Kawasan
Karst dan Penambangan
B Sulistyo ;
Ahli Geoteknik, Hidrogeologi, dan Lingkungan Geologi;
Dosen Prodi Teknik Pertambangan ITB
|
SUARA
MERDEKA, 14 Juli 2014
KATA
karst akhir-akhir ini menjadi populer. Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun
2012 menyebutkan bahwa karst adalah bentang alam yang terbentuk akibat
pelarutan air pada batu gamping dan/atau dolomit.
Jadi,
dapat dipastikan bahwa lokasi penambangan batu gamping dengan cara tambang
terbuka akan menempati wilayah karst. Salah satu fungsi penting kawasan karst
adalah sebagai resapan air karena adanya rongga-rongga akibat pelarutan dan
rekahan. Rongga itu berfungsi sebagai conduitatau pipa penyalur yang baik
menuju zona jenuh air tanah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat
debit mata air di daerah karst sangat berfluktuatif, sesuai dengan kondisi
curah hujan.
Tetapi
kita juga melihat beberapa mata air sangat konstan atau sangat sedikit
terpengaruh oleh perubahan musim. Hal ini disebabkan adanya lapisan tebal
tanah merah (terra rosa) di daerah
lembah/cekungan, yang tetap berfungsi sebagai penyimpan air yang baik. Tanah
merah merupakan hasil pelapukan batu gamping di daerah lembah/cekungan yang
berfungsi ibarat spons yang bisa menyimpan air pada saat musim hujan.
Simpanan
air itu dilepas secara perlahan-lahan menuju zona rekahan, mengalir menuju
zona jenuh yang akhirnya menjadi mata air permanen di kaki karst. Namun tak
dapat dimungkiri kondisi itu mengalami perubahan karena praktik pertanian.
Ada pola pertanian yang tak menginginkan air terlalu banyak sehingga air
hujan yang seharusnya masuk dan tertahan di tanah merah, langsung dialirkan
menjadi aliran permukaan.
Dampaknya,
aliran air akan menggerus permukaan tanah, dan mengakibatkan kemiringan
lereng terjal. Dari realitas itu, kita melihat bahwa tanpa ada industri semen
pun kerusakan dan pencemaran air tanah di daerah karst dan ancaman banjir
bandang bisa terus terjadi. Untuk itu, perlu penyadaran secara terus-menerus
kepada masyarakat. Pemerintah juga harus mengevaluasi peraturan yang kurang
tepat, seperti larangan mengebor atau menggali di radius 200 m dari lokasi
kemunculan air tanah.
Logikanya,
berarti memperbolehkan atau mengizinkan penggalian di luar radius tersebut
tapi tanpa memperhitungkan apakah berisiko memotong air tanah atau tidak?
Seharusnya ketentuan itu perlu ditambah bahwa penggalian tak diizinkan bila
memotong zona transisi dan air permukaan dari lokasi penggalian harus masuk
sumur resapan atau embung jika kita ingin menjaga kelestarian air tanah di
daerah karst. Contoh lain yang sekarang kontraproduktif untuk investasi semen
di Jateng adalah lokasi cekungan Watuputih.
Menjadi
pertanyaan pula apakah benar di sebuah CAT tak boleh ada penambangan? Andai
benar maka regulator harus konsekuen tidak menerbitkan izin eksplorasi dan
eksploitasi mineral logam/nonlogam, batu bara, geotermal, dan minyak bumi.
Pasalnya hampir semua lokasi penambangan tersebut berada di lokasi cekungan
air tanah.
Budaya Pertanian
Studi
Dr Eko Haryono dari UGM menggunakan tracer
di batu gamping Formasi Paciran di atas zone Formasi Wonocolo, mata air
Brubulan berhubungan dengan lokasi karst. Namun tracer itu tidak terdeteksi
di mata air Sumbersemen Rembang. Dalam konteks itu jelas terlihat bahwa karst
berfungsi sebagai zona resapan air tanah bagi lokasi di bawahnya, seperti
diyakini banyak orang.
Tapi
kepesatan pertumbuhan penduduk di Rembang yang tak diimbangi ketersediaan
kesempatan kerja yang memadai, berujung pada pengolahan lahan dan pemberian
izin lokasi penambangan yang tidak memenuhi konsep konservasi air. Akibatnya,
bisa dipastikan pada masa mendatang Rembang bagian tengah tetap akan
kekurangan air. Untuk itu perlu menata ulang sistem cocok tanam dengan
melarang masyarakat membuang air hujan ke bawah, menggantinya dengan sistem
gulutan searah kemiringan lereng. Tapi ini mustahil dilakukan karena berisiko
menurunkan pendapatan petani.
Sebenarnya
ada upaya lain yang juga cerdas, yakni mengubah budaya pertanian yang banyak
ditinggalkan generasi muda, menjadi budaya industri yang mengandalkan
keahlian. Adapun petani generasi tua diarahkan dalam program penghijauan
berkesinambungan guna menjamin nafkah mereka.
Itu
semua bisa tercapai jika di Rembang bagian tengah ada industri besar
berwawasan lingkungan yang bisa mengolah bahan mentah jadi bahan jadi. Guna
mempertahankan fungsi karst diperlukan studi terbuka untuk menentukan lokasi
penambangan (bukan izin usaha pertambangan/IUP) yang tidak mengganggu karst.
Mengingat kawasan karst pada rawan tumbuhan maka ada kewajiban membuat buffer
zone selebar minimal 50 m.
Upaya
itu untuk memperluas areal resapan alami yang secara tidak langsung bisa
memberdayakan petani generasi tua tetap berkiprah di pertanian. Kita tidak
menutup mata bahwa mereka mungkin sulit beradaptasi dengan kemajuan
teknologi. Indonesia memiliki bahan baku semen berlimpah dan ada keinginan
anak bangsa mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi. Upaya itu berarti
meningkatkan nilai tambah dengan meningkatnya keahlian anak bangsa menjadi
pengekspor tenaga ahli semen ke mancanegara.
Namun
obsesi itu saat ini masih terhalang peraturan dan anggapan yang kurang tepat
dari sebagian masyarakat tentang karst. Sebenarnya hal itu bisa diatasi
dengan konsep pemilihan lahan tambang yang tepat, tata cara penambangan
berwawasan lingkungan. Jadi, apakah kita bersikukuh tak boleh menambang di
cekungan air tanah dan karst tidak boleh dilakukan? Artinya apakah kita siap
untuk terus mengimpor semen karena ingin mempertahankan wilayah karst tapi
tak bisa menyejahterakan rakyat sekaligus memperbaiki lingkungan karst? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar