Satu
atau Dua Putaran
Slamet
Sudjono ; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Untag Semarang, Anggota
KPU Jawa Tengah 2003-2008
|
SUARA
MERDEKA, 19 Juni 2014
DI tengah
tensi politik yang makin tinggi menjelang coblosan tanggal 9 Juli 2014,
kepastian hukum putaran pilpres masih diperdebatkan. Ada dua ayat dalam Pasal
6A UUD 1945 yang mengatur ketentuan penetapan pasangan capres terpilih.
Pertama; Ayat (3) yang menyatakan pasangan capres yang mendapatkan suara
lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di
tiap provinsi tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi, dilantik
menjadi presiden-wakil presiden.
Mengamati
model itu, Ayat (3) mengamanatkan suara terbanyak mutlak bersyarat. Mutlak
karena mensyaratkan suara lebih dari 50%, dan bersyarat karena mensyaratkan
perolehan suara sedikitnya 20% di tiap provinsi tersebar di lebih setengah
provinsi di Indonesia.
Kedua;
Ayat (4) yang menyatakan bahwa dalam hal tidak ada pasangan capres terpilih
maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh
suara terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Mencermati
model pemungutan suara tersebut, Ayat (4) mengamanatkan model suara terbanyak
biasa karena cukup memperoleh suara lebih banyak dari yang lain. Ketentuan
Ayat (4) ini dimaksudkan sebagai penyempurnaan guna mengantisipasi
kemungkinan semisal syarat suara terbanyak mutlak bersyarat pada Ayat (3)
tidak terpenuhi.
Sejatinya,
Pasal 6A UUD 1945 tidak mengatur putaran pilpres satu atau dua putaran. Namun
dalam praktik pilpres ataupun pilkada selama ini, konstruksi semacam ini
diaplikasikan dalam undang-undang dengan dua putaran. Misalnya pada pilkada
putaran pertama harus memperoleh suara 50% lebih, dan bila tidak terpenuhi
maka baru dipakai syarat minimal 30%, terkecuali khusus untuk Pilgub DKI
Jakarta yang mensyaratkan harus lebih dari 50%.
Penguatan Legitimasi
Ketentuan
syarat suara terbanyak mutlak (lebih dari 50%) dimaksudkan untuk penguatan
legitimasi dukungan rakyat kepada calon terpilih. Mengenai ditambahkannya
syarat persebaran di wilayah propvinsi, hal itu supaya legitimasi pasangan
capres menggambarkan dukungan merata dari wilayah RI.
Selain
itu, norma pasal UUD 1945 (perubahan) pascaamendemen, berbeda dari UUD 1945
(murni) sebelum amandemen. Norma pasal UUD 1945 sebelum amandemen disusun
menggunakan klasifikasi konstitusi norm vague (norma yang samar/ambigu)
sehingga memberi kebebasan dalam penjabaran, penambahan, dan penafsirannya
(multitafsir).
Sebaliknya,
norma pasal UUD 1945 pascaamendemen memakai klasifikasi konstitusi norm
concrete (Maarseveeen, 1978). Dengan demikian, sebenarnya Pasal 6A Ayat (3)
dan (4) UUD 1945 yang mengatur ketentuan penetapan pasangan capres terpilih
sangat konkret mengamanatkan pada pembentuk undang-undang.
Pertama;
penetapan pasangan capres terpilih mendasarkan perolehan suara terbanyak
mutlak bersyarat. Kedua; andai suara terbanyak mutlak bersyarat tidak
terpenuhi maka cukup mendasarkan pada suara terbanyak biasa, yang selama ini
dilaksanakan dengan dua putaran.
Tapi ada
dua persoalan yang muncul. Pertama; UU Nomor 42 Tahun 2008 hanya konkret
menderivasi norma Pasal 6AAyat (3) UUD sebagai syarat suara terbanyak mutlak
bersyarat ke dalam Pasal 159 Ayat (1) yang menyatakan pasangan calon terpilih
adalah pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara
dalam pilpres dengan sedikitnya 20% suara di tiap provinsi tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi , dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Padahal
norma Pasal 6AAyat (4) UUD sebagai syarat suara terbanyak biasa belum
dirumuskan secara konkret terutama pada frasa penetapan capres terpilih yang
menyatakan,’’...maka pasangan capres yang memperoleh suara lebih banyak dari
yang lain ditetapkan sebagai pasangan capres terpilih (dilantik). Kedua; UU
Nomor 42 Tahun 2008 belum merumuskan pilpres yang diikuti ’’hanya’’ dua
pasang calon. Selama ini, potret yang dibangun selalu menggunakan logika bila
treshold-nya 25% berarti capres-cawapres bisa 3 atau 4 pasang. Dua hal inilah
memicu ketidakpastian/kekosongan hukum.
Secara
juridis normatif ada beberapa solusi yang sudah ditawarkan publik. Pertama;
dengan revisi terbatas melalui perppu untuk menyempurnakan Pasal 159 UU Nomor
42 Tahun 2008. Logika cara ini benar, cuma permasalahannya perppu itu harus
mendapatkan persetujuan lebih lanjut dari DPR dalam persidangan berikutnya.
Menjadi rawan andai parlemen menolak. Sebaliknya, bila parlemen menerima pun,
masih teradang kemungkinan publik menggugat melalui judicial revive padahal
masalah tersebut perlu segera teratasi.
Kedua;
melalui delegasi perundangan yang dirancang KPU yang akan mengajukan dua
alternatif. Opsi pertama; mengadopsi ketentuan Pasal 6AAyat (3) UUD 1945
juncto Pasal 159 Ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 melalui model suara
terbanyak bersyarat pada putaran pertama. Opsi kedua; mengadopsi ketentuan
Pasal 6A Ayat (4) secara utuh melalui model suara terbanyak biasa dalam
putaran kedua andai suara terbanyak mutlak bersyarat pada putaran pertama
tidak terpenuhi sebagaimana lazim diterapkan dalam penetapan calon terpilih
di pilpres ataupun pilkada selama ini. Konstruksi ini lebih aman karena tidak
bertentangan dengan konstitusi, terlebih lagi selama ini sudah menjadi
konvensi.
Opsi
ketiga; melalui judicial revive, sebagaimana dilakukan Forum Pengacara
Konstitusi dan Perludem. Judicial review menjadi solusi yang lebih cepat,
tepat, dan final dalam menentukan kepastian hukum karena MK merupakan
penafsir final konstitusi. Namun hampir dipastikan terjadi dissenting
opinionyang ketat dalam MK mengingat kasusnya bukan menguji pertentangan
antara Pasal 159 UU Nomor 42 Tahun 2008 dan Pasal 6AUUD.
Kasus
itu lebih kepada penafsiran dan penambahkan pasal yang belum dijabarkan
dengan konkret ,yaitu ketentuan Pasal 6A Ayat (4) terutama berkait frasa
kalimat, ’’ ...dan pasangan yang
memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden-wakil presiden.’’
Jadi,
esensinya lebih pada persoalan bagaimana seandainya syarat suara terbanyak
mutlak bersyarat tidak dapat dipenuhi dua pasangan (Prabowo-Hatta dan
Jokowi-JK) maka cukup menggunakan suara terbanyak biasa, sebagaimana konvensi
selama ini yang menggunakan dua putaran, kendati MK bisa saja menafsirkan
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar