Nilai
Rupiah Menunggu Pilpres 9 Juli
A
Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi
Ekonomi dan Kebijakan Publik
(PSEKP) UGM
|
KOMPAS,
30 Juni 2014
MENJELANG
pemilihan umum presiden pada 9 Juli 2014, nilai rupiah justru terus melemah,
bahkan mencapai Rp 12.100 per dollar AS. Apa yang terjadi? Bukankah pilpres
secara langsung oleh rakyat merupakan peristiwa demokrasi yang hebat sehingga
mestinya menumbuhkan ekspektasi positif pada nasib perekonomian negara ini?
Ditinjau
dari perkembangan serangkaian indikator ekonomi makro, agak sulit menjelaskan
mengapa rupiah melemah drastis. Dari sisi eksternal, misalnya, perekonomian
Amerika Serikat (AS) memang membaik, yang dapat ditunjukkan dengan level
pengangguran yang turun menjadi 6,3 persen. Hal ini jauh lebih baik daripada
level 10 persen saat krisis memuncak pada musim semi tahun 2009. Hal inilah
yang menyebabkan penguatan kurs dollar AS terhadap seluruh mata uang dunia,
termasuk rupiah.
Namun,
pekan lalu, muncul berita yang kurang baik. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS
dikoreksi dari semula di atas 2,5 persen menjadi hanya 2,1 persen.
Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan I-2014 hanya 1,5 persen.
Angka yang rendah ini (mestinya minimal 2 persen) tentu saja mengecewakan dan
mengundang pesimisme atas kinerja AS di sisa tahun 2014.
Koreksi
pertumbuhan ekonomi AS ini mestinya menimbulkan koreksi pula pada kurs dollar
AS terhadap rupiah. Kenyataannya tidak. Rupiah justru terus melemah melampaui
batas psikologis Rp 12.000 per dollar AS. Secara internal, perekonomian
Indonesia memang masih punya masalah dengan defisit transaksi berjalan.
Melemahnya rupiah juga memperburuk situasi ini karena impor minyak yang
semakin besar dalam konversi rupiah terus membebani APBN 2014. Situasi kian
runyam tatkala subsidi energi (BBM dan listrik) bakal mendekati Rp 400
triliun pada tahun ini.
Sebagai
ilustrasi, biaya penyelenggaraan Piala Dunia 2014 di Brasil semula ditaksir
Bloomberg ”hanya” 15 miliar dollar AS, tetapi bisa membengkak menjadi 20
miliar dollar AS atau Rp 240 triliun. Angka ini ternyata masih kalah jauh
dibandingkan dengan subsidi energi Indonesia. Sungguh ironis.
Namun,
di sisi lain, sebenarnya ada aliran dana asing masuk pada Mei 2014 yang bisa
dideteksi dari kenaikan cadangan devisa menjadi 107 miliar dollar AS. Dana
asing ini masuk dalam bentuk portofolio ke pasar surat berharga, baik
obligasi pemerintah maupun saham korporasi. Akibatnya, Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) terus naik ke arah batas psikologis 5.000. Angka ini
sesungguhnya tidak didukung kinerja korporasi yang sebanding (tidak mempunyai
underlying) alias menjadi
kemahalan. Akibatnya, akhir pekan lalu, terjadi aksi jual dalam rangka ambil
keuntungan. IHSG pun ditutup melemah menjadi 4.845.
Secara
singkat, inilah potret perekonomian Indonesia menjelang pilpres: (1)
likuiditas perbankan ketat sehingga pertumbuhan kredit melemah; (2) defisit
transaksi berjalan terus terjadi; (3) inflasi tahunan (year on year) bakal masih 7,3-7,5 persen dan akan naik selama
bulan Ramadhan dan Lebaran; (4) aliran modal asing masih terjadi; (5) rupiah
terus melemah.
Secara
teknis, berdasarkan fundamental ekonomi tersebut, sebenarnya rupiah memang
pantas melemah. Namun, tetap saja pelemahan yang sedemikian besar di atas Rp
12.000 per dollar AS menimbulkan pertanyaan apakah rupiah lebih terimbas
sentimen negatif pilpres daripada data fundamental ekonomi?
Meski
tidak bisa memastikan 100 persen, saya berani berspekulasi bahwa sentimen
negatif pilpres memang benar terjadi. Pasar tampaknya cukup waswas dengan
dinamika pilpres yang sedemikian hiruk-pikuk sehingga menimbulkan
ketidakpastian (uncertainties).
Sistem
pemilu kita, yang memungkinkan terjadinya koalisi partai-partai dan gairah
berkampanye yang berlebihan sehingga menjerumuskan terjadinya aksi kampanye
hitam secara tidak bertanggung jawab, telah menyebabkan jarak elektabilitas
kedua kandidat semakin mendekat. Konsekuensinya, hal ini menimbulkan
ketidakpastian siapa yang bakal memenangi pilpres. Akibatnya, para investor
global tidak mau untuk segera mengeksekusikan rencana-rencana bisnisnya.
Mereka memilih menunggu hasil pilpres sebelum menjalankan aksi korporasi.
Sambil
menunggu, apa yang mesti dilakukan regulator? Apakah Bank Indonesia (BI)
perlu menaikkan BI Rate dari posisi sekarang 7,5 persen atau perlu melakukan
intervensi dengan mengalirkan cadangan devisanya ke pasar uang?
Saya
pikir, BI pun harus bersabar menunggu. Percuma saja mereka memasok dollar AS
untuk memperkuat kurs rupiah. Faktor sentimen pilpres rasanya sulit dilawan
dengan cadangan devisa. BI Rate dinaikkan pun percuma karena hal itu hanya
akan mempersulit bank-bank untuk menaikkan aktivitas penyaluran kredit ke
sektor riil.
Menunggu
9 Juli adalah pilihan yang tak bisa dihindari, baik oleh pelaku ekonomi
(investor, konsumen), maupun regulator (BI). Harapan terbaik kita terhadap
kedua capres adalah jika mereka memenangi pilpres haruslah bertegur sapa dan
akrab dengan para pelaku pasar (market
friendly). Sikap ramah kepada investor tidak berarti tidak berani
melakukan renegosiasi kontrak. Kontrak kita dengan Freeport, misalnya, harus
selalu dievaluasi karena perekonomian berkembang amat dinamis.
Siapa
pun pemenang pilpres juga harus agresif membangun infrastruktur. Sebagaimana
India, kita termasuk mengalami ”defisit infrastruktur”. Infrastruktur yang
buruk akan menyebabkan investor kabur. Inilah pelajaran terpenting dari
India.
Presiden
baru juga harus terus membangun kualitas sumber daya manusia. Program
keluarga berencana (KB) yang dulu sukses pada era Orde Baru ironisnya kini
tidak tampak bekasnya. Pengendalian jumlah penduduk menjadi salah satu kunci
agar ”bonus demografi” tidak berubah menjadi ”beban demografi” ketika
penduduk usia produktif harus menyangga penduduk usia tidak produktif yang
jumlahnya lebih besar.
Saya
tidak habis mengerti mengapa jumlah anak muda Indonesia yang bersekolah di
luar negeri (international student
mobility) hanya berada di peringkat ketiga di ASEAN, kalah dari Malaysia
dan Vietnam. Di seluruh dunia, juaranya adalah Tiongkok dan India. Untuk
meningkatkan daya saing, kita harus merebut pengetahuan dan teknologi. Itu
hanya bisa diperoleh dengan mengirimkan pemuda-pemudi sekolah ke luar negeri
secara agresif sebagaimana dulu BJ Habibie lakukan saat menjadi Menristek.
Jika
faktor-faktor itu dapat kita peroleh dari pemenang Pilpres 9 Juli nanti, kita
akan saksikan rupiah menguat dengan cepat. Saya duga level Rp 11.500 per
dollar AS merupakan ekuilibrium baru yang mestinya bisa kita raih pekan
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar