Perintangan
Bantuan Kemanusiaan
Chusnan Maghribi ;
Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 17 Juli 2014
“Sissi
khawatir pembukaan pintu perbatasan Sinai-Rafah dimanfaatkan oleh kelompok
radikal di Sinai”
SERANGAN udara militer
Israel terhadap wilayah Jalur Gaza dengan sandi Operation Protected Edge yang berlangsung sejak 8 Juli 2014 dikhawatirkan
tak akan cepat berakhir menyusul keputusan Israel Defense Forces (IDF) melancarkan serangan darat (14/7/14).
Pasalnya, pejuang bersenjata Hamas dipastikan memberi perlawanan sengit
seperti pernah terjadi akhir 2008 hingga awal 2009.
Kenyataannya, saat
Zeronol, pasukan khusus Israel, berupaya memasuki Gaza lewat Laut
Mediterania di zona Sudanyia di Barat Laut Gaza (13/7/14 malam), pasukan
Brigade Al-Qassam gigih mengadang untuk menggagalkan.
Pertempuran darat
sengit antara militer Israel dan pejuang Hamas tidak terelakkan. Keberanian
Hamas seperti melengkapi kesuksesannya meluncurkan roket jarak jauh yang
gagal ditangkal oleh sistem pertahanan Iron Dome (Kubah Besi) Israel,
beberapa hari lalu.
Di tengah gempuran masif
udara Israel, Hamas menembakkan roket Al-Qossam yang berdaya jangkau 177 km
dan jatuh di kota pantai Hadera, utara ibu kota Tel Aviv. Pertempuran darat
sengit dikhawatirkan membuat korban jiwa makin banyak bertambah.
Sepekan serangan udara
Israel berlangsung tak kurang dari 170 nyawa penduduk Gaza terenggut paksa,
1.000 lebih warga terluka, dan ribuan rumah penduduk luluh-lantak rata dengan
tanah.
Sungguh sangat menyedihkan
nasib penduduk Gaza, wilayah sempit padat penghuni (luas total ’’hanya’’
sekitar 365 km persegi dan kini berpenduduk 1,8 juta jiwa) di tepi Laut
Tengah, yang sekitar 90 persen wilayah daratnya berbatasan langsung dengan
Israel, dan kurang lebih 10 persen sisanya berbatasan dengan Semenanjung
Sinai (Mesir). Realitas geografis seperti itu tentu menggambarkan betapa amat
sulit posisi dan kondisi warga Gaza ketika diserang masif oleh Negeri Zionis
Israel yang kekuatan militernya termasuk kuat dan canggih di dunia saat ini.
Karena itu, sangatlah
manusiawi bila publik dunia, termasuk banyak elemen masyarakat Indonesia,
terketuk hatinya untuk segera mengirim bantuan kemanusiaan ke Gaza. Respons
cepat masyarakat internasional itu selaras dengan ketentuan PBB tentang
Humanitarian Intervention di bawah norma Responsibility to Protect.
Bantuan kemanusiaan yang
sudah terkumpul, terutama berupa makanan dan obat-abatan, memang sangat
dibutuhkan warga Gaza. Persoalannya, semua barang bantuan dari berbagai
negara yang sudah terkumpul itu tidak bisa cepat dibawa masuk ke Gaza
lantaran pemerintah baru Mesir di bawah Presiden Abdel Fatah al-Sissi
menerapkan kebijakan superketat terhadap wilayah perbatasan Sinai-Rafah
(Gaza).
Pemeriksaan
Ekstraketat
Padahal, wilayah
perbatasan itu menjadi satu-satunya akses masuk/keluar ke/dari Gaza. Al-Sissi
tidak mau membuka wilayah perbatasan tersebut untuk sembarang orang. Sampai
14 Juli lalu pemerintahan al-Sissi hanya mengizinkan warga Gaza yang luka
parah yang boleh keluar dan berobat di rumah sakit Mesir, serta warga Gaza
yang mau menjalankan ibadah umrah. Warga asing yang mau masuk ke Gaza,
kendati dengan dalih untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan sekali pun, harus
melewati prosedur dan pemeriksaan yang ekstraketat.
Mengapa pemerintahan
al-Sissi bersikap demikian? Alasan verbalnya tentu karena pemerintah khawatir
pembukaan secara bebas pintu perbatasan Sinai-Rafah dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok radikal di Sinai, semisal Ansar Al-Jihad, Syura Mujahidin
Council dan Jund Al-Syariíah yang sejauh ini diperangi oleh militer Mesir.
Dalam pandangan al-Sissi,
apabila pintu masuk dan keluar Sinai-Rafah dibuka bebas, kelompok-kelompok
radikal yang dicap sebagai kelompok teroris itu dapat leluasa ikut
memanfaatkannya untuk meningkatkan intensitas dan lingkup serangannya di
wilayah dalam negeri Mesir. Sissi tak ingin itu terjadi.
Namun di luar alasan itu
terdapat alasan yang sejatinya jauh lebih dapat dipercaya kebenarannya, yakni
karena pemerintahan al-Sissi ingin memanfaatkan serangan udara Israel ke Gaza
sekarang sebagai kesempatan emas untuk membungkam Hamas yang juga dicap
sebagai kelompok teroris.
Sissi tak mau Hamas eksis,
apalagi berkembang dan memerintah di Jalur Gaza dan Palestina umumnya.
Realitas itu dipandang dapat memperkuat keberadaan kelompok-kelompok radikal
di Sinai yang sejauh ini gigih melakukan perlawanan tehadap penguasa di
Kairo.
Dengan merintangi dan
menghambat penyaluran bantuan kemanusiaan masyarakat dunia masuk ke Gaza,
Mesir di bawah pemerintahan Sissi saat ini dapat dipandang sebagai pihak lain
(di samping Israel) yang hendak ikut meleyapkan kelompok perlawanan Hamas.
Sikap pemerintahan al-Sissi merintangi bantuan kemanusiaan ke Gaza tentu
patut pula dikutuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar