Jangan
Terulang Tragedi Maracana
Sindhunata ; Wartawan Senior, Pemimpin Redaksi Majalah ‘Basis’
Yogyakarta
|
KOMPAS,
03 Juli 2014
BRASIL tidak diciptakan hanya untuk menjadi yang kedua. Juara, hanya
itulah yang harus dihitung oleh para pemain sepak bola Brasil. Dan, mereka
sadar benar akan harapan tersebut. Mereka juga sadar akan tanggung jawab
terhadap fans di tanah air mereka.
Demikian disampaikan Zico dalam wawancara dengan Frankfurter Allgemeine
Zeitung menjelang Piala Dunia 2014 ini. Zico, ”Si Pele Putih”, adalah dirigen
kesebelasan Brasil awal 1980-an.
Brasil adalah negara bola. Sampai ada pepatah, begitu dilahirkan
ibunya, seorang anak Brasil sudah menggiring bola di kakinya. Brasil sendiri
telah membuktikan apa artinya menjadi negara sepak bola. Mereka lima kali
menjadi juara dunia. Lebih daripada sekadar juara, mereka juga dikenal
sebagai pelaku sepak bola indah yang dikagumi dunia.
Karena hanya kemenangan yang dihitung, buat Brasil, kekalahan adalah
tragedi. Itulah mengapa kekalahan mereka dari Uruguay, 1-2, dalam final Piala
Dunia 1950 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, tetap hidup sebagai kenangan
pahit yang tak terlupakan sampai sekarang.
Tutur Zico, ”Waktu itu saya belum
lahir. Tetapi, ayah saya termasuk 200.000 penonton yang ada di Maracana.
Itulah pesta luar biasa setelah Perang Dunia. Brasil adalah tuan rumahnya,
tetapi kami ternyata kalah. Bagi kami, itulah tragedi, yang tragisnya mungkin
sama dengan tragisnya tragedi Perang Dunia, yang dialami negara-negara lain.
Setelah 16 Juli 1950, ayah saya tak mau menjejakkan kakinya lagi di Stadion
Maracana. Saya sering main di Maracana. Toh, ayah tetap tak mau ke sana.”
Di Piala Dunia 1950, Brasil tinggal sejengkal dari status juara. Saat
itu, tidak ada fase sistem gugur. Yang ada grup final, terdiri atas para
juara dari keempat grup penyisihan.
Brasil sudah memimpin, di depan Uruguay, Swedia, dan Spanyol. Dalam
partai pamungkas di Maracana tersebut, Brasil sesungguhnya hanya perlu hasil
seri melawan Uruguay.
Zico juga pernah mengalami sendiri betapa pahit sebuah kekalahan bagi
orang Brasil. Ia dan kawan-kawannya gagal di Piala Dunia 1982. Waktu itu,
kecuali Falcao dan Dirceu, semua pemain Brasil bermain dalam liga domestik.
Artinya, setiap minggu, orang langsung menonton mereka di stadion-stadion
setempat. ”Di jalan-jalan saya melihat, betapa kekecewaan terpantul dalam
wajah-wajah mereka,” kenang Zico.
Zico memuji, di bawah Scolari, Brasil dalam Piala Dunia 2014 adalah tim
kolektif yang kuat. Mereka langsung bisa menekan lawan. Mereka ingin menjebol
gawang lawan sedini mungkin dan tak tergoda untuk mengandalkan serangan
balik.
Toh, Zico khawatir juga. Soalnya, menurut Zico, tiga perempat pemain
Brasil adalah debutan di Piala Dunia dan dua pertiga dari mereka tidak pernah
bermain dalam kualifikasi Piala Dunia. Ada pemain Brasil yang berpengalaman
dalam Liga Champions di Eropa. Namun, itu kiranya belumlah modal yang cukup
untuk ikut berlaga di tingkat Piala Dunia.
Orang memang patut khawatir jika mengamati permainan Brasil sampai
babak 16 besar. Dalam laga pembuka, Neymar dan kawan-kawan sempat dibuat
repot oleh Kroasia. Mereka baru bisa keluar dari kebuntuan hanya karena aksi
diving Fred di kotak penalti Kroasia. Wasit Jepang, Yuichi Nishimura,
memberikan hadiah penalti bagi Brasil. ”Jika diving itu ditoleransi, bisa
terjadi 100 kali penalti di Piala Dunia ini. Kalau begitu, lebih baik piala
langsung diserahkan kepada Brasil saja,” kata Niko Kovac, pelatih Kroasia,
jengkel.
Brasil kemudian ditahan seri 0-0 oleh Meksiko. Setelah menunjukkan
keampuhannya dengan menang 4-1 atas Kamerun, di perdelapan final Neymar dan
kawan-kawan kembali membuat publik Brasil gemetar. Pada menit ke-119, pemain
Cile, Mauricio Pinilla, melakukan tendangan spektakuler. Hanya kurang 4
sentimeter, bola Pinilla itu akan masuk ke gawang Julio Cesar. Hal itu tidak
terjadi. Bola membentur gawang. Andaikan tidak tertolong oleh gawang itu,
akan terjadilah bencana di Stadion Mineirao di Belo Horizonte itu.
Bencana itu mungkin akan bernama Mineirazo, yang mengingatkan kembali
akan tragedi Maracana, yang di Brasil dikenang sebagai Maracanazo.
Brasil menjadi juara dunia di Swedia (1958), Cile (1962), Meksiko
(1970), Amerika Serikat (1994), dan Korea Selatan-Jepang (2002). Justru
ketika menjadi tuan rumah 1950, mereka gagal menjadi juara karena tragedi
Maracana. Jika kali ini gagal seperti 64 tahun lalu, ini benar-benar bencana.
Soalnya di Brasil, Piala Dunia kali ini tak hanya menjadi perkara bola, tetapi
juga perkara politik.
Menurut Mirian Goldenberg, antropolog sosial di Universitas Rio de
Janeiro, sekarang di Brasil orang sedang akrab dengan kata imagina na copa. Artinya kurang lebih:
coba Anda bayangkan, apa saja yang terjadi menjelang Piala Dunia ini? Inilah
yang terjadi: proyek bangunan belum jadi, kemacetan di jalan, inflasi,
pelacuran anak-anak, kemiskinan, dan anak-anak gelandangan. Bahkan, kaum
menengah yang punya uang pun tak dapat memperoleh pelayanan kesehatan memadai
karena belum tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan.
Mengapa uang besar-besaran digunakan untuk membangun stadion mewah,
bukan untuk membangun jalan, rumah sakit, dan sarana pendidikan?
Rakyat Brasil mencintai bola. Tetapi, sebagian mereka tak mencintai
Piala Dunia 2014 karena dianggap melawan keadilan yang mereka dambakan.
Ketika Piala Dunia dilangsungkan di luar Brasil, nyaris tak ada yang serius
mengaitkan bola dengan persoalan sosial, seperti kemiskinan atau hak-hak
warga sipil yang terabaikan. Justru ketika Brasil jadi tuan rumah, bola
dikaitkan dengan masalah itu semuanya. Baru kali ini di Brasil, tiba-tiba
bola menanggung beban sosial dan politik.
Seandainya Brasil juara, beban sosial dan politik itu tetap menjadi
persoalan. Apalagi jika Brasil kalah di rumahnya sendiri, ini sungguh krisis
yang bisa dijadikan alasan untuk makin menentang pemerintah. Karena itu,
tidak hanya demi bola, demi politik pun Brasil tak boleh lagi mengalami
tragedi Maracana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar