Kebenaran
yang Membebaskan
Peter C Aman ;
Staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
|
SINAR
HARAPAN, 16 Juli 2014
Kebenaran
adalah sesuatu yang paradoksal, selalu dirindukan bahkan diperjuangkan siapa
pun, kapan, dan di mana pun. Orang dapat mempertaruhkan segalanya asal
menemukan kebenaran. Debat hukum di ruang pengadilan, entah dengan
argumentasi yang rasional maupun bukan, semuanya bermuara ke upaya penemuan
kebenaran.
Namun,
ketika kebenaran tersingkap, apakah semua pihak menyukainya? Di situlah
paradoksnya! Kebenaran menyembuhkan, juga melukai. Ia ibarat buah simalakama.
Pihak yang yakin kebenaran akan menyembuhkan tak akan pantang mundur berupaya
menemukannya.
Pihak
yang takut bahwa kebenaran akan melukai akan berjuang dengan segala macam
cara untuk mengurung kebenaran dalam ruang gelap, agar tersembunyi dan tidak
tersingkap.
“Aletheia”
Ada
hal yang menarik dari analisis semantik yang dilakukan Martin Heidegger
tentang kebenaran. Ia menjelaskan, kebenaran dalam bahasa Yunani adalah aletheia–a (tidak) dan theia
(tersembunyi). Kebenaran berarti tidak tersembunyi, apa adanya, tanpa
embel-embel. Sesuatu dalam dirinya sebagaimana adanya (das Ding an sich).
Sesuatu
itu benar kalau tampil apa adanya, tanpa pemalsuan, rekayasa, embel-embel
yang malah menutup atau menyembunyikan kesejatian (autensitas) dari sesuatu
itu. Sesuatu dalam kesejatiannya menjadi sesuatu yang objektif. Siapa pun
akan melihat dan menemukannya sebagaimana dalam keadaannya yang sebenarnya.
Karena
itu bagi Heidegger, kebenaran berarti tidak tersembunyi. Menyingkapkan
kebenaran berarti berupaya membongkar unsur-unsur palsu yang tidak autentik,
yang menyebabkan tertutup atau tersembunyinya kebenaran.
Kebenaran
tak akan pernah sirna. Ia hanya “ditutup” dan “disembunyikan”. Kebenaran itu
abadi karena objektif dan pengakuan akan keberadaan serta autentisitasnya
tidak bergantung kepentingan atau selera subjektif.
Kebenaran
menyatakan dirinya. Kebenaran tidak dapat dihilangkan. Kebenaran dapat
dipalsukan menjadi kebenaran palsu, tapi itu bukan kebenaran itu sendiri.
Kebenaran tidak bisa ditiadakan. Kebenaran dapat di sembunyikan dalam
kegelapan, namun tak akan sirna. Sebaliknya, kebenaran akan ”diwartakan dari
atas atap rumah”.
Ketika
kebenaran tersingkap, ia dapat melukai mereka yang tidak menyukainya. Tetapi,
luka itu tersembuhkan ketika si terluka menerima dan mengakuinya.
Kebenaran
lantas membebaskan, sedangkan kepalsuan membelenggu. Sebagai contoh,
seseorang yang berbohong akan selalu berusaha agar kebenaran tidak menyatakan
diri. Ia berjuang dengan segala macam cara agar “kebohongannya” dipercayai
seolah-olah benar.
Selama
berbohong, ia tidak mengalami kebebasan karena selalu takut dan waswas,
jangan-jangan ada yang mengetahui bahwa ia sedang berbohong. Ia bisa
menggunakan apa saja, trik dan manipulasi, agar kebohongannya dipercayai
sebagai kebenaran.
Sebaliknya,
kalau seseorang jujur, menyingkapkan apa adanya, ia terbebaskan dari rasa
curiga dan waswas. Ia tidak takut risiko karena menyatakan yang benar. Ia
bebas dan tidak terbelenggu. Baginya, kebebasan benar-benar membebaskan.
“Gnothi Seauton”
Adalah
Socrates, yang memopulerkan ungkapan gnothi seauton, yang dapat diterjemahkan
“kenalilah dirimu”. Pengembangan diri menuju pribadi autentik, matang, dan
dewasa selalu bermula dari pengenalan diri.
Pengenalan
diri merupakan perjalanan panjang menuju diri sendiri, tetapi perjalanan itu
bukan individual semata, lepas dari sesama. Sebaliknya, proses itu merupakan
suatu dialektika antara aku dan pribadi lain.
Contoh
klasik tentang hal itu dapat ditemukan dalam tulisan suci, Kitab Kejadian.
Ketika berjumpa dengan pribadi lain, manusia pertama itu berseru, “Inilah
dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku (2:23),”.
Ia
mengenal siapa dirinya dalam perjumpaan (dialektika) dengan pribadi lain.
Seseorang yang sungguh mengenal dirinya sendiri atau terbuka berdialektika
dengan orang lain adalah seseorang yang mengakui dan menerima siapa dirinya,
serta mengakui dan menerima sesamanya sebagai diri yang lain.
Cikal
bakal menjadi manusia bijak adalah mengenal, menerima, dan mengakui diri
serta sesama. Menerima dan mengakui kebenaran tentang dirinya, serta menerima
dan mengakui kebenaran tentang yang lain merupakan karakter kuat dari pribadi
yang bijaksana.
Mengenal
diri bukan pertama-pertama menyangkut pengetahuan biologis tentang diri,
melainkan mengenal inti diri terdalam, yakni jiwa.
Jiwa
menjadi basis keberadaan yang paling dalam dari setiap manusia. Kemurnian,
kejujuran, dan ketulusan bertakhta dalam jiwa. Karena itu, Socrates
menyerukan setiap orang merawat jiwanya tetap suci, murni, dan tidak bercela.
Kemurnian
jiwa tersingkap dalam kejujuran, ketulusan, penerimaan diri apa adanya, serta
pencapaian dan kegagalannya. Orang bijak tidak sibuk mempersalahkan orang
lain ketika gagal.
Orang
bijak merendahkan diri, rendah hati, dan tidak arogan. Acuan sikap dan
perilaku sosialnya bersumber kebenaran tentang dirinya, maupun kebenaran
objektif yang dihadapkan kepadanya.
Berbohong,
angkuh, dan arogan adalah sinyal kuat kegagalan mengenal, menerima, dan
mengakui diri. Dari sikap seperti itu, amat sulit muncul spirit kesatria
untuk mengakui dan menghormati pribadi lain dengan segala keunggulannya, yang
melampaui dirinya.
Manusia
bijak mencintai kebenaran kendati itu melukainya. Itu karena ia percaya,
ketika menerima kebenaran, jiwanya tersembuhkan. Ia pun menjadi bebas.
Bukankah kebenaran sungguh-sungguh membebaskan, mengapa kita mengingkarinya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar