyardi Budiono
adalah anggota staf dari Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi
Derah, Velix Wanggai.
Berbagai tulisan Obor Rakyat mencemarkan nama baik calon presiden Joko
Widodo, menghasut masyarakat, menyebar kebencian, yang termasuk dalam ranah
Pasal 310 dan 311 serta Pasal 156 dan 157 KUHP (menghasut, menyebar
kebencian). Menurut Indonesia Police
Watch, tulisan-tulisan di Obor Rakyat itu juga melanggar Pasal 214 UU
Pemilihan Presiden.
Pemilik percetakan Obor Rakyat juga bisa diseret ke pengadilan
berdasarkan delik percetakan (drukpresdelict),
Pasal 483, 484, dan/atau 485 KUHP. Tak jelas mengapa polisi tidak memasukkan
delik percetakan dalam pemeriksaan terhadap Obor Rakyat. Padahal, ketika ada
kampanye terhadap penerbitan yang dianggap porno beberapa tahun lalu, polisi
sampai mengejar-ngejar pengecer dan agen majalah.
Juru bicara Joko Widodo, Anies Baswedan, mengingatkan polisi bahwa Obor
Rakyat telah mencabik-cabik nilai dan simbol-simbol persatuan nasional lewat
serangan bersifat SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Karena itu,
kata dia, polisi tidak boleh berdiam diri. "Berdiam saja," kata dia, "bisa diartikan polisi melakukan pembiaran."
Ada beberapa tulisan yang bersifat memecah-belah pada edisi pertama
Obor Rakyat. Misalnya, artikel berjudul "Dari
Solo sampai Jakarta, de-Islamisasi ala Jokowi", "Cukong-cukong di belakang Jokowi", "Partai 'salib' di
belakang Jokowi." Tabloid setebal 16 halaman itu memuat tulisan
penghinaan yang sangat menyakitkan berjudul "Jokowi anak Tionghoa".
Tulisan itu menyebut ibu Jokowi adalah gundik dari Oey Hong Liong,
pengusaha yang berganti nama menjadi Nitimiharjo (Ayah Jokowi bernama
Notomihardjo). Jokowi sudah membantah semua tuduhan itu, termasuk serangan
terhadap pribadinya.
Sampai artikel ini ditulis, belum jelas tindakan tegas macam apa yang
akan diambil polisi terhadap Obor Rakyat di tengah pertanyaan besar
masyarakat: apa makna MOU Dewan
Pers-Polri bila polisi mengabaikan pendapat Dewan Pers? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar