Efek
Polisi Main Tembak
Herie Purwanto ;
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
|
SUARA
MERDEKA, 16 Juli 2014
Agus
Adha Prasetyo, anggota Direskrimsus Polda Jateng menembak Kamyadi (40), warga
RT 2 RW 4 Dusun Ngambilan, Desa Rejosari, Kecamatan Grobogan, Kabupaten
Grobogan. Korban yang terluka di kepala bagian kanan itu langsung jatuh
terkapar bersimbah darah dan meninggal dunia (SM, 14/7/24).
Kabid
Humas Polda Jateng Kombes A Liliek Darmanto menyayangkan penembakan tersebut.
Pada bulan Ramadan, seharusnya anggota polisi lebih bisa menahan diri dan
tidak mudah terpancing. Meskipun, menurut informasi, korban mengancam pelaku
menggunakan pisau, tapi seharusnya tindakannya bukan dengan menembak.
Publik
pun kembali bertanya, mengapa polisi gampang mengeluarkan senjata api, dan
menembak orang? Dalam konteks ini yang dimaksud adalah gampang menembak untuk
persoalan pribadi? Tidakkah disadari dengan menembak untuk hal-hal yang
bersifat pribadi, sekalipun dalam kondisi mempertahankan diri, tetap keluar
dari konteks asas proporsional.
Asas
proporsionalitas merupakan asas yang harus dipegang oleh tiap anggota polisi
dalam melaksanakan tugas. Menghadapi persoalan, ia harus menyadari tak boleh
menggunakan fasilitas kedinasan. Ia bahkan harus bisa menanggalkan atribut
kedinasan sehingga tidak ada alasan pembenar ketika penggunaan alat-alat
kedinasan itu menyebabkan kerugian, lebih-lebih jiwa orang lain.
Aturan
kedinasan tentang penggunaan senjata api ditujukan saat melakukan tindakan
kepolisian berkait peran/ fungsi represif atau dalam konteks penegakan hukum.
Regulasi tersebut misalnya diatur dalam ketentuan tentang implementasi
prinsip dan standar HAM dalam
penyelenggaraan tugas kepolisian.
Regulasi Tegas
Regulasi
ini juga merujuk pada Resolusi Nomor 5 PBB Nomor 34/168 Tahun 1980 tentang
Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum, yakni bila
penggunaan kekuatan dan senjata api secara sah tak dapat dihindari maka
aparat penegak hukum harus: melaksanakan pengekangan diri dalam penggunaan
kekuatan dan senjata api dan bertindak proporsional terhadap keseriusan
pelanggaran yang sedang berlangsung serta terhadap tujuan absah yang hendak
dicapai.
Bagaimana
dengan penggunaan senjata api di luar kedinasan? Atau di luar tindakan
kepolisian? Inilah yang belum terakomodasi dalam regulasi. Ketentuan yang
mengatur penggunaan senjata api selama ini dalam konteks kedinasan. Sementara
dalam beberapa kejadian, polisi menyalahgunakan penggunaan senjata api sama
sekali murni tindakan nonkepolisian atau pribadi.
Ini
tentu menjadi koreksi dan bahan evaluasi, perlunya regulasi tegas yang
memberikan batasan normatif kepada anggota polisi yang memegang senjata api.
Pasal yang kerap digunakan terhadap penyalahgunaan senjata api di luar
konteks kedinasan mengacu akibat dari perbuatan tersebut. Misalnya penerapan
Pasal 359 KUHP tentang kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain, ataupun
dengan pasal lain bila sudah menyangkut hilangnya jiwa orang lain, seperti
Pasal 338 KUHP ataupun bila direncanakan bisa dijerat dengan Pasal 340 KUHP.
Sanksi
lain seperti hukuman disiplin, kode etik dan seterusnya yang terberat adalah
pemecatan dari dinas. Sanksi ini nyatanya juga belum efektif memunculkan efek
jera penggunaan senjata api di luar kedinasan. Mengapa hal ini terjadi?
Apakah secara kodrati, ketika manusia sudah dirasuki amarah, kebencian dan
dendam akan mengabaikan sanksi yang berat sekalipun?
Bila
ini yang menjadi latar belakang polisi main tembak di luar konteks kedinasan,
apa yang bisa dilakukan untuk mencegah pengulangan kasus serupa? Rangkaian
persyaratan administrasi, psikologi hingga kemampuan menembak sudah
dipersyaratkan. Namun, ujung-ujungnya persyaratan tadi hanya bersifat
fotografis, karena sebagai sarana legalitas. Sementara emosi dan kondisi
seseorang, bisa berubah karena keadaan yang tidak bisa ia kendalikan.
Meskipun ia telah lolos tes psikologi dengan nilai di atas 9 sekalipun.
Inilah masalahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar