Bijaksana
Menyikapi Quick Count
Harianto ;
Staf Khusus Presiden Bidang Pangan dan Energi
|
REPUBLIKA,
15 Juli 2014
Seorang ibu hendak membeli
beras. Di hadapannya ada beberapa kotak dengan gundukan beras. Ada selembar
karton dengan tulisan harga di depan masing-masing kotak. Harga yang tercantum
berbeda di setiap kotak. Di samping tulisan harga, ada karton bertuliskan
jenis atau varietas beras. Si ibu meraup beras dari salah satu kotak, dan
mengamati butir-butir beras di tangannya. Dia mencium beras itu. Proses yang
sama dia lakukan di kotak beras lainnya. Setelah itu, si ibu memutuskan
membeli tiga kilogram beras dari salah satu kotak yang bertu lis kan pandan
wangi cianjur.
Apa yang dilakukan ibu
tersebut saat meraup beras di tangan dan mengamatinya, adalah satu tindakan
yang bisa dikategorikan sebagai quick
count. Melalui contoh beras yang diambil, ibu itu dapat menarik
kesimpulan kualitas beras. Prediksi atau perkiraan tentang kualitas beras di
setiap kotak didasarkan indikator-indikator yang dapat dia amati di sampel
beras di tangannya. Ibu itu secara cepat dapat melihat apakah beras yang ada
di tangannya: (a) berbulir panjang atau pendek; (b) apakah ada kotoran yang
berupa kerikil, kulit beras, debu atau lainnya; (c) berapa banyak beras yang
patah; dan (d) adakah bercak-bercak putih seperti kapur. Dengan mencium aroma
beras di tangannya, ibu ini bisa menduga apakah beras masih relatif baru atau
sudah cukup lama disimpan, dan apakah beras beraroma atau tidak.
Hasil pengamatan ibu itu,
berdasarkan segenggam beras di tangan, dapat secara akurat menggambarkan
kualitas seluruh beras di kotak, dengan syarat seluruh isi kotak tercampur
dengan baik (homogen). Kesimpulan ibu tersebut bisa salah jika kerikil atau
kotoran cenderung mengelompok di bagian tertentu dalam kotak. Namun, ibu ini
mengetahui bahwa penjual mengambil beras di bagian atas untuk ditimbang dan
diserahkan ke pembeli, sehingga tidak perlu khawatir tentang kualitas beras di
tumpukan bawah.
Besar kecilnya jumlah
sampel tidak bisa dijadikan satu-satunya indikator akurasi suatu survei.
Sampel yang diambil hendaknya mewakili keragaman yang ada. Contoh
sederhananya, untuk mengetahui apakah sebuah botol berisi kecap asin atau kecap
manis, kita cukup ambil sampel setetes kecap dan mengecapnya. Tidak perlu
ambil sampel satu sendok atau satu gelas kecap. Kita bisa lakukan pengambilan
sampel seper ti itu karena tahu bahwa isi botol itu sepenuhnya homogen.
Quick
count yang akurat secara sederhana dapat diilustrasikan
seumpama kualitas printer. Dulu kita mengenal printer Dot Matrix dengan
kerapatan titik-titik per inci kuadrat yang berbeda-beda. Titik-titik
tersebut bisa diumpamakan sampel dalam survei. Meskipun printer memiliki
kerapatan titik-titik yang rendah, saat mencetak gambar wajah seseorang kita
tetap bisa mengenali siapa orang yang gambarnya dicetak. Memang wajah orang
tersebut lebih buram jika dibandingkan dengan hasil cetak printer dengan
kerapatan titik-titik lebih tinggi, namun hasilnya tetap merupakan wajah yang
kita kenal.
Hasil quick count bisa tidak akurat mengambarkan hasil pilpres yang
sebenarnya jika dalam desain pemilihan sampel, metode pengumpulan data, sam
pai pada pelaksanaannya tidak dilaku kan dengan tepat dan benar. Hasil quick count hanyalah prediksi atau
dugaan terhadap hasil penghitungan riil yang lengkap.
Sebagaimana prediksi, maka
bisa tepat dan bisa meleset. Quick count
dilakukan karena kita tidak sabar menunggu hasil penghitungan selesai
seluruhnya, dan semoga bukan karena tidak percaya terhadap hasil penghitungan
KPU. Harga yang harus dibayar untuk ketidak-sabaran tersebut adalah risiko
adanya perbedaan hasil antara quick
count dengan penghitungan riil yang lengkap.
Kredibilitas lembaga survei
di Indonesia mulai diragukan saat berbagai hasil survei sebelum pemilu
legislatif (pileg), berbeda jauh dengan hasil riil setelah pileg.
Perbedaannya bahkan ada yang jauh di luar derajat akurasi yang dinyatakan
lembaga survei bersangkutan. Berbagai dalih dan alasan dikemukakan mengapa
terjadi ketidakakuratan tersebut, yang pada dasarnya semuanya semakin
memperkuat bahwa hasil survei memang bisa tidak akurat. Survei yang dilakukan
dengan tepat dan benar seharusnya memiliki daya prediksi akurat.
Namun, jika survei
dimaksudkan juga untuk pembentukan opini tertentu, maka hasil survei tersebut
akan sulit dipercaya akurasinya.
Dengan hasil quick count pilpres yang berbeda-beda,
adalah bijaksana arahan presiden agar semua orang menunggu hasil perhitungan KPU.
Juga sikap yang tepat jika KPU menyatakan tidak terpengaruh dan bahkan harus
mengabaikan seluruh hasil quick count
lembaga survei. Dengan perbedaan suara hasil quick count yang begitu tipis, secara statistik, maka berisiko
tinggi mengandalkan hasil quick count
yang berbeda-beda itu sebagai acuan hasil akhir.
Penghitungan riil oleh KPU
yang akuntabel, akurat, dan melibatkan kedua pihak, seperti saran presiden, merupakan
cara terbaik untuk memastikan hasil akhir pilpres yang benar-benar sama
dengan suara rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar