KITLV
Leiden Ditutup Selamanya
Suryadi ;
Dosen Kajian Indonesia di Universitas Leiden, Belanda
|
KOMPAS,
12 Juli 2014
Pada 1 Juli 2014, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
atau Lembaga Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia yang
berpusat di Leiden ditutup untuk selamanya.
Penutupan lembaga yang
dikenal sebagai KITLV itu mengagetkan para Indonesianis. Banyak petisi
dikirimkan kepada Pemerintah Belanda. Namun, tampaknya penguasa di Den Haag
tetap pada keputusannya dengan alasan menghemat pengeluaran.
Padahal, KITLV sudah
melekat dalam ingatan masyarakat akademis internasional yang mengkaji
Indonesia. Lembaga ini juga berkontribusi besar menjadikan Universitas Leiden
sebagai pusat studi Indonesia.
Hampir semua risalah
akademis bermutu mengenai Indonesia, juga disertasi doktor, mencantumkan
ucapan terima kasihnya kepada petugas perpustakaan KITLV Leiden.
Kecil pula kemungkinan
untuk tidak menemukan Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI), jurnal bertaraf internasional terbitan
KITLV yang usianya sudah lebih dari 150 tahun, dalam senarai bibliografinya.
Dengan kata lain, KITLV Leiden, karena kekayaan perpustakaannya yang
berlimpah, wajib dikunjungi para peneliti tentang Indonesia.
Sejarah
KITLV
KITLV berdiri pada 1851 di
Delft atas inisiatif tiga intelektual Belanda: Menteri Wilayah Jajahan yang
kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda JC Baud, Profesor Studi
Jawa di Delft dan Leiden Taco Roorda, dan Direktur Akademi Kerajaan Belanda
di Delft Gerrit Simons.
Penubuhan lembaga tidak
lepas dari tujuan untuk mengembangkan studi tentang tanah, budaya, dan
masyarakat jajahan (Hindia Belanda) di negara induknya (Belanda) untuk
melanggengkan kekuasaan kolonial mereka.
Maarten Kuitenbrouwer
dalam bukunya Dutch Scholarship in the
Age of Empire and Beyond: KITLV-The Royal Netherlands Institute of Southeast
Asian and Carribean Studies, 1851-2011 (2014), membagi perjalanan sejarah
KITLV menjadi lima fase: era rezim konservatif dan liberal (1851-1870); era
imperialisme, orientalisme, dan politik etis (1870-1914); masa mencelatnya
kajian Indologi di Leiden mendekati akhir zaman kolonial (1914-1940); era
dekolonisasi dan internasionalisasi (1940-1975); dan era kegiatan akademik
postkolonial (1975-[2014]).
KITLV telah beberapa kali
pindah kantor: dari Delft ke Den Haag dan akhirnya ke Leiden tahun 1967.
Sejak itulah, nama Leiden melekat pada KITLV sehingga seluruh dunia
mengenalnya dengan nama KITLV Leiden.
Oleh karena itu pula,
banyak orang mengira KITLV adalah bagian dari Universitas Leiden, padahal
secara administratif lembaga ini berdiri sendiri dan langsung bertanggung
jawab kepada Pemerintah Kerajaan Belanda.
Dalam usia cukup panjang,
KITLV telah berkembang pesat. Pada 1970-an, selain Departemen Perpustakaan
yang sudah lebih dulu ada, dibentuk tiga departemen baru: Departemen
Dokumentasi Sejarah Indonesia, Departemen Dokumentasi Indonesia Modern, dan
Departemen Karibia yang meneliti daerah-daerah bekas jajahan Belanda di
Karibia (termasuk Suriname). Ada pula KITLV Press yang mengurus penerbitan
buku dan Jurnal BKI.
Setiap tahun, Perpustakaan
KITLV menambah koleksi terkait dengan Asia Tenggara (dengan fokus Indonesia)
dan Karibia, meliputi buku, jurnal ilmiah, surat kabar, dan majalah, materi
visual (foto, sketsa, peta, atlas), dan audiovisual (piringan hitam, kaset,
CD, VCD).
Sekitar 10.000 judul buku
dibeli setiap tahun dari Indonesia. Koleksi Perpustakaan KITLV mencapai lebih
dari sejuta judul (buku, jurnal, majalah, surat kabar), puluhan ribu foto,
kartu pos, sketsa, gambar, peta, dan atlas, serta ratusan piringan hitam,
kaset, CD, dan VCD yang panjangnya lebih dari 10 kilometer jika dijejer.
KITLV Press, bekerja sama
dengan penerbit lain, menerbitkan tidak kurang dari 580 judul buku, sebagian
besar tentang Indonesia, meliputi bidang linguistik, antropologi, sejarah,
hukum, dan umum.
Akhir
legenda
Akibat krisis ekonomi yang
melanda Eropa, Pemerintah Belanda memotong subsidi untuk museum dan memerger
sejumlah lembaga kebudayaan, termasuk KITLV, untuk menghemat biaya.
Semula, pemerintah
mengusulkan agar KITLV dipindahkan ke Amsterdam untuk disatukan dengan
lembaga-lembaga lain di bawah KNAW. Namun, para pegawai KITLV menolak karena
mempertimbangkan nama KITLV yang sudah menyatu dengan (Universitas) Leiden.
Akhirnya, dipilih jalan
kompromi: seluruh koleksi perpustakaan KITLV tetap berada di Leiden (Mare,
23/10/2013).
Mulai 1 Juli 2014, setelah
eksis selama 163 tahun, KITLV ditutup untuk selamanya. Seluruh koleksi
perpustakaannya diserahkan ke Universiteitsbibliotheek
Leiden (UB Leiden) yang hanya berjarak 30 meter. Departemen Penelitian
akan terus eksis, tetapi tidak menyandang nama KITLV lagi. KITLV Press
diambil alih oleh Penerbit Brill yang tetap menerbitkan Jurnal BKI.
Universitas Leiden lega
dengan keputusan itu. Bekas koleksi Perpustakaan KITLV kian mengukuhkan
eksistensi UB Leiden sebagai perpustakaan terkaya di dunia mengenai
Indonesia. Dengan demikian, Universitas Leiden tetap menjadi pilihan utama mahasiswa
internasional yang ingin studi tentang Indonesia.
Tentu saja ada yang hilang
dengan ditutupnya KITLV: suasana keindonesiaan di ruang baca dan taman tempat
para mahasiswa dan peneliti internasional bertemu dengan rekan-rekan
Indonesia.
Belum ada gambaran yang
jelas bagaimana nanti bekas koleksi perpustakaan KITLV ini dikelola UB
Leiden. Mudah-mudahan UB Leiden menyediakan ”ruang Indonesia”, sekecil apa pun, sehingga roh KITLV tetap
terasa di sana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar