Benar-Benar
Melayani
Herie
Purwanto ; Kasat Binmas Polres Pekalongan
Kota,
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Pekalongan (Unikal)
|
SUARA
MERDEKA, 01 Juli 2014
POLRI
senantiasa menyatakan diri sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom
masyarakat. Tiga hal itu manifestasi atas salah satu tugas pokok Polri,
sebagaiana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri). Tugas sebagai pelindung dan pelayan
masyarakat tersebut menjadi tugas polisi secara universal: to protect and to service.
Dalam
perjalanannya, secara kelembagaan pada 1 Juli 2014 korps Bhayangkara
memperingati HUT ke-68. Bila dianalogkan sebagai perjalanan hidup manusia,
usia 68 tahun tentunya usia yang
kelewat matang. Dalam usia itu, seseorang harus dapat menjadi sosok anutan mengingat telah
kenyang melalui berbagai fase kehidupan dan pengalaman.
Karena
itu, masih dalam kerangka analog tadi, tentunya Polri semestinya sudah makin
dekat, dan makin memahami karakter mereka yang dilayani, yaitu masyarakat.
Artinya masyarakat merasa benar-benar diperlakukan sebagai majikan yang harus
mendapat kepuasan. Kata eloknya adalah sudah terbentuk mindset pada seluruh
anggota kepolisian untuk memberikan yang terbaik berkait dengan tugas
pelayanan tadi.
Namun
keluar dari analog tadi, yang dirasakan saat ini masyarakat masih menganggap
Polri belum bisa sepenuhnya melaksanakan tugas pelayanan tersebut. Banyak standard operating procedure (SOP)
yang dibuat dan dipampangkan di ruang-ruang pelayanan publik belum sepenuhnya
secara utuh dilaksanakan. Di lapangan masih ada keluhan, pertanyaan, bahkan
sanggahan, sebagai wujud kekontraproduktifan atas SOP tersebut.
Padahal
filosofi dari sebuah SOP, merupakan bentuk komitmen tranparansi tahapan,
prosedur, atau mekanisme sebuah proses yang harus dipenuhi. Atas dasar SOP
itu pula, tindakan pelayanan kepolisian menjadi legal dan bisa diukur, baik
secara kualitas maupun kuantitas.
Menjadi
pelayan, dalam konteks budaya Jawa berarti menjadi abdi. Menjadi abdi berarti
secara total siap untuk menyerahkan waktu, tenaga, dan pikiran. Ia tidak lagi
berhitung secara materi. Tidak ada konsep wani pira atas pelayanan berupa
penanganan perkara, dalam penerapan pasal ataupun perilaku lainnya selama
proses penegakan hukum.
Tentu
akan makin menjauhkan substansi makna sebagai pelayan bila mindset tadi masih
terbalut oleh orientasi keuntungan pribadi. Tugas pelayanan yang merupakan
tindakan kepolisian merupakan simbolisasi pelayanan negara kepada warganya.
Artinya, andai melalukan penyimpangan, hal itu sudah masuk dalam ranah abuse
of power yang jelas-jelas tidak sejalan dengan kebijakan kapolri era
pascareformasi.
Kembali ke Jati Diri
Sejak era
kepemimpinan Jenderal Sutanto, semangat reformasi dalam pelayanan masyarakat
menjadi salah satu prioritas kebijakan. Secara turun-temurun, hingga era
Kapolri Jenderal Sutarman menanamkan
hal tersebut. Kebijakan ini, tentunya jadi sebuah beleid yang harus
dilaksanakan oleh semua anggota polisi. Sejalan dengan arus reformasi itu
sendiri, berarti sudah hampir 15 tahun konsep baru tentang Polri sebagai
pelayan yang antikorupsi, antikolusi, dan antinepotisme diluncurkan.
Dalam
tataran kelembagaan, produk regulasi yang ada sebagai dasar operasional tugas
pelayanan kepolisian sudah memuat substansi anti-KKN. Misalnya dari regulasi
berkiat pola perekrutan, pembinaan karier, hingga tranparansi penyidikan dan
anggaran. Namun, sebagaimana masih adanya keluhan dan komplain dari
masyarakat, pada tataran pelaksanaannya masih dirasakan ada penyimpangan.
Hal
itulah yang seharusnya pada momentum peringatan HUT Ke-68 Bhayangkara pada
hari ini, Polri harus kembali pada jati dirinya sebagai pelayan masyarakat
yang benar-benar melayani dengan sepenuh hati. Ketulusan dalam pengabdian
kepada masyarakat akan membuahkan empati. Sebaliknya, bila tidak, masyarakat
perlahan-lahan akan meninggalkan.
Proses
untuk menjadi pelayan yang benar-benar melayani harus terus berjalan. Ada dua
hal mendasar yang bisa dilaksanakan. Pertama; garis kebijakan dan strategi
harus bisa menyentuh tataran pelaksana, artinya tidak hanya muncul, dipahami,
dan dikuasai oleh tataran pembuat kebijakan. Banyak regulasi yang dibuat
melalui proses kajian akademik, namun kita bisa melihat aplikasi dan
penjabarannya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Kedua;
tindak lanjut dari persoalan pertama mengharuskan penguatan bidang pengawasan
manajerial. Perlu terus memberdayakan secara optimal peran pengawas internal
ataupun eksternal serta tidak membuka celah negatif atau hanya lips service yang ujung-ujungnya hanya
bentuk formalitas kelembagaan. Ini yang harus diubah supaya Polri ke depan
benar-benar bisa menjadi pelayan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar