Ancaman
Tirani Parlemen Lewat Amandemen UU MD3
W Riawan Tjandra ;
Doktor Hukum Administrasi Negara UGM,
Pengajar hukum kenegaraan Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Juli 2014
DI saat perhatian publik
dan para pengamat kritis terfokus pada perhelatan kampanye pilpres, politisi
di gedung miring ternyata sedang menjalankan agenda untuk melakukan amendemen
UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Amendemen UU MD
3 jika dicermati berdasarkan konstelasi checks
and balances sistem ketatanegaraan saat ini merupakan sesuatu yang memang
tak mungkin dielakkan (conditio sine
qua non), mengingat implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No
92/PUU-X/2012 (mengenai reposisi kedudukan dan peranan DPD RI dalam sistem
legislasi) dan putusan MK No 35/PUU-XI/2013 (tentang pemangkasan kewenangan
Badan Anggaran DPR RI).
Alih-alih mendukung
transformasi demokrasi pascapileg dan pilpres, ternyata para legislator
justru berpotensi menjadi penjagal demokrasi melalui hasil amendemen UU No 27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dengan mengonstruksi
pasal-pasal bermasalah di dalamnya. Amendemen terhadap UU MD3 masih kental
dengan nuansa transaksi politik untuk menyelamatkan posisi politik dari
fraksi yang harus mengalami penciutan jumlah keanggotaan sebagai implikasi
kegagalan dalam pemilu legislatif.
Hal itu terlihat dari
rumusan Pasal 84 ayat (1), (5) dan (6) UU MD 3 hasil amendemen yang mengatur
bahwa pimpinan DPR terdiri atas 1 orang ketua dan 4 orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh anggota DPR. Pimpinan DPR dipilih secara musyawarah
untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
Dalam hal musyawarah
untuk mufakat tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara.
Rumusan itu berbeda dengan Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU MD3 yang sebelumnya
menyatakan bahwa pimpinan DPR terdiri atas 1 orang ketua dan 4 orang wakil
ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi
terbanyak di DPR.
Ketua DPR ialah anggota
DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama
di DPR. Dari perubahan ketentuan terkait pengisian jabatan pimpinan DPR
tersebut, terlihat sangat jelas upaya untuk menjegal partai pemenang Pemilu
Legislatif 2014 kali ini untuk tidak secara otomatis bisa menduduki jabatan
pimpinan di DPR. Selain itu, arah amendemen justru sangat kental dengan upaya
untuk melanggengkan perilaku koruptif para politisi gedung miring tersebut.
Hal itu terlihat dari
dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di satu sisi dan di sisi lain
dihilangkannya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang dalam UU MD3
sebelumnya diatur pada Pasal 81 ayat (1) huruf f. Dalam UU hasil amendemen
itu, dimunculkan alat kelengkapan baru DPR yang bernama MKD yang diatur
berdasarkan Pasal 83 ayat (1) huruf g UU MD 3 hasil amendemen.
Dalam Pasal 119 ayat (2)
UU MD3 hasil amendemen diatur bahwa MKD bertujuan menjaga serta menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Namun, berbeda dengan Badan Kehormatan DPR dalam UU MD3 sebelumnya, MKD
diberikan otoritas atributif tak hanya di ranah pemeriksaan pelanggaran kode
etik anggota DPR, tapi juga diberikan perluasan wewenang yang menyerupai semi
peradilan (quacy judicial).
Hal itu terlihat dari
beberapa atribusi wewenang yang diberikan kepada MKD. Pertama, pengaturan
mengenai pola dan kewenangan pemeriksaan atas pengaduan pelanggaran kode etik
dan peraturan perundang-undangan bagi anggota DPR pada Pasal 131 s/d Pasal
149 UU MD 3 hasil amendemen termasuk pengaturan mengenai klasifikasi
alat-alat bukti dalam pemeriksaan tersebut, terlihat semakin mendekati pola
persidangan di lingkungan yudikatif.
Kedua, disebutkan bahwa proses
pemeriksaan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap anggota DPR dalam
pelaksanaan fungsi dan tugasnya yang diatur sebagai bagian dari proteksi hak
imunitas anggota DPR pada Pasal 224 ayat (1) s/d ayat (4) UU MD 3 hasil
amendemen diharuskan memperoleh persetujuan tertulis dari MKD. Bahkan, dalam
hal MKD tidak memberikan persetujuan atas permohonan pemeriksaan terhadap
anggota DPR oleh aparat penegak hukum terkait pelaksanaan fungsi dan tugasnya
yang diproteksi oleh hak imunitas, surat pemanggilan dari aparat penegak
hukum tersebut batal demi hukum.
Meskipun pengaturan
terkait perluasan wewenang MKD tersebut terlihat sudah memasuki ranah
penegakan hukum, hal itu tak membatalkan proses penegakan hukum terhadap
anggota DPR yang suatu saat diduga melaku kan tindak pidana korupsi.
Mengingat ranah kewenangan MKD tersebut hanya dibatasi dalam hal pelaksanaan
tugas dan fungsi anggota DPR yang diproteksi hak imunitas, seperti hak
menyampaikan pertanyaan, pendapat, pernyataan secara lisan maupun tulisan di
dalam rapat DPR maupun di luar rapat yang terkait dengan wewenang, fungsi,
dan tugas anggota DPR.
Pola pengaturan semacam
itu kiranya ingin mengangkat kembali pola pengaturan mengenai apa yang dalam
teori hukum ketatanegaraan dikenal dengan Forum
Privilegiatum, yaitu hak khusus yang dimiliki peja bat-pejabat tinggi
untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan oleh
pengadilan negeri. Hak-hak khusus itu di masa lalu berlaku untuk
pejabat-pejabat tinggi ter tentu dan diadili Mahkamah Agung (MA) yang dikenal
saat berlakunya UUDS 1950 dan Konstitusi RIS.
Salah satu hasil amendemen
yang menimbulkan kontroversi publik ialah dihilangkannya keberadaan BAKN
sebagai alat perlengkapan DPR. Pembentukan BAKN di masa itu disebabkan
mayoritas anggota DPR memiliki kapasitas yang rendah dalam melakukan
penelaahan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK terkait pemeriksaan
keuangan negara. Dengan adanya BAKN yang diberikan atribusi otoritas penelaahan
terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK tersebut, tugas komisi dalam
menindaklanjuti hasil temuan BPK sangat terbantu.
Dihilangkannya BAKN
tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan besar mengenai kapasitas DPR dalam
melaksanakan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK terkait pemeriksaan keuangan
negara yang mudah dihadapkan dengan isu pelemahan upaya pemberantasan
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar