Jangan
“Bunuh” Hitung Cepat
Hamdi Muluk ;
Ketua Dewan Etik Persatuan Survei Opini Publik (Persepi)
|
KOMPAS,
15 Juli 2014
Perbedaan
hasil hitung cepat oleh beberapa lembaga penyelenggara hitung cepat pada
Pemilu Presiden 9 Juli 2014 menimbulkan kekisruhan dan kontroversi yang
berkepanjangan sampai saat ini. Terlebih lagi hasil hitung cepat yang berbeda
itu dipakai kedua kubu untuk saling klaim kemenangan berdasarkan keyakinan
kubu masing-masing kepada keabsahan dan keakuratan hasil hitung cepat
tersebut. Menghadapi kekisruhan ini tentu kita harus bijak menyikapinya:
tidak terpancing menggunakannya sebagai bahan berseteru di tingkat massa.
Secara
konstitusional, pemenang pemilu yang definitif harus menunggu penghitungan
resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebelumnya, ada baiknya kita memahami dulu
apa yang disebut dengan hitung cepat? Apa bedanya dengan survei atau jajak
pendapat?
Survei dan hitung cepat
Kita
sering mengacaukan beberapa pengertian yang terkait fenomena politik,
terutama dalam konteks elektoral akhir-akhir ini, yaitu jajak pendapat publik
yang sering memakai metode sigi (survei), ada yang dilakukan sebelum hari
pencoblosan atau segera setelah pemilih keluar dari bilik suara, exit poll. Kebingungan sering terjadi
mengingat ketiga-tiganya merujuk kepada soal yang sama: keterpilihan seorang
kandidat dalam pemilu.
Hanya
saja, kalau kita paham, tingkat keterpilihan yang diungkap sebuah jajak
pendapat pada hakikatnya tetap bersifat pendapat, sesuai dengan yang
dilaporkan responden berdasarkan kecenderungannya dalam memilih, bukan
kenyataan sesungguhnya, actual behavior.
Pada derajat dan kondisi tertentu, preferensi atau kecenderungan ini bisa
kita jadikan sebagai prediksi terhadap perilaku memilih—mencoblos—pada pemilu
sesungguhnya.
Bahkan,
apabila survei berbentuk exit poll
(ditanyakan kepada pemilih: barusan dia memilih kandidat siapa), tetap saja
itu adalah pendapat. Ia berbeda secara prinsip dengan menghitung perolehan
suara aktual hasil pencoblosan (ketika surat suara dihitung) atau yang kita
sebut sebagai hitung cepat. Jajak pendapat tentu hasilnya bersifat sangat
relatif dan bisa sangat bervariasi bergantung pada siapa sampel penelitian,
bagaimana alat ukurnya, serta waktu dan kondisi yang bagaimana. Jika hasilnya
berbeda-beda, itu bisa sangat logis.
Kenyataan sesungguhnya
Hitung
cepat adalah menghitung kenyataan yang sesungguhnya, hasil coblosan, karena
itu merujuk kepada kenyataan yang sudah pasti: hasil tabulasi di tempat
pemungutan suara (TPS). Oleh karena itu, sejatinya hitung cepat bukanlah
usaha ilmiah untuk memprediksi suatu kejadian seperti survei; kejadiannya
sudah jelas, hanya saja kita ingin tahu peta perolehan suara secara cepat dan
akurat. Logikanya, hasil hitung cepat seharusnya bisa sampai pada kesimpulan
yang sama jika mengikuti kaidah ilmiah yang standar.
Untuk
mencapai maksud tersebut, kita bisa memanfaatkan metode statistik untuk
mengetahui peta perolehan suara tersebut tanpa harus menghitung suara di
seluruh TPS di Idonesia. Kita cukup mengambil sejumlah tertentu sampel TPS
secara acak proporsional dengan jumlah penduduk dan juga dengan memperhatikan
stratifikasi sebaran pemilih.
Ringkasnya,
kerangka pencuplikan (sampling)
yang benar akan menentukan seberapa akurat hasil hitung cepat tersebut.
Apakah pencuplikan itu memadai untuk menarik simpulan? Analogi sederhana
argumentasi kebenaran pencuplikan itu bisa seperti ini: Anda tidak perlu
memakan satu gentong kuah soto untuk mengetahui rasa soto tersebut; Anda
cukup mencicipi dengan mengambil sampel beberapa sendok di tempat-tempat
tertentu di dalam gentong itu secara acak untuk tahu betapa lezat soto itu.
Metode
hitung cepat pada awalnya dipelopori lembaga pemantau pemilu di Filipina, Philippine National Citizen Movement for
Free Elections (Namfrel) ketika mereka mengawal Pemilu 1986. Pada waktu
itu, teknik ini dikenal dengan nama tabulasi hasil penghitungan suara secara
paralel, parallel vote tabulation (PVT). Karena banyak praktik curang yang
mungkin dilakukan oleh siapa saja (bisa pemerintah, kelompok-kelompok
tertentu, atau justru lebih sering oleh lembaga penyelenggara pemilu yang
tidak netral), segera setelah hasil coblosan ditabulasi di tingkat TPS,
elemen masyarakat sipil segera ”memetakan” hasil perolehan suara dengan
menghitung secara paralel dengan memanfaatkan metode pencuplikan.
Karena
penghitungan paralel bisa dilakukan secara cepat, metode ini lazim disebut
sebagai hitung atau tabulasi cepat. Dasar ilmiah hitung cepat ini adalah
teori statistik yang sangat elementer, yang dikenal dengan Central Limit Theorem dan Law of Large
Number.
Untuk
penjelasan yang tidak terlalu teknis, jika kedua hukum ini kita gabung, prinsipnya
sebagai berikut: jika sebuah sampel ditarik dari populasi yang besar secara
acak dengan jumlah tertentu (mengikuti Law
of Large Number: berarti semakin banyak sampel, akan semakin bergerak ke
arah rata-rata, ke arah tren yang kita duga), distribusi hasil di sampel
bentuknya akan mirip dengan persebaran di populasi yang dianggap akan
terdistribusi mengikuti kurva normal. Artinya, jika Anda mengambil sampel
dengan taat asas mengikuti prinsip pencuplikan acak dengan jumlah yang
memadai, Anda bisa mengetahui keadaan populasi yang sesungguhnya (dalam
konteks kita: gambaran perolehan suara nasional).
Tentu
saja ketika Anda hanya mengambil sampel dengan jumlah tertentu, kesalahan
mungkin saja terjadi, ini yang dikenal sebagai margin of error (atau dalam bahasa Indonesia kita sebut saja
sebagai pias gawal). Semakin besar
sampel, semakin kecil pias gawal.
Asal penarikan sampel murni dilakukan secara acak, jumlah TPS 2.000
sebenarnya cukup memadai untuk menarik kesimpulan dengan pias gawal sekitar 2
persen. Artinya, jika nanti mendapatkan hasil capres A lebih unggul dari
capres B di atas 2 persen, kita bisa tarik kesimpulan secara statistik bahwa
kandidat A memenangi pilpres. Jika perbedaannya di bawah 2 persen, tentu
belum bisa diputuskan, harus menunggu hasil penghitungan keseluruhan suara
oleh KPU yang pias gawalnya menjadi nol.
Anak kandung demokrasi
Jadi,
dengan begitu, dilihat dari maksud dilakukannya hitung cepat pertama kalinya
dalam sejarah, sebenarnya pada hakikatnya ia adalah ”anak kandung” demokrasi
untuk mengawal jangan sampai ada usaha-usaha untuk memanipulasi suara segera
setelah pencoblosan selesai ketika akan ditabulasi secara nasional.
Hasil
hitung cepat akan berfungsi sebagai kontrol terhadap demokrasi karena ia
telah diverifikasi secara ilmiah. Sekalian bonus dari usaha ini adalah
masyarakat segera dapat gambaran hasil pemilu tersebut tanpa harus menunggu
penghitungan keseluruhan suara atau yang sekarang populer disebut real count,
hitung riil, itu.
Jadi,
sudah gamblang jelas bahwa hasil coblosan pada 9 juli 2014 itu adalah tidak
mungkin berubah, kecuali setelah itu dimanipulasi. Berapa pun banyaknya
lembaga yang melakukan hitung cepat dengan menggunakan prosedur benar,
seharusnya sampai pada hasil yang kurang lebih sama. Lantas, mengapa hasilnya
bisa berlainan? Kalaupun berbeda, seharusnya tidak dalam rentang deviasi
standar yang keluar dari kurva normal (+/- 3 Sd). Perbedaan hasil seharusnya
masih dalam rentang pias gawal yang dipilih. Kemungkinan perbedaan hasil bisa
kita telusuri pada beberapa hal.
Pertama-tama
ialah kesalahan pencuplikan, sampling
error. Peneliti tidak menerapkan pencuplikan acak, misalnya secara
sengaja mengambil sampel di TPS-TPS tertentu yang ia anggap basis pendukung
capres tertentu. Kesalahan pencuplikan bisa juga terjadi kalau peneliti tidak
mengerti bagaimana cara menarik sampel secara acak, bukan karena niat buruk,
misalnya.
Di
luar kesalahan pencuplikan, kesalahan sebenarnya bisa bersumber dari
kesalahan teknis dan human error.
Kesalahan ini bisa ditelusuri dengan melihat: apakah lembaga penyelenggara
itu profesional dalam mengelola aspek teknis ini. Misalnya, apakah tim
dipersiapkan secara matang jauh hari sebelumnya: perekrutan, pelatihan, uji
coba, mekanisme kontrol (supervisor),
menguji keterandalan data center, dan perangkat lunak yang dipakai.
Tentu
saja prosedur ini bisa saja dilanggar semua kalau penyelenggara memang tidak
punya integritas dan secara sengaja memanipulasi proses ini. Hal ini hanya
bisa diketahui kalau dilakukan audit menyeluruh terhadap penyelenggaraan
hitung cepat tersebut.
Opini
yang beredar saat ini bahwa sebaiknya penyelenggaraan hitung cepat dilarang
karena menimbulkan kekisruhan dalam masyarakat adalah pendapat yang
berbahaya. Hitung cepat penting untuk mengawal demokrasi. Kita hanya perlu
”menyeleksi” lembaga mana yang menyelenggarakan hitung cepat secara tidak
bertanggung jawab untuk diberi sanksi tidak boleh lagi menyelenggarakan
hitung cepat pada masa depan dan figur penanggung jawabnya kalau perlu
dimasukkan dalam daftar hitam.
Ke
depan perlu dipikirkan untuk menerbitkan semacam sertifikasi kepada lembaga
survei yang boleh menyelenggarakan survei dan hitung cepat. Melarang hitung
cepat sama dengan membunuh demokrasi dan ilmu pengetahuan. Membunuh demokrasi
dan ilmu pengetahuan sama saja dengan membunuh peradaban.
Jadi,
jangan ”bunuh” hitung cepat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar